Minggu, 08 Juli 2012

Wasiat Seorang Ibu Kepada Anak Perempuannya

Oleh:
Abu Abdurrahman bin Abdurrahman Ash-Shabihi

Anjuran Berwasiat Kepada Calon Isteri
Anas mengatakan bahwasanya para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika mempersembahkan (menikahkan) anak perempuan kepada calon suaminya, mereka memerintahkan kepadanya untuk berkhidmat kepada suami dan senantiasa menjaga hak suami.

Pesan Bapak Kepada Anak Perempuannya Saat Pernikahan
Abdullah bin Ja’far bin Abu Thalib mewasiatkan anak perempuannya, seraya berkata, “Jauhilah olehmu perasaan cemburu, karena rasa cemburu adalah kunci jatuhnya thalak. Juga jauhilah olehmu banyak mengeluh, karena keluh kesah menimbulkan kemarahan, dan hendaklah kamu memakai celak mata karena itu adalah perhiasan yang paling indah dan wewangian yang paling harum”.

Pesan Ibu Kepada Anak Perempuannya
Diriwayatkan bahwa Asma binti Kharijah Al-Farzari berpesan kepada anak perempuannya disaat pernikahannya, “Sesungguhnya engkau telah keluar dari sarang yang engkau tempati menuju hamparan yang tidak engkau ketahui, juga menuju teman yang engkau belum merasa rukun dengannya. Oleh karena itu jadilah engkau sebagai bumi baginya, maka dia akan menjadi langit untukmu. Jadilah engkau hamparan baginya, niscaya ia akan menjadi tiang untukmu. Jadilah engkau hamba sahaya baginya, maka niscaya ia akan menjadi hamba untukmu. Janganlah engkau meremehkannya, karena niscaya dia akan membencimu dan janganlah menjauh darinya karena dia akan melupakanmu. Jika dia mendekat kepadamu maka dekatkanlah dirimu, dan jika dia menjauhimu maka menjauhlah darinya. Jagalah hidungnya, pendengarannya, dan matanya. Janganlah ia mencium sesuatu darimu kecuali wewangian dan janganlah ia melihatmu kecuali engkau dalam keadaan cantik. [1]

Pesan Amamah binti Harits Kepada Anak Perempuannya Saat Pernikahan.
Amamah bin Harits berpesan kepda anak perempuannya tatkala membawanya kepada calon suaminya, “Wahai anak perempuanku! Bahwasanya jika wasiat ditinggalkan karena suatu keistimewaan atau keturunan maka aku menjauh darimu. Akan tetapi wasiat merupakan pengingat bagi orang yang mulia dan bekal bagi orang yang berakal. Wahai anak perempuanku! Jika seorang perempuan merasa cukup terhadap suami lantaran kekayaan kedua orang tuanya dan hajat kedua orang tua kepadanya, maka aku adalah orang yang paling merasa cukup dari semua itu. Akan tetapi perempuan diciptakan untuk laki-laki dan laki-lakai diciptakan untuk perempuan. Oleh karena itu, wahai anak perempuanku! Jagalah sepuluh perkara ini.

Pertama dan kedua : Perlakuan dengan sifat qana’ah dan mu’asyarah melalui perhatian yang baik dan ta’at, karena pada qan’aah terdapat kebahagiaan qalbu, dan pada ketaatan terdapat keridhaan Tuhan.

Ketiga dan keempat : Buatlah janji dihadapannya dan beritrospeksilah dihadapannya. Jangan sampai ia memandang jelek dirimu, dan jangan sampai ia mencium darimu kecuali wewangian.

Kelima dan keenam : Perhatikanlah waktu makan dan tenangkanlah ia tatkala tidur, karena panas kelaparan sangat menjengkelkan dan gangguan tidur menjengkelkan.

Ketujuh dan kedelapan : Jagalah harta dan keluarganya. Dikarenakan kekuasaan dalam harta artinya pengaturan keuangan yang bagus, dan kekuasaan dalam keluarga artinya perlakuan yang baik.

Kesembilan dan kesepuluh : Jangan engkau sebarluaskan rahasianya, serta jangan engkau langgar peraturannya. Jika engkau menyebarluaskan rahasianya berarti engkau tidak menjaga kehormatannya. Jika engkau melanggar perintahnya berarti engkau merobek dadanya. [2]

Bahwasanya keagungan baginya yang paling besar adalah kemuliaan yang engkau persembahkan untuknya, dan kedamaian yang paling besar baginya adalah perlakuanmu yang paling baik. Ketahuilah, bahwasanya engkau tidak merasakan hal tersebut, sehingga engkau mempengaruhi keinginannya terhadap keinginanmu dan keridhaannya terhadap keridhaanmu (baik terhadap hal yang engkau sukai atau yang engkau benci). Jauhilah menampakkan kebahagiaan dihadapannya jika ia sedang risau, atau menampakkan kesedihan tatkala ia sedang gembira.

Tatkala Ibnu Al-Ahwash membawa anak perempuannya kepada amirul mukminin Ustman bin Affan Radhiyallahu ‘anhu, dan orang tuanya telah memberinya nasihat, Ustman berkata, “Pondasi mana saja, bahwasanya engkau mengutamakan perempuan dari suku Quraisy, karena mereka adalah perempuan yang paling pandai memakai wewangian daripada engkau. Oleh karena itu perliharalah dua perkataan : Nikahlah dan pakailah wewangian dengan menggunakan air hingga wangimu seperti bau yang ditimpa air hujan.

Ummu Mu’ashirah menasihati anak perempuannya dengan nasihat sebagai berikut (sungguh aku membuatnya tersenyum bercampur sedih): Wahai anakku.. engkau menerima untuk menempuh hidup baru… kehidupan yang mana ibu dan bapakmu tidak mempunyai tempat di dalamnya, atau salah seorang dari saudaramu. Dalam kehidupan tersebut engkau menjadi teman bagi suamimu, yang tidak menginginkan seorangpun ikut campur dalam urusanmu, bahkan juga daging darahmu. Jadilah istri untuknya wahai anakku, dan jadilah ibu untuknya. Kemudian jadikanlah ia merasakan bahwa engkau adalah segala-galanya dalam kehidupannya, dan segala-galanya di dunia.

Ingatlah selalu bahwasanaya laki-laki anak-anak atau dewasa memiliki kata-kata manis yang lebih sedikit, yang dapat membahagiankannya. Janganlah engkau membuatnya berperasaan bahwa dia menikahimu menyebabkanmu merasa jauh dari keluarga dan sanak kerabatmu. Sesungguhnya perasaan ini sama dengan yang ia rasakan, karena dia juga meninggalkan rumah orang tuanya, dan keluarga karena dirimu. Tetapi perbedaan antara dia dan kamu adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan, dan perempuan selalu rindu kepada keluarga dan tempat ia dilahirkan, berkembang, besar dan menimba ilmu pengetahuan. Akan tetapi sebagai seorang isteri ia harus kembali kepada kehidupan baru. Dia harus membangun hidupnya bersama laki-laki yang menjadi suami dan perlindungannya, serta bapak dari anak-anaknya. Inilah duaniamu yang baru.

Wahai anakku, inilah kenyataan yang engkau hadapi dan inilah masa depanmu. Inilah keluargamu, dimana engkau dan suamimu bekerja sama dalam mengarungi bahtera rumah tannga. Adapun bapakmu, itu dulu. Sesungguhnya aku tidak memintamu untuk melupakan bapakmu, ibumu dan sanak saudaramu, karena mereka tidak akan melupakanmu selamanya wahai buah hatiku. Bagaimana mungkin seorang ibu melupakan buah hatinya. Akan tetapi aku memintamu untuk mencintai suamimu dan hidup bersamanya, dan engkau bahagia dengan kehidupan berumu bersamanya.

Seorang perempuan berwasiat kepada anak perempuannya, seraya berkata, “Wahai anakku, jangan kamu lupa dengan kebersihan badanmu, karena kebersihan badanmu menambah kecintaan suamimu padamu. Kebersihan rumahmu dapat melapangkan dadamu, memperbaiki hubunganmu, menyinari wajahmu sehingga menjadikanmu selalu cantik, dicintai, serta dimuliakan di sisi suamimu. Selain itu disenangi keluargamu, kerabatmu, para tamu, dan setiap orang yang melihat kebersihan badan dan rumah akan merasakan ketentraman dan kesenangan jiwa”.

[Disalin dari buku Risalah Ilal Arusain wa Fatawa Az-Zawaz wa Muasyaratu An-Nisaa, Edisi Indonesia Petunjuk Praktis dan Fatwa Pernikahan, Penulis Abu Abdurrahman Ash-Shahibi,Penerbit Najla Press]
Sumber : http://almanhaj.or.id/content/1996/slash/0
_________
FooteNote
[1]. Ahkamu An-Nisa karangan Ibnu Al-Jauzi hal.79
[2]. Ahkamu An-Nisa karangan Ibnu Al-Jauzi hal.80

Selasa, 26 Juni 2012

Tugas Tuhid


PEMBAHASAN
ILMU KALAM/TAUHID

A.     Tauhid/Ilmu Kalam
1.      Pengertian Tauhid dan Ilmu Tauhid
a.       Pengertian Tauhid
Tauhid menurut bahasa mengetagui dengan sebenarnya bahwa sesuatu itu satu. Asal makna tauhid ialah meyakinkan bahwa Allah adalah “satu” dan tidak serikat bagi-Nya.
Dalam tata bahasa Arab kata tauhid termasuk bab taf`il berasal dari akar kata wahhada yang bermakna menyatukan, yuwahhidu akan tetap menyatukan, dan tauhid yang bermakna sungguh disatukan.
Yang dimaksud disatukan di sini bukan berarti beberapa Tuhan yang dijadikan satu, tetapi yang dimakksud adalah berusaha meyakini tenatng “satu” atau Esa-nya Allah. Di samping itu ada juga yang tauhid jika ditinjau dari dari segi bahasa berarti berasal dari bahasa Arab yaitu yang berarti menyatakan bahwa Allah adalah Esa dan tiada sekutu bagi-Nya. Dalam hal ini ada beberapa pendapat ahli ilmu tauhid, di antaranya:
1)      Muhammad Abduh menyatakan dalam bukunya Risalah at-Tauhid bahwa asal makna tauhid adalah meyakinkan bahwa Allah adalah satu dan tiada serikat bagi-Nya.
2)      M. Thaib A. Mu`in menjelaskan bahwa tauhid adalah mengetahui atau mengenal Allah, mengetahui dan meyakinkan Allah itu tunggal tidak ada sekutu bagi-Nya.
3)      Menurut A. Hanafi, tauhid adalah percaya tentang wujud Tuhan yang wujud Tuhan Yang Maha Esa yang tidak ada sekutu bagi-Nya baik dzat, sifat, maupun perbuatan-Nya. Yang memberi uutusan untuk memberi petunjuk kepada alam dan umat manusia kepada jalan kebaikan, serta meminta pertanggungjawaban seseorang diakhirat kelak.

b.      Pengertian Ilmu Tauhid
Secara ringkas ilmu tauhid dapat diartikan denga ilmu yang mempelajari tentang ketuhanan yang lebih ditekankan kepada peng-Esa-an Tuhan. Dalam istilah ilmu tauhid asing sering disebutkan dengan :”theologi” yang berasal dari bahasa Yunani Theos yang bearti Tuhan dan  logos yang berarti Ilmu. Sehingga theologi adalah adalah suatu ilmu tentang ketuhanan.
Sedangkan menurut para ahli ilmu tauhid, yaitu:
1)      Muhammad Abduh, ilmu tauhid adalah ilmu yang membahas tentang wujud Tuhan, sifat-sifat yang wajib tetap ada pada-Nya, sifat yang boleh dosifatkan pada-Nya, sifat yang tidak boleh bagi-Nya juga tentang Rasul untuk menetapkan apa yang wajib, boleh dan dilarang dinisbahkan kepadanya.
2)      Said Husen al-Fandi al-Jisr mengartikan bahwa ilmu tauhid adalah ilmu yang membahas tentang menerapkan aqidah atau keyakinan agama dengan dalil-dalilnyang pasti.
3)      M. Hasbiy ash-Shiddiqy mendefenisikan bahwa ilmu tauhid adalah ilmu yang membericarakan tentang cara-cara menetapkan aqidah agama dengan menggunakan dalil-dalil yang meyakinkan baik dalil naqli, dalil aqli maupun perasaan yang halus (wijdani).
4)      Ibnu Khaldun mengemukan bahwa ilmu tauhid adalah ilmu-ilmu yang mengandung argument-argument rasinal untuk membela aqidah-aqidah imaniah dan mengandung penolakan-penolakan terhadap golongan-golongan bid`ah yang dalam bidang aqidah menyimpang dari mazhab salah dan mazhab ahlu as-sunnah.
Ada juga pendapat yang mengartikan ilmu tauhid dalam bentuk ilmun kalam yaitu ilmu yang membeicarakan tentang wujud Tuhan (Allah), sifat-sifat yang mesti ada pada-Nya, sifat-sifat yang tidak ada pada-Nya dan sifat yang mungkin ada pada-Nya. Dan membicarakan tentang Rasul-Rasul Tuhan, untuk menetapkan kerasulannya dan mengetahui sifat yang mesti ada padanya, sifat-sifat yang tidak mungkin ada pandanya, dan sifat yanng mungkin ada padanya.
Ibnu Khaldun menyatakan bahwa ilmu kalam adalah berisi alasan-alasan mempertahankan kepercayaan iman dengan mengguanakan dalil-dalil fikiran dan berisi bantahan terhadap orang-orang yang menyeleweng dari kepercayaan- kepercayaan aliran golongan salaf dan ahli sunnah.

2.      Nama-Nama Lain Ilmu Kalam atau Ilmu Tauhid
a.       Ilmu ushuluddin, dinamai ilmu ushuluddin karena ilmu tersebut membicarakan tentang pokok-pokok dan dasar-dasar agama yang wajib diimani dan diketahui oleh setiap muslim.
b.      Al-Fiqh al-Akbar, artinya fiqh yang paling agung, dinamai demikian karena mempelajari atau memahami bidang aqidah itu berarti memahami bidang lebih utama dari bidang syari`at atau ingat bahwa aqidah adalah ushul sedangkan syari`at adalah furu`. Namun demikian nama ini tidak bisa bertahan lama dan populer seperti nama fiqh atau ilmu fiqh untuk bidang syari`at.
c.       Ilmu `Aqid, dinamakan ilma `aqid karena ilmu ini membicarakan tentang aqidah dan kepercayaan agama yang wajib diketahui dan diyakini oleh setiap muslim
d.      Ilmu Tauhid, dinamai demikian karena yang terpenting dari ilmu ini adalah membicarakan tentang ke-Esa-an Allah dengan semurni-semurninya. Masalah keesaan Tuhan adalah satu bagian dari masalah-masalah aqidah yang demikian banyak, namun karena mengesakan Allah itu adalah tujuan hakiki dari aqidah Islam dan merupakan inti ajaran Islam maka ilmu ini dinamakan ilmu tauhid.
e.       Ilmu Kalam, dinamai demikian  karena permasalahan yang banyak dibicarakan ialah firman Allah, yaitu al-Quran, apakah qadim atau hadits makhluk atau bukan.
Demikian pula karena ilmu tersebut lebih mendahulukan akal daripada al-Quran dan hadits dalam menetapkan kebenaran suatu persoalan dan dalam membuktikan kepercayaan agama menyerupai logika dan filsafat.
Meskipun ilmu ini mendahulukan akal daripada nash, namun tidak berarti merendahkan derajat nash, karena hal ini hanya mennampakkan metode saja dalam menyampaikan pesan nash al-Quran atau hadits.
Contoh:
Setiap yang ada pasti ada yang menjadikan
langit dan bumi ada
langit dan bumi ada pasti ada yang menjadikan
siapa yang menjadikan? Pesan al-Quran adalah yaitu terdapat dalam Q.S. ash-Shajadah ayat  4:
Allah lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy. tidak ada bagi kamu selain dari padanya seorang penolongpun dan tidak (pula) seorang pemberi syafa'at. Maka Apakah kamu tidak memperhatikan?
Dalam contoh lain yaitu:
Setiap yang bernyawa pasti hidup
Setiap yang hidup adakan merasakan mati
Setiap yang bernyawa pasti akan mati
Pesan Allah dalam Q.S. Ali Imran ayat 185, yaitu:
Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. dan Sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, Maka sungguh ia telah beruntung. kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.
Metode ini biasanya digunakan oleh aliran mu`tazilah karena pada umumnya sasaran dakwah mmereka adalah orang-orang yang intelektual yang masih mulhid, di samping agama-agama lain yang seringkali menyerang Islam dengan senjata filsafat sehingga mu`tazilah terpaksa menggunakan senjata itu pula untuk mempertahankannya.

3.      Sumber Pemikiran Kalam
a.       Al-Quran, sebagai sumber ilmu kalam al-Quran banyak menyinggung hal yang berkaitan dengan masalah ketuhanan, di antaranya terdapat dalam Q.S. al-Ikhlas ayat 1-4, Q.S. Asy-Syura ayat 7, Q.S. al-Furqan ayat 59, dan lain sebagainya.
b.      Hadits, di antaranya adalah hadits Nabi yang menjelaskan hakikat keimanan serta hadits yang dipahami sebagai prediksi Rasulullah saw mengenai kemunculan berbagai golongan dalam ilmu kalam.
c.       Pemikiran Manusia, pemikiran manusia dalam hal ini baik berupa pemikiran umat Islam sendiri atau pemikiran yang berasal dari luar umat Islam.
d.      Insting, kepercayaan adanya Tuhan secara instingtif telah berkembang sejak keberadaan manusia pertama

B.     Tauhid/Ilmu Kalam
1.      Kerangka Befikir Aliran Kalam
Di dalam aliran ilmu kalam terdapat 3 aliran besar, yaitu aliran Mu`tazilah, Asy-`Ariyah, dan Maturidiyah. Di samping itu ada juga yang mengatakan tiga aliran itu adalah Mu`tazilah, Asy-`Ariyah, dan Salafiyah, sedangkan aliran Maturidiyah pada dasarnya telah diwkili oleh aliran Asy-`Ariyah.
Perbedaan kerangka berfikir aliran tersebut dapat dilihat tentang memposisikan akal dan wahyu. Dari hal ini lahirlah aliran yang bercorak rasional dan tradisional. Aliran Mu`tazilah bercora rasional dan lawannya adalah aliran Asy-`Ariyah yang bercorak tradisional. Sedangkan aliran Maturidiyah dan aliran Salafiyah berada di antara keduanya, namun dalam pemikiran aliran Maturidiyah lebih ke dekat ke aliran Mu`tazilah dan aliran Salafiyah lebih dekat aliran Asy-`Ariyah
Adapun ciri-ciri kerangka berfikir rasional adalah sebagai berikut:
a.       Kedudukan akal yang tinggi
b.      Kebebasan manusia dalam kemauan dan berbuat
c.       Kebebasan berfikir hanya diikat oleh ajaran dasar dalam al-Quran dan sunnah yang sedikit sekali jumlahnya.
d.      Percaya adanya sunnatullah dan kausalitas
e.       Mengambil arti metaferis dari teks wahyu
f.       Dinamika dalam sikaf dan berfikir

Sedangkan ciri-ciri kerangka berfikir aliran tradisional adalah sebagai berikut:
a.       Kedudukan akal bagi aliran trdisional ini rendah
b.      Ketidakbebasan manusia manusia dalam kemauan dan perbuatan
c.       Kebebasan berfikir yang diikat banyak dogma
d.      Ketidakperyaan kepada Sunnatullah dan kausalitas
e.       Terikat kepada arti tekstual dari al-Quran dan hadits
f.       Statis dalam berbuat dan berfikir

Berikut penjelasan secara singkat mengenai kerang berfikir masing-masing aliran dalam ilmu kalam:
a.       Mu`tazilah
Menurut mu`tazilah segala pengetahuan dapat diperoleh melaui akal, dan kewajiban-kewajiban dapat diketahui melali pemikiran yang mendalam. Dengan demikian berterima kasih kepada Tuhan sebelum turunnya wahyu adalah wajib. Baik dan jahat wajib diketahui melaui akal dan demikian pula mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat adalah wajib pula.
Abu al-Hudzail al-`Allaf salah seorang tokoh aliran mu`tazilah mengemukakan bahwa akal manusia dapat mengatahui:
1)      Adanya Tuhan.
2)      Kewajiban manusia berteima kasih kepada Tuhan.
3)      Apa yang baik dan apa yang jahat.
4)      Kewajiban manusia berbuat baik dan kewajiabn manusia meninggalkan perbuatan yang jahat.

b.      Asy-`Ariyah
Menurut asy-`Ariyah dan asy-`Ari sendiri mengatakan bahwa segala kewajiban manusia hanya dapat diketahui melalui wahyu, akal tidak dapat membuat sesuatu menjadi dan tidak dapat mengetahui bahwa mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk adalah wajib bagi manusia. Akal memang dapat mengetahui Tuhan, tetapi wahyulah yang mewajibkan orang mengatahui Tuhan dan berterima kasih kepada-Nya. Juga dengan wahyulah dapat diketahui yang patuh kepada Tuhan akan memperoleh upah, dan yang tidak patuh kepada-Nya mendapat hukum atau azab dari Allah swt.

c.       Maturidiyah
1)      Maturidiyah Samarkand
Golongan ini berpendapat bahwa akal dapat mengetahui adanya Tuhan, kewajiban mengetahui dan berterima kasih kepada Tuhan serta mengetahui baik dan buruk.
Tetapi menurut aliran Maturidiyah Samarkand ini akal tidak dapat mengetahui bagaimana kewajiban berbuat baik dan meninggalkan yang buruk, ini hanya dapat diketahui melalui wahyu.
2)      Maturidiyah Bukhara
Menurut golongan ini, dengan akal manusia bisa mengetahui adanya Tuhan dan yang baik dan yang buruk. Sedangkan kewajiban mengetahui adanya Tuhan dan kewajiban mengetahui yang baik dan meninggalkan yang buruk adalah diketahui melalui wahyu.

d.      Salafiyah
Aliran ini menggunakan metode yang bercorak lietral atau tekstual. Aliran salafiayh ini juga anti dengan metode ta`wil dalam memahami nash-nash agama, serta akal tunduk kepada naqli dan wahyu.

Jadi, jika dalam perbandingan antara golongan di atas akan tampak bahwa mu`tazilah dan maturidiyah samarkand memberi kedudukan yang tinggi kepada akal, sedangkan asy-`Ariyah, Salafiyah dan Maturidiyah Bukhara memandang akal manuia lemah dan memandang kedudukan wahyu lebih tinggi dari akal.
Di samping pengertian theologi rasional dan tradisional, dikenal pula pengertian akibat adanya kerangka berfikir dalam menyelesaikan persolan-persoalan kalam, yaitu:
a.       Theosentris
Aliran ini menganggap bahwa manusia tidak mempunya kekuatan apa-apa, semua yang diperbuat oleh manusia adalah kehendak Tuhan. Tuhan berkuasa muttlaq terhadap manusia bisa jadi orang jahat bisa mendapat syurga-Nya nanti dan orang yang taat bisa saja masuk neraka. Aliran yang masuk kategori ini adalah aliran Jabariyah.

b.      Antroposentris
Aliran ini menganggap bahwa manusia telah diberkahi oleh Tuhan dalam bentuk daya sejak lahir, daya ini berupa potensi yang menjadikannya mampu membedakan yang baik dan mana yang jahat. Manusia yang memilih kebaikan akan memperoleh keuntunggan melimpah yaitu surga, sedangkan manusia yang memilih kejahatan, ia akan memperoleh neraka. Dengan adanya daya atau potensi tersebut, manusia mempunyai kebebasan yang mutlaq, aliran yang masuk dalam kategori ini adalah Qadariyah, Mu`tazilah, dan Syi`ah.

2.      Klasifikasi Muwahhid
Pengajaran tentang tauhid bukanlah sekedar melepaskan seseorang dari pada syirik dan kekafiran, tetapi jauh dari itu di harapakan dan modal tauhid seseorang akan menjadi sumber kebijakan atau lebih tinggi lagi, akan dapat melepaskan dunia dari kegelapan dan membawanya kepada cahaya yang terang sebagai pencipta keutamaan yang di kehendaki Allah. Namun dalam pencapain ini tidak semua penganut tauhid sampai kepadanya, karena mereka terbagi kedalam berbagai tingkat.
Dengan merangkum pendapat Mansur, (1978:12-15). Bahwa dalam sifatnya tauhid itu melangkah dalam tiga tingkatan penganut tauhid (muwahid):
a.       Tingkatan bersifat tahu, sifat ini terus melangkah maju sampai kepada batasnya, yaitu mengetahui karena tahu dengan mengetahui berbeda:
1)      Tahu, sifat ini dapat dicapai dengan tidak sengaja, misalnya dari cerita sifulan diketahui tentang sifulan yang sebelumnya tidak diketahui, jelas disini tidak ada kesengajaan.
2)      Mengetahui, sifat ini dapat dicapai dengan sengaja, kalau ada diketahui tentang sesuatu maka perlu ditelusuri lebih lanjut.

b.      Tingkatan bersifat kenal, dari sifat mengetahui maka akn sampai kepada tingkat yang lebih tinggi yaitu tingkat “kenal”, atau mengenal. Sebagai contoh, misalnya untuk mengenal sebuah bangsa harus dikenal dulu historis bangsa itu yang meliputi budaya, adat dan istiadat dan sebagainya. Hal ini tentu dapat diketahui dengan membaca sejarah pertumbuhan dan perkembangan bangsa itu, yaitu dengan meneliti arsip-arsip bangsa tersebut secara intens.
Begitu juga dengan mengenal Tuhan, dimulai dengan pengenalan nama-nama sifat dan segala yang terkait dengan Ketuhanan, sehingga dengan pengenalan itukita tahu inilah Tuhan yang sesungguhnya dan Tuhanpun akan mengenal Manusia.

c.       Tingkatan berifat insaf, dari sifat kenal dan berkenalan maka akan naik ketingkat insaf, dimana manusia sadar akan Tuhan dan sadar pula akan dirinya dengan itu akan membawa diri untuk selalu melangkah mendekati Tuhan, berusaha mencari Ridha-Nya, dan dalam bertindak, ia akan bisa mengendalikan dirinya, dengan dapatnya orang menguasai dirinya dan dia akan selalu melangkah mendekati Tuhan dan mengingat-Nya. Sehingga ia akan selalu Dzikir mengingat Tuhan.
Sejalan dengan pendapat di atas, Abdul Halim Mahmud, menyatakan bahwa ada tiga tingkatan orang dalam memahami atauhid, yaitu:
a.       Tauhid orang awam (kebanyakan)
b.      Tauhid ahli hakikat
c.       Tauhid orang-orang khusus

C.     Sejarah Pertumbuhan Ilmu Tauhid
1.      Lahirnya Ilmu Tauhid
Lahirnya ilmu kalam itu dapat dikelompokkan oleh du faktor, yaitu sebagai     berikut:
a.       Faktor Intern
Yang dimaksud dengan faktor intern adalah faktor dari Islam itu sendiri, adapun faktor-faktor tersebut adalah:
1)      Al-Quran di samping berisi masalah ketauhidan, kenabian, dan lain sebagainya, berisi pula semacam apologi dan polemik, terutama terhadap agama-agama yang ada pada waktu itu. Misalnya Surat al-Maidah ayat 116 yang berisi tentang penolakan terhadap ketuhanan Nabi Isa. Arti ayat tersebut adalah  “Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman: "Hai Isa putera Maryam, Adakah kamu mengatakan kepada manusia: "Jadikanlah aku dan ibuku dua orang Tuhan selain Allah?". Isa menjawab: "Maha suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). jika aku pernah mengatakan Maka tentulah Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha mengetahui perkara yang ghaib-ghaib".
2)      Pada periode pertama masalah keimanan tidak dipersoalkan secara mendalam. Setelah Nabi wafat dan umat Islam bersentuhan dengan kebudayaan dan peradaban asing, maka mereka mulai mengenal filsafat untuk memecahkan masalah maka perlu suatu ilmu.
3)      Masalah politik, terutama yang berkenaan dengan khalifah menjadi faktor pula  dalam llahirnyya ilmu tauhid.

b.      Faktor Ekstren
Yang dimaksud dengan faktor eksternal adalah faktor dari luar Islam, faktor tersebut ialah pola pikir agama lain, termasuk umat Islam yang di dalamnya menganut agama lain ke dalam ajaran Islam.

2.      Fase Nabi Muhammad saw
Masa Rasulullah SAW merupakan fase pembinaan aqidah dan peraturan-peraturan dengan prinsip-prinsip kesatuan umat dan kedaulatan Islam. Segala masalah yang kabur di kembalikan langsung kepada Rasulullah sehingga beliau berhasil menghilangkan perpecahan antara umatnya.
Masing-masing pihak tentu mempertahankan kebenaran pendapat-pedapatnya dengan dalil-dalil, sebagaimana telah terjadi dalam agama-agama sebelum Islam. Rasulullah mengajak kaum muslimin untuk mentaati Allah dan Rasul-Nya serta menghindari dari perpecahan yang menyebabkan timbulnya perpecahan dan kelemahan dalam segala bidang. Allah swt berfirman dalam Q.S. al-Anfal ayat 46 yang artinya: “dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu, dan bersabarlah, sesungguhnya Allah beserta orang yang sabar”
Perbedaan pendapat boleh-boleh saja, tetapi jangan sampai pada pertengkaran, terutama dalam masalah aqidah. Demikian pula dalam menghadapai agama lain, bila terjadi perdebatan harslah dihadapi dengan nasihat dan peringatan, berdebat dengan cara yang baik dan dapat mengahsilkan tujuan dalam perdebatan, sehingga terhindar dari pertengkaran. Allah SWT berfirman dalam Alqur’an Surat An-Nahl ayat 125, yang artinya: “serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik, sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya, dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.
Maka dari itu tauhid difase Rasulullah tidak sampai kepada perdebatan dan polemik yang berkepanjangan, karena Rasul sendiri yang menjadi penengahnya, dan pada masa Rasulullah ilmu tauhid belum berdiri sendiri dari ajaran-ajaran Islam, ia masih sederhana dalam bentuk rukun iman, hanya tergambar dalam kehidupan, “tauhidul ‘aqidah, ittihadul ummah” yang telah jadi suatu komponen yang utuh, sebab umat pada masa itu faham betul tentang wahyu dan sabda nabi.

3.      Fase Khulafaurrasyidin
Pada masa permulaan khalifah Islam, yaitu khususnya pada masa khalifah Abu Bakar dan Umar bin Khattab, ilmu tauhid masih sama dengan masa Rasulullah. Hal ini disebabkan umat/kaum muslimin tidak sempat membahas dasar-dasar aqidah, karena waktu tesita untuk menghadapi musuh, mempererat persatuan dan kesatuan umat.
Kaum muslimin tidak mempersoalkan tentang aqidah, mereka membaca dan memahami Al-Qur’an tanpa taqwil, mengimani dan mengamalkannya menurut apa adanya. Menghadapi ayat-ayat mutasyabihat segera mereka mengimani dan menyerahkan pentakwilannya kepada Allah SWT sendiri.
Masa khalifah ketiga, yaitu Usman Bin Affan mulai timbul kekacauan yang berbau politik dan fitnah, sehingga khalifah Usman sendiri terbunuh. Umat Islam mulai terpecah, untuk mendukung pandangan mereka tanpa segan mereka mentakwilkan ayat-ayat suci dan hadits Rasulullah. Malahan ada di antara mereka menciptakan hadits-hadits palsu.
Stelah Usman mati terbunuh, perselisihan dikalangan umat Islam terus berlanjut, di zaman pemerintahan Ali bin Abi Thalib (656-661M) dengan terjadinya perang saudara: pertama perang Ali dengan Zubair, Thalhah dan Aisyah yang dikenal dengan perang Jamal, kedua perang antara Ali dengan Muawiyah bin Abu Sofyan, yang disebut dengan perang Shiffin. Pertempuran dengan Zubair dkk dimenangkan oleh Ali dan pertempuran dengan Muawiyah berrakhir dengan Tahkim (arbitrase). Hal ini berpegaruh jepada perkembangan Tauhid, terutama lahir dan tumbuhnya aliran-aliran.
Ada juga yang berpendapat bahwa separuh akhir masa khulafaurrasidin, sebahagian aqidah mulai dibicarakan, seperti taqdir, penetapan siapa yang kafir dan yang bukan, akibat dari tahkim (73 H). Antara Ali, Muawiyah, Amr bin Ash, dan Abu Musa Al-Asy’ary, yang memicu timbulnya kelompok Syi’ah, yang sangat mencintai Ali, lalu ditantang Khawarij, pimpinan Al- Asy’ats Ibnu Qais Al-Qindi, sehingga muncul pula kaum netral Murji’ah yang tidak menghukum kafir orang mu’min yang berdosa besar, dipelopori sebagian sahabat Ghailan Ad-Dimasqi. Lalu muncul faham Qadariyah, yaitu manusialah yang menentukan nasibnya, yang dipelopori oleh Ma’bad Al-Jauhani, dan Ghailan Ad-Dimasyqi, disusul faham Jabariyah, yang dipelopori oleh Jahm bin Safwan dan Ja’ad bin Dirham dengan faham serba Tuhan. Kedua faham ini terus tumbuh dan dianut sebagian umat zaman itu. (38 H- 139 H).

4.      Fase Dinasti Bani Umayyah
Dimasa ini kedaulatan Islam sangat kuat sehingga tidak perlu lagi berusaha untuk mempertahankan Islam seperti masa seebelumnya. Kesempatan ini digunakan kaum muslimin untuk mengembangkan pengetahuan dan pengertian tentang ajaran Islam. Lebih lagi dengan berbondong-bondongnya pemeluk agama lain memeluk Islam, yang jiwanya belum bisa sepenuhnya meninggalkan unsur agamanya, telah menyusupkan beberapa ajarannya. Masa inilah mulai timbul keinginan bebas berfikir dan berbicara yang selama ini didiamkan oleh golongan Salaf.
Dan muncullah sekelompok umat Islam membicarakan masalah Qadar (Qadariyah) yang menetapkan bahwa manusia itu bebas berbuat, tidak ditentukan Tuhan. Sekelompok lain berpendapat sebaliknya, manusia ditentukan Tuhan, tidak bebas berbuat (Jabariyah). Kelompok Qadariyah ini tidak berkembang dan melebur dalam Mazhab mu’tazilah yang menganggap bahwa manusia itu bebas berbuat, sehingga mereka menamakan dirinya dengan “ahlu al-adli”,  dan meniadakan semua sifat pada Tuhan karena zat Tuhan tidak tersusun dari zat dan sifat, Ia Esa inilah mereka juga menamakan dirinya dengan “ahlu at-Tauhid”.
Pada masa ini muncul faham Mu’tazilah yang diilhami oleh faham Qadariyah seperti diatas tadi yang tidak mengakui adanya Sifat Tuhan, dengan konsepnya “manzilah baina manzilatain” ada tempat diantara surga dan neraka bagi orang mu’min yang berdosa besar, faham ini berjalan pada 80 H- 324 H. Dengan memupuk ilmu kalam sebagai disiplin ilmunya, sejak Washil Bin Atha’ (w. 131 H) dan temannya Umar bin Ubaid (W. 145 H) memisahkan diri dari gurunya Hasan Basri (W. 110 H). Oleh karena itu, diperkirakan gerakan Mu’tazilah ini secara terkordinir mulai Tahun 120 H.
Maka ilmu tauhid pada masa ini menjelma dalam bentuk ilmu kalam yang membicarakan kepercayaan islam melalui logika, mantiq, dan filsafat secara mendetail dan mendalam disamping dalil-dalil naqli yang diterimanya.

5.      Fase Dinasti Abbasiyah
Masa ini merupakan zaman keemasan dan kecemerlangan Islam, ketika terjadi hubungan pergaulan dengan suku-suku di luar arab yang mempercepat berkembangnya ilmu pengetahuan. Usaha terkenal masa tersebut adalah penterjemahan besar-besaran segala buku Filsafat.
Para khalifah menggunakan keahlian orang Yahudi, Persia dan Kristen sebagai juru terjemah, walaupun masih ada di antara mereka kesempatan ini digunakan untuk mengembangkan pemikiran mereka sendiri yang diwarnai baju Islam tetapi dengan maksud buruk.
Dalam masa ini muncullah polimik-polimik menyerang paham yang dianggap bertentangan. Misalnya dilakukan oleh ‘Amar bin Ubaid al-Mu’tazili dengan bukunya “Ar-Raddu ‘ala al-Qadariyah” untuk menolak paham Qadariyah. Hisyam bin al-Hakam As-Syafi’i dengan bukunya “al-Imamah, al-Qadar, al-Raddu ‘ala Az-Zanadiqah” untuk menolak paham Mu’tazilah. Abu Hanifah dengan bukunya “al-Amin wa al-Muta’allim” dan “Fiqhu al-Akbar” untuk mempertahankan aqidah Ahlussunnah.
Dengan mendasari diri pada paham pendiri Mu’tazilah Washil bin Atha’, golongan Mu’tazilah mengembangkan pemahamannya dengan kecerdasan berpikir dan memberi argumen. Sehingga pada masa khalifah al-Makmun, al-Mu`tasim dan al-Wasiq, paham mereka menjadi mazhab negara, setelah bertahun-tahun tertindas di bawah Dinasti Umayyah.
Semua golongan yang tidak menerima Mu’tazilah ditindas, sehingga masyarakat bersifat apatis kepada mereka. Saat itulah muncul Abu Hasan al-`Asy`ary, salah seorang murid tokoh Mu`tazilah al-Jubba`i menentang pendapat gurunya dan membela aliran Ahlussunnah wal Jama`ah. Dia berpandangan “jalan tengah” antara pendapat Salaf dan penentangnya.
Abu Hasan menggunakan dalil naqli dan aqli dalam menentang Mu’tazilah. Usaha ini mendapat dukungan dari Abu al-Mansur al-Maturidy, al-Baqillani, Isfaraini, Imam haramain al-Juaini, Imam al-Ghazali dan Ar-Razi yang datang sesudahnya.
Usaha para mutakallimin khususnya al-Asy’ary dikritik oleh Ibnu Rusydi melalui bukunya “Fushush al-Maqal fii ma baina al-Hikmah wa asy-syarizati min al-Ittishal” dan “al-Kasyfu an Manahiji al-Adillah”. Beliau mengatakan bahwa para mutakallimin mengambil dalil dan muqaddimah palsu yang diambil dari Mu’tazilah berdasarkan filsafat, tidak mampu diserap oleh akal orang awam. Sudah barang tentu tidak mencapai sasaran dan jauh bergeser dari garis al-Quran. Yang benar adalah mempertemukan antara syari`at dan filsafat.
Dalam mengambil dalil terhadap aqidah Islam jangan terlalu menggunakan filsafat karena jalan yang diterangkan oleh al-Quran sudah cukup jelas dan sangat sesuai dengan fitrah manusia. Disnilah letaknya agama Islam itu memperlihatkan kemudahan. Dengan dimasukkan filsafat malah tambah sukar dan membingungkan.
Ada juga yang mengatakan bahwa pada masa ini “ilmu tauhid” muncul sebagai suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri, terpisah dari ilmu kalam yang bukan sitem tauhid salaf karena ilmu tauhid ini berlandaskan dalil naqli dan dalil aqli, yang dasar-dasarnya telah di susun oleh imam Abu Hasan Al-Asy’ari (W.324 H) dan imam Abul Mansyur Al-Maturidi (W. 333H) secara rinci.
Ilmu tauhid sistem mereka inilah yang di masyhurkan dengan faham Ahlussunnah Waljama’ah (Sunni), karena ulama tauhid salafi berakhir pada masa Abdullah ibnu Sa’id Al-Kalabi, Abi Al- Abbas Al-Qalansi dan Al-Haris Ibnu Asad Al- Muhasibi (300 H).
Ilmu tauhid sistem Khalaf, sebagai lawan salaf ini, mendapat dukungan dari ulama-ulama Ahlussunnah seperti imam Al-Ghazali (W. 505 H) dan Ar-Razi (W. 606 H) dan kemudian dirampungkan oleh Imam As-Sanusi (833H- 895H), dengan mulai teori sifat dua puluh, dan sifat istighna’, dengan sifat iftiqar itu, sehingga ilmu kalam berjalan sendiri, ilmu tauhid sunni lain pula, sedangkan ulama tauhid salafi mendapat pencerahan kembali oleh Ibnu Taymiyah (661 H- 724 H) dan di dukung oleh ibnu Qayyim yang tetap teks Book, setelah 400 Tahun lebih diimbangi oleh tauhid Sunni.
Karena Itu, masyhurlah sebagai peletak dasar-dasar ilmu tauhid sunni yang disandarkan kepada dua imam, yaitu Abul Hasan Al-Asy’ari dan Abul Mansur Al-Maturidi, karena merekalah yang pertama menyusun, mengumpulkan ilmu kalam ini dengan dalil-dalilnya secara terperinci, yang berdiri sendiri sebagai suatu disiplin ilmu diantara berbagai ilmu-ilmu agama lainnya.

6.      Setelah Abbasiyah
Sesudah kemunduran Daulah Abbasyiah, golongan asy-`Ariyah yang sudah terlalu jauh menggunakan filsafat dalam alirannya tidak banyak mendapat tantangan lagi. Hanya sedikit mendapat reaksi dari golongan Hambaliyah yang tetap berpegang pada pandangan golongan Salaf, beriman dengan apa yang sudah disebutkan al-Quran dan Hadits Rasulullah saw  tanpa memerlukan takwil.
Pada abad ke delapan Hijriah muncullah Ibnu Taimiyah menentang aliran Asy’ariyah, karena terlalu berlebihan menggunakan filsafat dalam pembahasan Ilmu Tauhid. Timbullah pro dan kontra, ada yang membenarkan Ibnu Taimiyah dan ada yang menganggapnya sesat. Usaha Ibnu Taimiyah ini dilanjutkan oleh muridnya Ibnu Qaiyim al-Jauziyah. Sesudah itu pembahasan Ilmu Tauhid terhenti.
Hilang gairah kaum muslimin untuk mempelajari dan mengembangkannya, kecuali hanya membaca kitab-kitab yang sudah ada saja. Kefakuman ini cukup lama, barulah berakhir dengan munculnya Sayid Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh dan Sayid Rasyid Ridha di Mesir. Inilah gerakan ini disebut gerakan Salafiyah.

D.     Ruang Lingkup Pembahasan Ilmu Tauhid
1.      Ma`rifatul Mabda
Ma`rifatul Mabda adalah ilmu yang membahas tentang zal Allah dan sifat-sifat-Nya, hal yang wajib, mustahil dan jaiz bagi-Nya. Ini disebut juga dengan Qism al-Ilahiyat. Sifat wajib bagi Allah adalah sebagai berikut:
a.       Wujud
Wujud berati ada, maka mustahil tidak ada. Allah SWT, berfirman :
Allah lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya” (Q.S. As-Sajadah : 4)

b.      Qidam
Qidam artinya terdahulu (tanpa ada awalnya), maka mustahil didahului oleh ‘adam (ketiyadaan). Allah SWT, berfirman :
 “Dialah yang Awal dan yang akhir” (Q .S.Al-Hadid : 3)

c.       Baqa’
Baqa’ artinya kekal (abadi), maka mustahil dikenai fana’ (kebinasaan). Allah SWT, berfirman:
 “Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.”(Q.S.Ar-Rahman : 27)

d.      Mukhalafatu lil-Hawadits
Muhkalafatu lil-Hawadist artinya berlawanan dengan segala sesuatu yang baru, maka mustahil bagi Allah bersamaan dengan segala sesuatu yang baru. Allah SWT, berfirman :
 “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia. (Q.S.Asy-Syuura : 11)

e.       Qiyamuhu Binafsihi
Qiyamuhu Binafsihi artinya berdiri dengan dirinya sendiri, maka mustahil tidak berdiri dengan sendirinya. Dengan kata lain, Allah tidak bergantung atau tideak berhajat kepada yang lain. Allah SWT, berfirman :
 “Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan seuatu) dari alam semesta alam. (Q.S. Al-Ankabut : 6)

f.       Wahdaniyah
Wahdaniyah artinya Esa dzat-Nya, sifat-Nya dan fi’il-Nya. Maka mustahil Allah itu berbilang dzat, sifat dan fi’il-Nya. Allah SWT, berfirman :
 “Katakanlah: “Dia-lah Allah, yang Maha Esa.” (Q.S.Al-Ikhlas : 1)

g.       Qudrat
Qudrat itu artinya kuasa, maka mustahil Allah itu tidak kuasa. Allah SWT, berfirman :
 “Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.” (Q.S.Al-Baqarah : 20)

h.      Iradat
Iradat artinya berkehendak (berkeinginan)’ maka mustahil Allah bersifat terpaksa. Allah SWT, berfirman :
 “(Sesungguhnya Tuhanmu) Maha Melaksanakan apa yang Ia kehendaki” (Q.S.Huud : 107)

i.        ‘Ilmun
‘Ilmun artinya mengetahui, maka mustahil Allah atu jahil (tidak mengetahui). Allah SWT, berfirman :
“Dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (Q.S.An-Nisaa’ : 176)

j.        Hayat
Hayat artinya hidup, maka mustahil Allah itu mati. Allah SWT, berfirman :
Dan bertawakkallah kepada Allah yang hidup (kekal) yang tidak mati.”(Q.S.               Al-Furqan 58)

k.      Sama’
Sama’ artinya mendengar, maka mustahil Allah itu tuli. Allah SWT, berfirman :
“Dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”(Q.S.Al-Baqarah : 256)

l.        Bashar
Bashar artinya melihat, akan mustahil Allah SWT buta.
 “Dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.” (Q.S.Al-Hujurat : 18)

m.    Kalam
Kalam artinya berbicara, maka mustahil Allah itu gagu. Allah    berfrman:
 “Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung.” (Q.S.An-Nisa’ : 164)

n.      Qaridun
Qaridun artinya yang kuasa, maka mustahil Allah itu bukan yang kuasa. Dalilnya sama dengan yang ada dalam sifat Qudrat.

o.      Muridan
Muridun artinya berkehendak, maka mustahil Allah tidak berkehendak. Dalilnya sama dengan yang ada dalam sifat Iradat.

p.      ‘Alimun
`Alimun artinya yang mengetahui, maka mustahil Allah itu tidak mengetahui. Dalilnya sama dengan yang ada dalam sifat ‘Ilmun.



q.      Hayyun
Hayyun artinya yang hidup, maka mustahil Allah itu mati. Dalilnya sama dengan yang ada pada sifat Hayat.

r.        Sami’un
Sami’un artinya yang mendengar, maka mustahil Allah itu tuli. Dalilnya sama dengan yang ada dalam sifat Sam’un.

s.       Bashirun
Bashirun artinya yang melihat, maka mustahil Allah itu buta. Dalilnya sama dengan yang ada dalam sifat Bashar.

t.        Mutakallimun
Mutakallimun artinya berbicara, maka mustahil Allah itu gagu. Dalilnya sama dengan yang ada dalam sifat Kalam.

Secara Ijmal, sifat-sifat yang wajib bagi Allah itu terbagi menjadi empat bagian, yaitu:
a.       Sifat Nafsiah : yaitu suatu hal yang wajib bagi dzat Allah bersifat dengan sifat wujud (ada), yang wujudnya it tidak disebabkan oleh suatu sebab apapun, sifat Nafsiah ini hanya memiliki satu sifat saja, yaitu Wujud.
b.      Sifat Salbiyah : yaitu suatu sifat yang menafikan (meniadakan) semua sifat yang tidak layak bagi Allah. Sifat yang tidak ada bagi Allah. Sifat Salbiah memiliki lima sifat yaitu : Qidam, Baqa’, Mukhalafatu Lil Hawadits, Qiyamuhu Banafsihi, Wahdaniat.
c.       Sifat Ma’ani : Yaitu semua sifat yang berdiri pada dzat Allah yang maujud, yang mewajibkan dzat itu bersifat dengan suatu hukum sifat ma’nawiyah. Sifat Ma’ani ini meliputi tujuh sifat yaitu : Qudrat, Iradat, Ilmun, Hayat, sam’un, bashar, kalam.
d.      Sifat Ma’nawiyah : Yaitu suatu hal yang tetap (tsabit) bagi dzat Allah bersifat dengan sifat ma’nawiyah. Oleh karena-Nya terdapat ikatan yang kuat antara sifat ma’ani dan sifat ma’nawiyah. Dan sifat Ma’nawiyah. Ini meliputi tujuh sifat : Qadirun, Muridun, ‘Alimun, Hayyun, Sami’un, Bashirun, Mutakallimun.

Sifat-sifat mustahil bagi Allah yaitu sebagai berikut:
1.      Adam (tiada)
2.      Huduts (ada yang mendahului)
3.       Fana (berakhir)
4.       Mumatsalatu lil hawaditsi (ada yang menyamai)
5.       Ihtiyaju lighairihi (memerlukan yang lain)
6.       Ta'adud (berbilang)
7.       Ajzun (lemah)
8.       Karahah (terpaksa)
9.       Jahlun (bodoh)
10.   Mautun (mati)
11.  Shamamun (tuli)
12.   Ama (buta)
13.   Bakamun (bisu)
14.   Kaunuhu 'ajiyan (zat yang lemah)
15.   Kaunuhu karihan (zat yang terpaksa
16.   Kaunuhu jahilan (zat yang sangat bodoh)
17.   Mayyitan (zat yang mati)
18.   Kaunuhu ashamma (zat yang tuli)
19.   Kaunuhu 'ama (zat yang buta)
20.   Kaunuhu abkama (zat yang bisu)

Adapun Sifat Jaiz Bagi Allah SWT adalah bahwa Allah berbuat apa yang/dikehendaki, seperti dalam Al-Qur’an disebutkan :
 “Dan Tuhanmu menjadikan dan memilih barang siapa apa yang dikehendaki-Nya. (Al-Qashash: 68).

2.      Ma`rifatul Washitah
Ma`rifatul washitah adalah yang membahas tentang Rasul-Rasul Allah dan sifat-sifatnya, bak yang wajib, mustahil, maupun yang jaiz, demikian pula kitab-kitab-Nya dan para malaikat-Nya atau ii disebut juga dengan penghubung antara yang Maha Pencipta dengan hamba-Nya.
a.       Rasul-Rasul Allah
1.      Adam AS
2.      Idris AS
3.      Nuh AS
4.      Hud AS
5.      Shaleh AS
6.      Ibrahim AS
7.      Luth AS
8.      Ismail AS
9.      Ishaq AS
10.  Ya`qub AS
11.  Yusuf AS
12.  Syu`ib AS
13.  Ayub AS
14.  Zulkifli AS
15.  Musa AS
16.  Harun AS
17.  Daud AS
18.  Sulaiman AS
19.  Ilyas AS
20.  Ilyasa AS
21.  Yunus AS
22.  Zakaria AS
23.  Yahya AS
24.  Isa AS
25.  Muhammad SAW

Sifat-Sifat Rasul Allah
Sifat-sifat wajib bagi Rasul, adalah sebagai berikut:
1)      Shidiq (Jujur)
2)      Amanah (dipercaya)
3)      Tabligh (menyampaikan)
4)      Fathonah (cerdas)
Sifat-sifat mustahil bagi Rasul yaitu sebagai berikut:
1)      Kidhzib (Bohong),
2)      Khianah (Berkhianat atau tidak dipercaya),
3)       Kitman (menyembunyikan) dan
4)      Baladah (Bodoh).

Sifat jaiz bagi rasul, yaitu: Allah telah mengutus para rasul kepada manusia dan telah dihiasi dengan sifat kesempurnaan melebihi makhluk Allah yang lain, namun mereka tidak akan terlepas dari fitrah kemanusian yang ada dalam dirinya. Seorang rasul tetaplah sebagai seorang manusia biasa yang berprilaku sebagaimana manusia.

b.      Kitab-Kita Allah
Di antara kitab-kitab Allah yang wajib kita imani secara khusus adalah kitab-kitab yang telah disebutkan oleh Allah Ta’ala dalam al-Qur’an dan oleh Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam as-Sunnah. Kitab-kitab tersebut adalah:
1)      Taurat, yaitu kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Musa ‘alaihis salam
2)      Zabur, yaitu kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Daud ‘alaihis salam.
3)      Injil, yaitu kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Isa ‘alaihis salam.
4)      Al-Qur’an, yaitu kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam

c.       Malaikat-Malaikat Allah
1)      Jibril, Tugasnya membawakan wahyu kepada Nabi-Nabi
2)      Mikail, Tugasnya nurunin hujan dan rezeki kepada makhluk hidup
3)      Isrofil, Tugasnya meniup sangkakala : pertanda hari kiamat
4)      Izroil, Tugasnya mencabut nyawa manusia : alamat mau meninggal dunia
5)      Munkar, Tugasnya menanyain / menginterogasi manusia dalam kubur
6)      Nankir, Tugasnya sama seperti malaikat Munkar
7)      Raqib, Tugasnya mencatat perbuatan baik manusia
8)      Atid, Tugasnya mencatat perbuatan jelek manusia
9)      Malik, Tugasnya menjaga pintu neraka
10)  Riduan, Tugasnya menjaga pintu surga
3.      Ma`rifatul Ma`ad
Ma`rifatul ma`ad adalah membahas tentang hari kemudian atau hari akhirat. Seperti hari kebangkitan, hisab, surga, neraka, dan lain sebagainya. Atau disebut juga dengan janji-janji Allah swt.
a.      Nama-nama hari akhir
1)      Hari Qiyamat (Yaumul Qiyamah)
2)      Hari Akhir ( al-Yaumul akhir)
3)     Hari Kebangkitan (Yaumul Ba’ats)
4)     Hari Pembalasan (Yaumud-Din)
5)     Hari Perhitungan (Yaumul Hisab)
6)     Yaumil mizan, dan lain-lain.

b.      Surga dan Neraka
1)      Surga
Di dalam bahasa Arab surga disebut dengan al – jannah atau al-hadiqah zatusy syajar (kebun atau taman yang terdiri dari berbagai macam pepohonan). Maka surga dipahami dengan berbagai macam kenikmatan dan kelezatan yang luar biasa. Macam-macam surga, yaitu:
a)      Surga Fidaus
b)      Surga ‘Adnin
c)      Surga Na’im
d)      Surga Ma’wa
e)      Surga Darussalam
f)       Surga Darul Muqamah
g)      Surga al-Maqamul Amin
2)      Neraka
Adapun neraka desebut dengan al-nar (api yang menyala). Oleh sebab itu neraka dipahami sebagai tempat yang berisi berbagai macam azab dan siksaan serta balasan bagi orang – orang yang berbuat dosa atau kesalahan. Oleh sebab itu neraka disebut juga dengan mautin al- azab (tempat untuk berlakunya siksaan). Adapun nama – nama neraka adalah sebagai berikut :
a)      Neraka Jahannam
b)      Neraka Jahim
c)      Neraka Hawiyah
d)      Neraka Weil
e)      Neraka Ladza
f)       Neraka Sa’ir
g)      Neraka saqar
h)      Neraka al-Huthamah

E.     Pembagian Tauhid
1.      Tauhid Uluhiyah
Uluhiyah berasal dari kata “Ilah” yang berarti Tuhan. Tauhid ini disebut juga dengan Tauhid ubudiyah yang berasal dari kata “abida” yang berarti menyembah.
Maksud dari tauhid ini adalah bahwa Allah sajalah benar-benar atau satu-satunya Tuhan yang patut disembah dari sekian banyak nama Tuhan. Sebab pada umumnya setiap manusia mengetahui adanta Tuhan, hanya saja cara menggambarkannya yang salah. Bagi manusia yang primitif menggambarkan Tuhan dalam bentuk animisme, dinamisme, dan politheisme. Bagi umat Jahiliyah mentuhankan Manna, watha, Uzza dan berbagai patung yang terletak di Ka`bah waktu itu.
Ada juga yang berpendapat bahwa tauhid uluhiyah adalah mengeesakan Allah dengan melakukan berbagai macam ibadah yang disyari`atkan.
Dan dapat disimpulkan bahwa tauhid uluhiyah adalah pengakuan yang penuh bahwa Allah sajalah yang patut disembah, tidak boleh melakukan pengabdian kepada selain-Nya. Tauhid ini melarang menyembah manusia, benda-benda keramat, kuburan, para wali, dan lain sebagainya. Dalam hal ini Islam telah menggariskan secara tegas bahwa seluruh pengabdian hanya lah kepada Allah semata. Allah swt berfirman dalam Q.S. at-Thaha ayat 14:
Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, Maka sembahlah aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat aku.

2.      Tauhid Rububiyah
Rububiyah berasal dari kata rabb yang berarti pencip dan pengatur segala yang ada ini. Dengan demikian pengertian tauhid rububiyah ini adalah pengakuan yang kuat atau keyakinan yang penuh bahwa Allah sajalah yang mengatur dan  menciptakan alam semesa ini, baik alam nyata maupun alam ghaib.
Pendapat lain mengatakan bahwa tauhid rububiyah adalah pengakuan bahwa sesungguhnya Allah adalah Tuhan yang Maha Pencipta, orang-orang kafirpun mengetahui tauhid ini. Tetapi, pengakuan tersebut tidak menjadikan mereka tergolong sebagai orang  Islam. Allah swt berfirman dalam Q.S. al-Zukhruf ayat 87:
Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab: "Allah", Maka Bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)?

3.      Tauhid Asmaul Sifah
Tauhid asmaul sifah adalah tauhid kepada Allah dengan mempercayai bawa Allah adalah mempunyai sifat-sifat yang sempurna, tidak serupa dan tidak dimiliki oleh makhluknya sebagaima Dia dan Rasul-Nya mensifatkan. Mustahil Allah mempunyai sifat-sifat yang kekurangan, keyakinan seperti inilah yang dinamakan tauhid asmaul sifah.
Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa asmaul sifah adalah beriman terhadap segala apa yang terkandung dalam al-Quran dan hadits shahih tentang sifat-sifat Allah yang berasal dari penyifatan Allah atas dzat-Nya.
Beriman kepadasifat-sifat Allah tersebut harus benar dan tanpa ta`wil (penafsiran), tahrif (penyimpangan), tahkyif (penggambara), dan ta`wilah seperti yang banyak dipahami oleh oleh manusia. Misalnya tentang tentang sifat al-istiwa` (besemayam di atas), an-Nuzul (turun), al-yad (tangan), al-Mafi`` (kedatangan), dan sifat-sifat yang lainnya.
Semua sifat-sifat itu sesuai dengan keterangan ulama salaf, al-istiwa` misalanya, menurut keteragan thabi`in sebagaimana yang ada dalam Shahih Bukhari yang berarti `ulum al-irrifa` (tinggi dan berada di atas, sesuai dengan kebesaran dan keagungan Allah swt). Allah swt berfiirman dalam Q.S. asy-Syuura ayat 11:
 (Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan- pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat.

F.      Tauhidullah
1.      Makna Kalimat Lailahaillallah
Laa Ilaaha Illallah adalah kalimat yang terdiri dari 4 kata, yaitu:
a.       kata laa (لا), kata  Laa adalah nafiyah lil jins (Meniadakan keberadaan semua jenis kata benda yangdatang setelahnya). Misalnya perkataan orang Arab “Laa rojula fid dari” (Tidak ada laki-laki dalam rumah) yaitu menafikan (meniadakan) semua jenis laki-laki didalam rumah. Sehingga laa dalam kalimat tauhid ini bermakna penafian semua jenis penyembahan dan peribadahan yang haq dari siapapun juga kecuali kepadaAllah ‘Azza wa Jalla.
b.      Ilah adalah mashdar (kata dasar) yang bermakna maf’ul (obyek) sehingga bermakna ma`l uh yang artinya adalah ma’bud  (yang diibadahi). Karena aliha maknanya adalah  ‘abada sehingga makna  ma’luh adalah ma’bud. Hal inisebagaimana dalam bacaan Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma terhadap ayat 127 pada surat Al-A’raf yang berbunyi:

Il ahat aka (ilahatahmu) yaitu peribadatan kepadamu, karena Fir’aun itu disembahdan tidak menyembah. Hal ini menunjukkan bahwa Ibnu ‘Abbas memahami bahwakata Ilahah artinya adalah Ibadah.
c.       Illa (kecuali). Pengecualian di sini adalah mengeluarkan kata yang terletak setelah illa dari hukum kata yang telah dinafikan oleh laa. Misalnya dalam contoh di atas laa rajula fid dari illa Muhammad, yaitu Muhammad (sebagai kata setelah illa) dikeluarkan (dikecualikan) dari hukum sebelum illa yaitu peniadaan semua jenislaki-laki di dalam rumah, sehingga maknanya adalah tidak ada satupun jenis laki-laki di dalam rumah kecuali Muhammad. Jika diterapkan dalam kalimat tauhid inimakna maknanya adalah bahwa hanya Allah yang diperkecualikan dari seluruh jenis ilah yang telah dinafikan oleh kata laa sebelumnya.
d.      Lafadz “Allah” asal katanya adalah Al-Ilah dibuang hamzahnya untuk mempermudah membacanya, lalu lam yang pertama di idhgam kan (digabungkan) pada lam  yang kedua maka menjadilah satu lam yang di tasydid  dan lam yangkedua diucapkan tebal sebagaimana pendapat Imam Al-Kisa`i dan Imam Al-Farra` dan juga pendapat Imam As-Sibawaih.

Berkata Syech Abdul Aziz Rahimullah dalam majmuk fatwa beliau: “sesungguhnya saya melihat tulisan yang ditulis oleh saudara kita yang dijalan Allah al`Alamah Asyiah Umar bin Ahmad al-Marib tentang makna لااله الاالله dan saya perthatikan apa yang beliau jelaskan pendapat 3 kelompok dalam maknanya dan penjelasannya.
a.       Laa ma`buda bi haqqin illallah, tidak sembahan yang berhak disembah kecuali Allah swt.
b.      Laa mutha`a bi haqqin illallah, yaitu tidak ada yang berhak ditaati kecuali Allah swt.
c.       Laa raba illallah, yaitu tiada Tuhan selain Allah swt.
Dan yang benar adalah yang pertama, sebagaiman yang beliau jelaskan, dan makna inilah yang ditunjukkan oleh kitab Allah dam beberapa tempat dalam al-Quran, di antaranya dalam Q.S. al-Fatihah ayat 5 yang artinya “hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya lepada Engakulah kami meminta pertolongan”.

2.      Ma`rifatullah
Syech Usami Rahimullah menyatakan bahwa ketika seseorang telah mengenal Allah, maka secra pasti mereka akan mempunyai beberapa sikap yang akan tampak pada dirinya. Di antara sifat tersebut adalah:
a.       Menerima syariat yang telah ditetapkan Allah azza wajallah
b.      Tunduk dan patuh kepada Allah swt
c.       Menjadikan syriat Islam yang dibawa oleh Rasulullah sebagai penetu hukum.
Mengenal Allah dengan benar akan membuahkan ketaatan kepada Allah dan kecintaan kepada-Nya. Menurut padangan syariat rab kita adalah Allah swt. Dialah yang menciptakan kita, yang memberi rizki, yang menghidupkan dan mematikan. Dialah Allah swt Rabbul `alamin, Dialah Allah azza wajallah, dzat yang wajib kita sembah, dan tidak boleh mempersekutukan-Nya dengan bentuk apapun. Dialah yang meurunkan kepada makhlu-Nya semua nikmat, nikmat-nikmat Allah swt tidak terhitung banyaknya. Dan jika kmu mau menghitung nikat-Nya niscaya kamu tidak akan sanggup menghitungnya (Q.S. an-Nahl      ayat 18).
Adapun manhaj (metode) dalam mengenal Allah swt adalah sebagi berikut:
a.       Mentadabbur dan tafakur  terhadap kebesaran ciptaan Allah swt dan kekagungan-Nya
b.      Mengakaji ayat-ayat al-Quran
Dalam mengenal Allah swt dan beriman kepada-Nya ada 4 hal yang wajib diperhatikan:
a.       Beriman dengan adanya Allah swt.
b.      Beriman dengan rububiyah Allah azza wajallah.
c.       Beriman dengan ulhiyah-Nya Allah swt.
d.      Beriman dengan asma` dan sifat-Nya.

3.      Muraqabah
Dari segi bahasa muraqabah bearti pengawasan dan pantauan. Sedangkan menurut istilah muraqabah adalah suatu keyakinan yang dimiliki oleh  seseorang bahwa Allah swt senantiasa mengawasinya, melihatnya, mendengarnya, dan mengetahui segala apapun yang dilakukannya, dalam setiap waktu, setiap saat, setiap nafas, atau setiap kedipin mata sekalipun.
Syech Ibrahim bin Khawas menyatakan bahwa muraqabah adalah bersihnya segala amalan baik yang sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan hanya kepada Allah swt.
Macam-macam muraqabah, yaitu:
a.       Muraqabah dalam ketaatan kepada Allah swt, dan penuh keihklasan menjalankan perintah-Nya.
b.      Muraqabah dalam kemaksiatan dan mejauhi perbuatan maksiat, bertaubat menyesali perbuatan-perbuatan dosa yang pernah dilakukannya.
c.       Muraqabah dalam hal-hal yang bersifat mubah
d.      Muraqabah dalam musibah yang menimpanya, yaitu ridha dengan ketentuan Allah serta memohon pertolongan kepada-Nya dengan sabar.

Cara untuk menumbuhkan sifat muraqabah yaitu sebagai berikut:
a.       Memupuk keimanan kepada Allah sebaik-baiknya
b.      Melatih diri untuk menjaga perintah dan menjauhi larangan-Nya
c.       Memperbanyak amalan sunnah
d.      Merenungi kehidupan slaf shaleh dalam muraqabah
e.       Bersahabat dengan orang-orang shaleh yang memilikirasa takut kepada Allah
f.       Memperbanyak menangis karena Allah, dan meminilisir tertwa terutama karena senda gurau.

Urgensi sifat muraqabah yaitu:
a.       Optimalnya ibadah yang dilakukan seseorang serta jauhnya ia dari kemaksiatan
b.      Rasa kedekatan kepada Allah swt
c.       Akan memiliki pirasat yang benar
d.      Muraqabah merupaka sunnah/perintah Rasul. Dalam sebuah hadits diriwayatkan “bertaqwalah kepada Allah di manapun berada, dan ikutilah perbuatan buruk dengan perbuatan yang baik, guna menghapus perbuatan yang buruk tersebut, serta gauilah manusia dengan perbuatan yang baik”.

G.    Syahadatain
1.      Pengertian Syahadatain
Kata syahadat secata etimologi yang mempunyai 3 pengertian yaitu:
a.       Iqrar/al-ilmu/pengetahuan/pernyataan
Seseorang saat memasuki pintu gerbang Islam menyatakan bahwa tidak ada ilah selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah. Ini terdapat dalam Q.S. at-Thalaq ayat 2, dan Ali Imran ayat 18.

b.      Al-wa`du (janji)
Syahadat merupakan sebuah perguruan, seseorang yang berjanji selam janji itu belum terealisasikan maka seharusnya ia merasa berbohong, sebab janji adalah hutang. Firman Allah dalam Q.S. Muthaffifin ayat ayat 21dan Q.S. Ali Imran ayat 18.

c.       Qasamu (sumpah)
Kalimat syahadat mempunyai dua kandungan pengertian yaitu syahadah uluhiyah dan syahadah risalah. Kedua tersebut tidak bisa dipisahkan karena merupakan suatu kesatu. Ini terdapat dalam Q.S. al-Munafiqun ayat 1 dan Q.S. an-Nisa` ayat 6.

Adapun secara istilah, syahadat merupakan suatu pernyataan, janji sekaligus sumpah untuk beriman kepada Allah swt dan Rasul-Nya dengan membenarkan dalam hati (at-Tasdiqu bi qalbi), dinyatakan dengan lisan (al-qaulu bi lisan), dibutikan dengan perbuatan (al-amalu bi araqan).


2.      Kandungan Kalimat Syahadatain
Kalimat syahadat mempunyai dua kandungan pengertian yaitu syahadat uluhiyah dan syahdah risalah, di mana kandungan tidak bisa dipasahkan satu sama lain.
a.       لااله الاالله (syahadah uluhiyah)
Di mana K.H. R. Hadjid merumuskan pernyataan لااله الاالله empat sikap sebagai konsekuensi, yaitu:
1)      Tidak ada Tuhan selain Allah yang berkah dicintai kecuali hanya cinta kepada Allah semata (la hubban illallah)
2)      Tidak ada Tuhan selain Allah yang berhak ditakuti kecuali hanya takut kepada Allah semata (la Khasyatan illallah)
3)      Tiada Tuhan selain Allah yang berhak dita`ati kecuali Allah semata (la taatan illallah)
4)      Tiada Tuhan selain Allah yang berhak diagungkan dan disembah kecuali hanya menyembah dan mengabdikan diri kepada Allah semata (la iiabdatan illallah)
Dan berikut penjelasan dari la hubban illallah, la khasyatan illallah, la ta`athan illallah, dan la ibadatan illallah, yaitu:
1)      La Hubban illallah
Dalam diri manusia terdapat fitrah mencintai berbagai macam kecintaan, seperti mencitai suami/istri, anak, orangtua, harta benda, dan lain sebagainya. Kecintaan terhadap hal seperti itu termasuk kecintaan dalam kategori mata-al-hayataddu-nya, yaitu kecintaan hidup keduniaan. Al-Quran menyatakan sebagai mata-ul-ghurur (kebahagiaan yang menipu) di mana ketenangan ini tidak dapat mendatangkan kekuasaan yang hakiki, sebagai mana dijelaskan dalam Q.S. al-Hadid ayat 20:
Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan Para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu Lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.
Keterangan yang bersifat duniawi ini tidak akan kekal sifatnya kecintaan yang bersifat duniawi seharusnya diletakkan jauh di bawah kecintaan terhadap Allah swt dan Rasul-Nya.


2)      La khasyatan illallah
Menetapkan bahwa tidak ada Tuhan yang wajib ditakuti kecuali takut kepada Allah swt semata  (Q.S. at-Taubah ayat 13). Makna takut kepada Allah di sini bukanlah takut dalam arti bukanlah takut kepada Allah yang dimaknai sebagai sosok pribadi mengerikan, menyeramkan, ataupun menakutkkan. Tapi makna takut di sini ialah takut terhadap murka Allah, azab-Nya, yang meluluhlantakkan dirinya, takut terhadap api neraka-Nya yang sangat dahsyat dan mengerikan.
3)      La tha`atan illallah
Tidak ada Tuhan selain Allah yang berhak ditaati kecuali taat kepada Allah semata, sikap ini merupakan akibat dari pernyataan la khasyatan illallah. Denga sikap selalu mempertanyakan apakah yang ia perbuat akan mengakibatkan dirinya akan dilaknat oleh Allah atau memperoleh rahmat dan nikmat dari Allah. Dengan pertimbangan yang demikian maka seorang mukmin menyadari akan tanggung jawabnya menyatakan لااله الاالله. Dengan ikrar لااله الاالله dengan sepenuh hati oleh seorang mukmin, maka mereka berusaha untuk bersikap loyal serta mentaati Allah. (Q.S. an-Nur ayat 51) dan (Q.S. an-Nisa` ayat 59 dan 65).
4)      La ibadatan illallah
Puncak dari sebuah pernyataan لااله الاالله ialah menafikan segala sesuatu apapun wujudnya untuk diagung-agungkan, disembah, dan dihormati (sujud). Penyembahan dan pengagungan hanya diperuntukkan kepada Allah semata, sebai satu-satunya dzat yang berhak untuk disembah bagi orang mukmin.
Sikap yang keempat ini merupakan perwujudan dari berpadunya antara siakp cinta, takut, serta sikap ketaatan kepatuhan yang tak terhingga kepada Allah dan tidak sikap lain kecuali menyerahkan seluruh hidupnya untuk menjaadi hamba yang setia (Q.S. Thaha ayat 14).

b.      Makna syahadatain
Dua kalimat syahadat/syahadatain merupakan kalimat yang uatama dan pertama yang harus diucapkan dan diapahami jika seorang masuk Islam dan bagi seluruh umat Islam pada umumnya. syahadatain mengandung dua pengertian yang sangat mendasar yaitu tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah.
Bagi yang mengucapkan kalimat syahadat ada 3 syaratdiperlukan agar syahadatnya diterima Allah, yaitu:
1)      Mengetahui maknanya dengan benar.
2)      Memahami dengan  hati yang sungguh-sungguh.
3)      Ikhlas, yakni mengerti apa yang dipersaksikan dengan benar.
Dua kalimat syahadat merupakan satu kesatuan yang tidak boleh dipisahkan. Dengan artian jika seseorang bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad ustusan Allah adalah pembawa risalah yang harus di ikuti.

c.       Makna kalimat la ilahillallah (لااله الاالله)
Mengandung beberapa pengertian yaitu la khaliqa illallah (tiada pencipta kecuali Allah), la razikqa illallah (tiada pemberi rizki kecuali Allah), la hikamah ilallah (tiada pembuat hukum kecuali Allah), la wahiiya ilallah (tiada pelindung kecuali Allah), la ghayata ilallah (tiada tujuan kecuali Allah), la ma`buda ilallah (tiada yang patut diembah kecauali Allah).
Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan Allah swt sesuatu yang mendominasi dan menguasi diri kita. Maka لااله الاالله dapat diartikan sebagai tiada segala sesuatu yang mengusai diri kita, kecuali kekuasaan Allah semata.

d.      Makna Muhammadarasulullah (محمدرسول الله)
Persaksian terhadap kerasulan Nabi Muhammad saw dijadikan salah satu dari dari dua kalimat syahadat yang merupakan pintu gerbang untuk memasuki dunia Islam. Di mana Rasulullah merupakan contoh keteladanan yang utama bagi setiap muslim. Allah swt berfirman dalam Q.S. al-Ahzab ayat 21:
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.

3.      Dampak Persaksian Syahadatain
Makna syahadatain jika dipahami dengan benar maka akan mendatangkan dampak yang positif bagi setiap pribadi muslim. Sedangkan pribadi muslim akan selalu menyertakan Allah dan Rasul-Nya di sesuatu yang terjadi, hanya kepada kekusaan Allah semata, sehingga akan tercipta seorang pribadi muslim yang kuat lahir dan bathin.

4.      Urgensi Syahadatain bagi orang Muslim
a.       Pintu masuk ke dalam Islam
Syahadat merupakan pintu pembuka bagi keislaman seseorang dan juga janji yang telah diikat oleh Allah swt semenjak manusia di alam ruh sebelumnya dilahirkan ke dunia. Firman dalam Q.S. al-A`raf ayat 172:
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)",

b.      Intisari ajaran Islam
Syahadat merupakan inti ajaran Islam, karena dalam syahadat diungkapkan tentang kesaksian kepada Allah dan kesaksian kepada Rasul (Nabi Muhammad saw), yang makna konsekuensinya ialah segala apa yang diwahyukan Allah harus ditaati dan segala ajaran dan sunnahnya harus diikuti tanpa pilihan lain. Yaitu terdapat dalam Q.S. al-Anbiya` ayat 25:
Dan Kami tidak mengutus seorang Rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, Maka sembahlah olehmu sekalian akan aku".

c.       Hakikat dakwah para Rasul
Terdapat dalam Q.S. an-Nahl ayat 36:
Dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu", Maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).

d.      Konsep dasar reformasi total
Sebagaiman firman Allah dalam Q.S. al-An`am ayat 122:
Dan Apakah orang yang sudah mati kemudian Dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu Dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan.
H.    Kolerasi Antara Ilmu, Filsafat dan Tasawuf
1.      Ilmu Kalam dan Filsafat Islam
Ilmu kalam dasarnya adalah keagamaan yang berbeda metodenya dan objeknya dari filsafat islam. Filsafat metodenya intelektual, maka nash agama dijadikan bukti untuk membenarkan Rasio. Sedangkan ilmu kalam digunakan metode argumentasi, maka filsafat di jadikan alat untuk membenarkan nash agama.
Objek filsafat adalah Allah dengan Alam dan manusia sedangkan objek ilmu kalam adalah Allah dan sifat-sifat-Nya serta hubungan Allah dengan alam dan manusia yang hidup di bumi, sesuai dengan Syari’at yang diturunkan Allah kepada hamba-Nya dalam kitab suci.
Filsafat mengarungi medan pemikiran tanpa terika pada pendapat yang ada. Sedangkan ilmu kalam mengambil dalil aqidah yang tertera dalam nash agama yang tidak mungkin diragukan lagi.
Filsafat adalah istilah, yaitu bahasa Yunani yang masuk kedunia islam. Jadi, filsafat islam produksi dari luar islam sedangkan ilmu kalam adalah ilmu islam sendiri yang lahir dari diskusi-diskusi sekitar Al-Qu’an apakah Hadits atau Qadim.
Permulaan lahir filsafat islam pada akhir abad ke-2 dan awal abad ke-3 Hijriyah. Begitu juga dengan ilmu kalam, namun kedua di kenal dengan sebutan yang berbeda yakni para Filosof dan para Mutakallimin.

2.      Ilmu Kalam danTasawuf
Tasawuf berasal dari kata shuf, yakni sejenis wol kasar yang terbuat dari bulu yang di pakai oleh orang-orang yang hidup sederhana dan dalam keadaan miskin, tetapi berhati suci dan mulia. Tasawuf merupakan suatu pengetahuan mempelajari cara dan jalan bagaimana seorang islam berada sedekat mungkin dengan Allah SWT.
Sedangkan jika dilihat hubungannya dengan ilmu kalam maka dirumuskan bahwa ilmu kalam dan tasawuf adalah sama-sama bidang ilmu keislaman yang mengkaji tentang manusia dan hubungan dengan Tuhan sebagai pencipta. Namun metode yang digunakan dalam Tasawuf adalah metode intuisi (dzauqiyah) atau kasyfi.

3.      Persamaan dan Perbedaan Ilmu Kalam  dengan Filsafat
a.       Persamaan Ilmu Kalam dan Filsafat
Persamaannya yaitu terletak pada objek kajiannya, dimana keduanya sama-sama mengkaji Allah, Alam dan Manusia.
b.      Perbedaannya
1)      Ilmu kalam menggunakan metode Argumentasi, sedangkan filsafat menggunakan metode intelektual.
2)      Ilmu kalam terikat dengan dogma atau nash, sedangkan filsafat tidak terikat oleh apapun.

4.      Persamaan dan Perbedaan Ilmu Kalam  dengan Tasawuf
Persamaanya yaitu sama-sama bertujuan untuk mengenal Allah. Sedangkan perbedaannya terletak pada metode dan fungsinya, dimana metode yang digunakan oleh ilmu kalam adalah metode Argumentasi, dan tasawuf menggunakan metode intuisi, atau pengalaman batin. Sedangkan fungsi dari ilmu kalam adalah memperthankan aqidah secara khusus, keyakinan agama secra umum. Dan tasawuf fungsinya adalah pemberi kesadaran rohaniah.

I.       Latar Belakang Munculnya Aliran Teologi dalam Islam
Secara historis tidak dapat dipungkiri bahwa sebetulnya semenjak kematian Rasulullah telah ada bibit-bibit yang akan jadi perpecahan umat dibelakangnya. Mulai dari pertikaian dari golongan Anshar dan Muhajirin tentang siapa yang berhak menjadi Khalifah pertamah menggantikan Nabi.
Melihat kepada bentuk ataupun materi yang jadi penyebab perpecahan dan perbedaan pendapat itu dimulai dari soal imamah (pemerintahan) yaitu soal pengganti Nabi sebagai khalifah dan pergantian khalifah ke khalifah selanjutnya. Dengan kata lain perpecahan itu dimulai dari perpecahan bidang politik bermuara kelapangan theologi dengan lahirnya bermacam aliran dalam Islam.
Permasalahan ini mulai tampak kepermukaan pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib, yang berawal dari terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan. Kerusuhan ini mencapai klimaks dengan meletusnya perang jamal (35 H /656 M), antara pasukan Ali dengan pasukan Aisyah yang dibantu oleh Zubair dan Talhah yang disusul dengan perang Siffin (36 H/ 657 M) antara pihak Ali dan Muawiyah yang berujung kepada Tahkim (Arbitrase).
Dalam arbitrase ini diangkat dua orang sebagai arbitrer yaitu Amr bin ash (dari pihak Muawiyah) dan Abu Musa Al asy’ari (dari pihak Ali). Diantara keduanya ada kemufakatan untuk menjatuhkan kedua pemuka itu, Ali dan Muawiyah. Abu Musa mengumumkn tentang penjatuhan kedua orang yg saling bertentangan tersebut. Namun Amr bin ash hanya menyetujui penjatuhan Ali dan menolak penjatuhan Muawiyah.
Maka dari peristiwa itu lahirlah aliran Khawarij yang tidak setuju dengan peristiwan tahkim itu dan tidak setuju dengan pemerintahan Utsman, Ali dan Muawiyah serta mencap mereka kafir karena telah bermain-main dengan hukum Allah akibat peristiwa tahkim. Dan golongan kedua yaitu golongan Syi’ah yang cinta serta tetap setia kepada Ali dan anti kepada Muawiyah.
Dari kedua golongan di atas muncullah berbagai macam hukum terhadap tingkah laku perbuatan manusia, misalnya bagaimana hukumnya orang yang mengerjakan dosa besar apakah dia masih mukmin atau telah menjadi kafir. Sehingga pertentangan pendapat yang semula berpangkal dari masalah politik kemudian merembes kepada masalah aqidah dengan munculnya berbagai aliran Theologi Islam.

J.      Aliran Khawarij
1.      Latar Belakang Lahirnya Aliran Khawarij
Munculnya aliran ini bermulai pada peperangan antara pasukan Ali bin Abi Thalib dengan pasukan Mu`awiyah bin Abi Sufyan yang disebut dengan perang Shiffin. sewaktu menerima arbitrse (tahkim) sebagian pasukan Ali bin Abi Thalib merasa kecewa dan sekaligus menentang peritiwa itu dan spontan keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib.
Namun ada juga pendapat yang mengatakan bahwa pemberi nama itu didasarkan atas Q.S. an-Nisa` ayat 100 yang didalamnya disebut "keluar dari rumah lari kepada Allah dan Rasul-Nya dengan demikian kaum Khawarij memandang diri mereka sebagai orang yang meninggalkan rumah dan kampung halaman mengabdikan diri kepada Allah swt dan Rasul-Nya".
Golongan ini dinamakn syurah (penjual), yakni golongan yang telah menjual dirinya untuk Tuhan semata-mata yang diambil dari Q.S. al-baqarah ayat 207 yang artinya "dan di antara manusia ada yang menjual dirinya karena mencari ridha Allah".
Selanjutnya mereka juga dinamakan "haruriyah" karena pergi berlindung kesuatu kota kecil dekat Kuffah yang bernama Harura sebagaimana mereka dinamakan "Muhakkimah" karena mereka selalu menggunakan semboyan "La Hukma Ilallah".
Jadi, dapa diambil kesimpulan bahwa Khawarij artinya orang-orang yang pergi keluar atau memisahkan diri khususnya orang-orang yang memisahkan diri dari golongan Ali bin Abi Thalib.

2.      Ajaran Pokok Khawarij
a.       Segi politik
Doktrin politik Khawarij adalah bahwa kaum muslimin harus dipimpin oleh seorang pemimpin yang berkualitas baik, siapa yang berambisi tetapi tidak berkualitas baik, mereka dicap sebagai orang yang berbuat jahat dan berdosa. Kriteria ini dipahami dalam mengukur baik buruknya kualitas pribadi ialah kadar ketaqwaannya.
Selain itu ada juga yang menyatakan bahwa sikap poltik Khawarij adalah khalifah harus dengan jalan pilihan bebas diambil dari segenap umat Islam dan kalau sudah terpilih tidak boleh menarik diri, khalifah tidak harus dari suku Quraisy, tetapi boleh dari suku lainnya sekalipun dari budak habsyi.
b.      Segi aqidah
Dalam lapangan aqidah mereka memakai istilah "kafir" dan "iman". Mereka mencap kafir Ali dan orang-orang yang menerima tahkim dalam perang Shiffin termasuk Mu`awiyah, Amru bin Ash termasuk Abu Musa al-Asy`ari, karena mereka telah menyeleweng dari ajaran Islam. Selanjutnya hukum kafir ini mereka luaskan, artinya sehingga termasuk orang-orang yang berbuat dosa besar, seperti berzina, pembunuhan, dan lain sebagainya.
Sedangkan mengenai iman, menurut mereka segala yang diperintahkan agama, seperti shalat, puasa, sadaqah, berlaku adil adalah bagian dari iman. Iman bagi mereka bukanlah kepercayaan saja.
Selain itu Khawarij juga mempunyai konsep bahwa Islam dan Iman adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Seseorang yang menyimpang dari iman dengan sendirinya akan keluar dari Islam atau kafir.

3.      Sekte-Sekte Aliran Khawarij
Sekte-sekte aliaran dari Khawarij ini adalah sebagai berikut:
a.       Al-Muhakimah
Ini merupakan golongan Khawarij yang asli dan terdiri  dari pengikut-pengikut Ali. Bagi mereka, Ali bin Abi Thalib, Abu Musa al-`Asyari, Mu`awiyah bin Abi Sufyan, Amru bin Ash dan semua orang yang menyetujui arbitrase (tahkim) bersalah dan menjadi kafir. Semua yang melakukan dosa besar adalah kafir.

b.      Al-Azariqah
Pemimpin mereka adalah Nafi ibn al-Azraq. Sekte ini lebih radikal dan al-Muhakimah, ajarannya yaitu:
1)      Semua umat Islam yang tidak sepaham dengan mereka dipandang musyrik, bahkan al-Zariqah yang tidak mau berhijjah ke lingkungan mereka dianggap musyrik.
2)      Orang yang mengaku pengikut al-Zariqah tidaklah diterima begitu saja, tetapi diuji terlebih dahulu dengan menyerahkan tawanan. Jika twanan tersebut tidak dibunuh maka kepalanya sendiri yang dipenggal.
3)      Menurut sekte ini, hanyalah al-Zariqah sajalah orang Islam, selain itu adalah musyrikb dan wajib untuk diperangi.

c.       Al-Najdah
Pemimpin sekte al-Najdah ini adalah Najdah ibn Amir al-Hanafi  dari Yamamah, dengan pengikut-pengikutnya pada awal adalah golongan al-Zariqah, tetapi tidak sesuai dengan paham halal dibunuh anak istri yang tidak sepaham dengan mereka. Ajarannya alalah:
1)      Orang Islam yang tidak sepaham denga mereka adalah kafir dan kekal di dalam nereka, sedangkan kalau pengikutnya melakukan dosa besar akan mendapat siksaan tetapi bukan di dalam neraka, kemudian baru masuk ke dalam syurga.
2)      Yang diwajibkan bagi setiap muslim adalah mengkuti Allah dan Rasul-Nya dan percaya kepada seluruh yang diwahyukan oleh Allah kepada Rasul-Nya.
3)      Pada hakikatnya manusia tidak berhajat pada iman untuk memimpin mereka.
4)      Paham taqiyah, yaitu merahasiakan keyakinan untuk keamanan diri seseorang bukan hanya dalam bentuk ucapan, tetapi juga dengan perbuatan.

d.      Al-Ajaridah
Pemimpinnya adalah Abd al-Karim ibn Ajrad. Yang ajaran-ajarannya adalah:
1)      Pengikutnya boleh tinggal di luar kekuasaannya dan tidak dia anggap kafir.
2)      Harta yang boleh dijadikan rampasan perang hanyalah harta orang yang mati terbunuh.
3)      Mereka menganggap surat Yusuf bukan bagian dari al-Quran, karena kitan suci tidak mungkin menceritakan tentang cinta.

e.       Al-Sufriah
Pemimpin sekte ini adalah Ziad ibn al-Asfar. Dan ajarannya adalah sebagai berikut:
1)      Orang surfiah tidak berhijrah ridak dipandang kafir
2)      Mereka tidak berpendapat bahwa anak-anak musyrik boleh dibunuh
3)      Dosa terbagi atas dua. Pertama dosa yang sangsinya di dunia seperti membunuh. Kedua, dosa yang tidak ada sangsinya di dunia seperti meninggalkan shalat, yang kafir hanyalah golongan yang kedua.
4)      Daerrah yang tidak sepaham dengan mereka bukan dar harb, yaitu daerah yang harus diperangi, yang diperangi hanya maskar pemerintahan.
5)      Kufur terbagi dua, ingkar dengan nikmat Allah dan mengingkari Tuhan. Kafir tidak selamanya keluar dari agama Islam.

f.       Al-Ibadah
Golongan ini merupakan golongan yang paling moderat. Pemipinnya adalah Abdullah Ibnu Ibad. Adapun ajaranya adalah :
1)      Orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka adalah kafir, tetapi boleh nikah dan mewarisi.
2)      Daerah yang bukan sepaham dengan mereka kecuali champ pemerintahan merupakan dari tauhid.
3)      Orang yang melakukan dosa besar itu muwahid (mengesakan Tuhan) dan kalaupun kafir hanyalah kafir al-ni`mah
4)      Yang boleh dirampas hanya kuda dan senjata, emas dan perak harus dikembalikan.

K.    Aliran Murji`ah
1.      Latar Belakang Lahirnya Aliran Murji`ah
Seperti telah dijelaskan, kaum Khawarij pada mulanya adalah pengikut Ali bin Abi Thalib, tetapi kemudian beralih memusuhinya. Sedangkan dipihak lain ada golongan yang mati-matian menyokong Ali bin Abi Thalib yaitu golongan Syi`ah. Khawarij dan Syi`ah sama-sama memusuhi Bani Umayyah. Khwarij menentang Dinasti Umayyah karena memandang mereka menyeleweng dari ajaran Islam, sedangkan Syi`ah menentang Dinasti Umayyah karena menganggap telah merampas kekusaan Ali bin Abi Thalib.
Ditengah pertentang seperti ini lahirnya aliran Murji`ah yang mereka dalam pertentangan itu tidak memihak kepada siapa-siapa.  Bagi mereka, sahabat-sahabat yang bertikai merupakan orang-orang yang dipercayai dan tidak keluar dari Islam. Oleh karena itu mereka tidak mengeluarkan fatwa tentang siapa yang sebenarnya salah, serta berfikiran lebih baik menunda (arjaa) penyelesaian persoalan ini kehari perhitungan dihadapan Tuhan.
Versi lain, arjaa yang dari sini asalnyya Murji`ah juga bermakna memberi pengharapan. Mereka berpendapat bahwa agama Islam yang melakukan dosa besar bukanlah kafir tetapi tetap mukmin dan tidak kekal di dalam neraka. Mereka memberi pengaharapan bagi orang yang melakukan dosa besar untuk mendapat rahmat Allah. Ada juga yang berpendapat bahwa orang-orang yang sudah mukmin yang berbuat dosa besar hingga matinya juga tidak bertaubat belum dapat dihukum sekarang, terserah atau ditunda atau dikembalikan saja urusannya kepada Allah di hari kiamat.
Muhammad Abu Zahra menjelaskan sekilas lahirnya aliran Murji`ah, bahwa aliran ini lahir atau muncul dalam situasi hangatnya pembicaraan tentang bagaiman hukumnya orang yang melakukan dosa besar, apakah kafir atau tetap beriman (mukmin). Khawarij telahh memvonis kafir, Mu`tazilah berpendapat bukan lagi mukmin dan tidak pula kafir, akan tetapi masih Islam, thabi`in mengatakan munafik, jumhur muslimin menamai  dengan mukmin al-naqis (orang mukmin yang berdosa) yang urusannya ditangan Allah swt.
Di tengah pertentangan inilah lahirnya Murji`ah dengan bependapat bahwa orang yang berdosa besar itu masik mukmin, karena dosa tidak merusak iman, sebagaimana kekafiran tidak tidak ada artinya terhadap ketaantan. Sedangkan urusan dosa ditunda vonisnya ke hadapan Allah swt dihari kiamat kelak.

2.      Ajaran Aliran Murji`ah
a.       Tetang sistem Pemeritahan
Aliran Murji`ah menganut sistem pemerintahan dan praktik bebas, di mana menurut mereka siapapun yang memerintah (khalifah) semua dapat dipercaya dan benar. Di sini dapat dilihat bahwa aliran ini di antara golongan politik yang tidak mau mengotori tangan mereka dengan fitnah dan mengalirkan darah golongan lain.

b.      Tentang Iman
Masalah iman, orang Murji`ah beranggapan bahwa dengan mengenal Allah dan utusan-utusan-Nya, dan siapa yang mengaku bahwa tiada Tuhan selain Allahdan Muhammad utusan-Nya, orang tersebut bisa dikatakan beriman (mukmin). Dan mengatakan bahwa iman itu hanyalah diittiqadkan dalam hati, tanpa diucapkan dengan lisan apalagi dilakukan dengan perbuatan. Iman itu adalah kepercayaan-kepercayaan dalam hati saja, iman tidak memiliki sifat yang dapat bertambah dan berkurang.

c.       Tentang  dosa besar
Masalah dosa besar, mereka berpendapat bahwa orang mukmin yang melakukan dosa besar mereka tetap mukmin dan mereka tidak menghukum kafir meskipun seseorang telah melakukan dosa besar.

3.      Golongan Aliran Murji`ah
a.       Golongan Moderat
Golongan ini berpendapat bahwa orang yang melakukan dosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka, tetapi dihukum dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang dilakukannya dan ada kemungkinan  bahwa Tuhan akan mengampuni dosanya. Tokoh golongan ini adalah Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan kebanyakan dari golongan ahli hadits.

b.      Golongan Ekstrem
Mereka berpendapat bahwa orang Islam yang percaya pada Tuhan dan kemudian menyatakan kekufurannya secara lisan, tidaklah menjadi orang kafir, karena iman dan kufur letaknya di dalam hati. Jadi, walaupun seseorang menyembah berbahala, menjalankan agama Kristen, tetaplah mukmin yang sempurna imannya.

4.      Sekte-Sekte Aliran Murji`ah
Adapun sekte-sekte aliran Murji`ah adalah sebagai berikut:
a.       As-Salihiah
Sekte ini merupakan pengikut dari Abu Hasan al-Salihi. Mereka berpendapat bahwa iman adalah mengetahui Tuhan dan kufur adalah tidak tahu Tuhan. Mereka juga berpendapat bahwa shalat, zakat, puasa, haji, menggambarkan kepatuhan, tidak merupakan ibadah kepada Allah, yang disebut ibadah hanyalah iman.

b.      Al-Yunusiah
Sekte ini adalah pengikut dari Yunus bin Amr an-Namimi. Mereka berpendapat bahwa iman mengetahui Allah, tunduk kepada-Nya. Orang yang mempunyai sifat tersebut menjadi mukmin yang sempurna. Adapun ibadah tidak termasuk kepada iman dan mereka tidak tersiksa di akhirat bila tidak sempurna imannya. Dan pendapat mereka yang lain mengatakan bahwa iiman adalah keyakinan dalam hati dan amal terpisah dari iman.

c.       Al-Ubaidah
Yaitu merupakan pengikut dari Baid al-Makta. Sekte ini berpendapat dosa selain syirik akan diampuni oleh Allah. Perbuatan jahat, banyak maupun sedikit akan merusak keimanan.

d.      Al-Khassanah
Sekte ini merupakan pengikut dari Gassan di Kopa. Mereka berpendapat bahwa Iman mengetahui Allah, Rasul-Nya dan mengikrarkan segala yang disuruh Allah dan yang dibawa oleh Rasul Allah. Iman tidak bertambah dan berkurang. Contoh, aku tau bahwa babi ini diharamkan, tetapi aku tidak tahu apakah yang diharamkan itu kambing.

e.       Al-Saubaniah
Sekte ini adalah pengikut dari Abi Sauban, mereka berpendapat bahwa iman mengetahui, mengikrarkan Allah, dan Rasul-Nya. Sekte ini lebih mementingkan iman daripada amal.

f.       At-Tamiah
Sekte ini merupakan pengikut dari Abu Muaz at-Tamimi, sekte ini berpendapat bahwa iman memilihara dari sesuatu yang membawa kepada kekafiran dan orang yang melakukan dosa besar disebut fasiq tau durhaka.




L.     Aliran Mu`tazilah
1.      Latar Belakang Lahirnya Aliran Mu`tazilah
Aliran ini muncul di Bashrah pada abad ke 8 M (abad ke-2 H), berawal dari sikap Washil bin Atha’ (700-750 M / 80-131 H) memisahkan diri dari majlis ta’lim gurunya, Hasan al Bashri di sebuah masjid Raya Bashrah. Hal ini disebabkan karena Washil bin Atha’ mempunyai pendapat berbeda dengan gurunya, yang berkaitan dengan masalah orang mukmin yang melakukan dosa besar.
Menurut Washil bin Atha’, mukmin yang melakukan dosa besar jika tidak bertaubat, statusnya tidak mukmin lagi, (sedang menurut gurunya : statusnya mukmin), tetapi jatuh kepada fasik, namun tidak jatuh kepada status kafir (yang menurut Khawarij : statusnya kafir). Fasik menurut Washil bin Atha’, adalah : al Manzilah bain al manzilatain (suatu posisi/status diantara dua posisi). Fasik berada dibawah mukmin tapi diatas kafir. Setelah memisahkan diri, Washil bin Atha’ membentuk halaqoh sendiri di masjid yang sama. Jama’ah yang dipimpin oleh Washil bin Atha’ itulah yang mendapat nama  Mu’tazilah.
Menurut Ahmad Amin, sebutan Mu’tazilah sudah ada sebelum masa Hasan al Bashri, kurang lebih 100 tahun. Penyebutan Mu’tazilah untuk Washil bin Atha’, ‘Amr bin Ubaid dan kawan-kawannya hanya menghidupkan kembali sebutan lama.
Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari I’tazala yang berarti berisah atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri. Secara etimologis, kata Mu’tazilah berarti golongan yang mengasingkan atau memisahkan diri. Secara teknis, istilah Mu’tazilah menunjuk pada dua golongan.
Golongan pertama, (disebut Mu’tazilah I) muncul sebagai respon politik murni. Golongan ini tumbuh sebagai kaum netral politik, khususnya dalam arti bersikap lunak dalam menangani pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan lawan-lawannya, terutama Muawiyah, Aisyah, dan Abdullah bin Zubair. Menurut penulis, golongan inilah yang mula-mula disebut kaum Mu’tazilah karena mereka menjauhkan diri dari pertikaian masalah khilafah. Kelompok ini bersifat netral politik tanpa stigma teologis seperti yang ada pada kaum Mu’tazilah yang tumbuh dikemudian hari.
Golongan kedua, (disebut Mu’tazilah II) muncul sebagai respon persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawarij dan Mur’jiah akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Mur’jiah tentang pemberian status kafir kepada yang berbuat dosa besar.

2.      Asal-Usul Sebutan Mu‘tazilah
Beberapa versi tentang pemberian nama Mu’tazilah kepada golongan kedua ini berpusat pada peristiwa yang terjadi antara Washil bin Atha’ serta temannya, Amr bin Ubaid, dan Hasan Al-Bashri di Bashrah. Ketika Washil mengikuti pelajaran yang diberikan oleh Hasan Al Bashri di masjid Bashrah., datanglah seseorang yang bertanya mengenai pendapat Hasan Al Bashri tentang orang yang berdosa besar. Ketika Hasan Al Bashri masih berpikir, Washil mengemukakan pendapatnya dengan mengatakan "Saya berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi berada pada posisi diantara keduanya, tidak mukmin dan tidak kafir".
Kemudian Washil menjauhkan diri dari Hasan Al Bashri dan pergi ke tempat lain di lingkungan masjid. Di sana Washil mengulangi pendapatnya di hadapan para pengikutnya. Dengan adanya peristiwa ini, Hasan Al Bashri berkata: “Washil menjauhkan diri dari kita (i’tazaala anna).” Menurut Asy-Syahrastani, kelompok yang memisahkan diri dari peristiwa inilah yang disebut kaum Mu’tazilah.
Versi lain dikemukakan oleh Al-Baghdadi. Ia mengatakan bahwa Washil dan temannya, Amr bin Ubaid bin Bab, diusir oleh Hasan Al Bashri dari majelisnya karena adanya pertikaian diantara mereka tentang masalah qadar dan orang yang berdosa besar. Keduanya menjauhkan diri dari Hasan Al Basri dan berpendapat bahwa orang yang berdosa besar itu tidak mukmin dan tidak pula kafir. Oleh karena itu golongan ini dinamakan Mu’tazilah.
Versi lain dikemukakan Tasy Kubra Zadah yang menyatakan bahwa Qatadah bin Da’mah pada suatu hari masuk masjid Bashrah dan bergabung dengan majelis Amr bin Ubaid yang disangkanya adalah majelis Hasan Al Bashri. Setelah mengetahuinya bahwa majelis tersebut bukan majelis Hasan Al Bashri, ia berdiri dan meninggalkan tempat sambil berkata, “ini kaum Mu’tazilah.” Sejak itulah kaum tersebut dinamakan Mu’tazilah.
Al-Mas’udi memberikan keterangan tentang asal-usul kemunculan Mu’tazilah tanpa menyangkut-pautkan dengan peristiwa antara Washil dan Hasan Al Bashri. Mereka diberi nama Mu’tazilah, katanya, karena berpendapat bahwa orang yang berdosa bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi menduduki tempat diantara kafir dan mukmin (al-manzilah bain al-manzilatain). Dalam artian mereka memberi status orang yang berbuat dosa besar itu jauh dari golongan mukmin dan kafir.

3.      Ajaran Mu`tazilah
Aliran Mu’tazilah berdiri atas lima prinsip utama atau disebut juga dengan al-Ushul al-Khamsah yaitu :
a.       Keesaan (at-Tauhid)
At-Tauhid merupakan prinsip utama dan intisari ajaran mu’tazilah. Tauhid memiliki arti yang spesifik. Tuhan harus disucikan dari segala sesuatu yang menyamai-Nya. Untuk memurnikan keesaan Tuhan, mu’tazilah menolak konsep Tuhan memiliki sifat-sifat, penggambaran fisik Tuhan, dan Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala. Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan itu Esa, tak ada satu pun yang menyerupai-Nya.
b.      Keadilan Tuhan (Al-Adlu)
Ajaran ini bertujuan ingin menempatkan Tuhan benar-benar adil menurut sudut pandang manusia, karena alam semesta ini sesungguhnya diciptakan untuk kepentingan manusia.

c.       Janji dan ancaman (al-Wa’du wal Wa’idu)
Ajaran ini tidak memberi peluang kepada Tuhan selain menunaikan janji-Nya, yaitu memberi pahala orang yang taat dan menyiksa orang yang berbuat maksiat, kecuali orang yang sudah bertaubat nasuha. Ajaran ini tampaknya bertujuan mendorong manusia untuk berbuat baik dan tidak melakukan perbuatan dosa.

d.      Tempat di antara dua tempat (Al manzilatu bainal manzilatain)
Karena prinsip ini Washil bin ‘Atha memisahkan diri dari majlis Hasan Basri, seperti yang disebutkan di atas. Menurut pendapatnya, seorang muslim yang mengerjakan dosa besar selain syirik, bukan lagi menjadi orang mu’min, tetapi tidak menjadi kafir, melainkan menjadi orang fasik. Jadi, kefasikan merupakan tempat tersendiri antara “kufur” dan “iman”.

e.       Menyuruh kebaikan dan melarang keburukan (‘amar ma’ruf nahi munkar)
Ajaran ini menekankan keberpihakan pada kebenaran dan kebaikan. Ini merupakan konsekuensi logis dari keimanan seseorang. Pengakuan keimanan harus dibuktikan dengan perbuatan baik, diantaranya dengan menyuruh orang berbuat baik dan mencegahnya dari kejahatan.

4.      Tokoh-Tokoh Aliran Mu`tazilah
a.       Tokoh- tokoh aliran Bashrah antara lain:
1)      Washil bin ‘Atha’ ( 80-131 H/ 699-748 M)
Terkenal sebagai pendiri aliran mu’tazilah dan kepalanya yang pertama. Ia pula yang terkenal sebagai orang yang meletakkan lima prinsip dasar.
2)      Al-‘Allaf ( 135-226 H/ 752-840 M)
Nama lengkapnya adalah Abdul Huzail Muhammad bin Al-Huzail Al-‘allaf. puncak kebesarannya dicapainya pada masa khalifah Al-Ma’mun, karena khalifah ini pernah menjadi muridnya dalam perdebatan mengenai soal agama. Menurut riwayat pada tiga ribu orang yang masuk islam di tangannya. Ia banyak berhubungan dengan filosof- filosof dan buku- buku filsafat.
3)  An-Nazham ( wafat 231 H/ 845 M)
            Nama lengkapnya adalah Ibrahim bin Sayyar bin Hani An-Nazham. Ia merupakan tokoh mu’tazilah yang terkemuka, lancar bicara, dan banyak mendalami filsafat. Ia sangat bebas berpikir dan berani menyerang ahli hadis karena tidak banyak percaya pada kesahihan hadis-hadis. Karena ia sangat menjunjung Al-Qur’an.
4)      Al-Jubbai (wafat 303 H/ 915 M)
Nama lengkapnya adalah Abu Ali Muhammad bin Ali Al-Jubbai, tokoh mu’tazilah basrah dan murid as-Syahham. Al-Jubbai dan anaknya yaitu Abu Hasim Al-Jubbai mencerminkan akhir masa kejayaan aliran mu’tazilah.

b.      Tokoh- tokoh aliran Baghdad antara lain:
1)      Bisjr bin Al-Mu’tamir (wafat 226 H/ 840 M)
Ia memiliki pandangan mengenai kesusastraan. Ia adalah orang yang pertama kali mengemukakan soal “tawallud” (reproduction) yang boleh jadi dimaksudkan untuk mencari batas-batas pertanggungan jawab manusia atas perbuatannya.
2)      Al-Chayyat (wafat 300 H/ 912 M)
Nama lengkapnya adalah Abu al-Husein Al-Khayyat. ia adalah pengarang buku “al-Intisar” yang dimaksudkan untuk membela aliran mu’tazilah.
3)      Al-Qadhi Abdul Jabbar (wafat 1024 M)
Ia mengulas tentang pokok-pokok ajaran aliran mu’tazilah, terdiri dari beberapa jilid dan banyak dikutip oleh as-Syarif al Murtadha.
4)      Az-Zamaihsyari (467-538 H/ 1075-1144M)
Nama lengkapnya adalah Jar Allah Abul Qasim Muhammad bin Umar. Selama hidupnya ia banyak mengadakan perlawatan dari negeri kelahirannya menuju Baghdad, kemudian ke Makkah untuk bertempat di sana beberapa tahun dan akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya di Jurjan (Persi-Iran). Ia menjadi tokoh dalam ilmu tafsir, nahwu, dan paramasastera (lexicology).

M.   Aliran Asy-`Ariyah
1.      Latar Belakang Munculnya Aliran Asy-`Ariyah
Asy’ariyah adalah satu firqah/golongan/aliran yang dinisbatkan kepada pemahaman Abul Hasan Al-Asy’ari. Nama asli beliau adalah `Ali bin Isma`il bin Abi Bisyr Ishaq bin Salim bin Isma`il bin Abdullah bin Musa bin Bilal bin Burdah bin Musa Al Asy`ary, lebih dikenal dengan Abu Al Hasan Al Asy`ary. Beliau dilahirkan pada tahun 260 Hijriyah atau 875 M, pada akhir masa daulah Abbasiyah yang waktu itu berkembang pesat berbagai aliran ilmu kalam, seperti : al Jahmiyah, al Qadariyah, al Khawarij, al Karamiyah, ar Rafidhah, al Mu`tazilah, al Qaramithah dan lain sebagainya. Sejak kecil Abul Hasan telah yatim. Kemudian ibunya menikah dengan seorang tokoh Mu`tazilah bernama Abu `Ali Al Jubba`i. Beliau (Abu Hasan) seorang yang cerdas, hafal Al Qur`an pada usia belasan tahun dan banyak pula belajar hadits. Pada akhirnya beliau berjumpa dengan ulama salaf bernama al Barbahari (wafat 329 H). inilah yang akhirnya merubah jalan hidupnya sampai beliau wafat pada tahun 324 H atau 939 M dalam usia 64 tahun.
Pada mulanya, selama hampir 40 tahun, beliau menjadi penganut Mu`tazilah yang setia mengikuti gurunya seorang tokoh Mu`tazilah yang juga ayah tirinya. Namun dengan hidayah Allah setelah beliau banyak merenungkan ayat-ayat Al Qur`an dan hadits-hadits Rasulullah, beliau mulai meragukan terhadap ajaran Mu`tazilah. Apalagi setelah dialog yang terkenal dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh Abu `Ali al Jubba`i dan setelah mimpi beliau bertemu dengan Rasulullah, beliau secara tegas keluar dari Mu`tazilah.
Mengenai lahirnya aliran ini ada beberapa pendapat mengenai lahirnya aliran ini, yaitu: pendapat yang pertama mengatakan bahawa pada suatu malam al-Asy`ari bermimpi bertemu dengan Nabi saw dan berkata bahwa mazhab ahli hadislah yang benar  dan Mu`tazilah adalah salah.
Pendapat yang kedua mengatakan bahwa al-Asy`ari berdebat dengan gurunya al-Juba`i, yang bunyi perdebatannya yaitu:
Al-Asy`ari   : "Bagaimana kedudukan orang mukmin dan orang kafir menurut tuan?".
Al-Juba`i     : "Orang mukmin mendapat tingkat tinggi di dalam surga karena imannya dan orang kafir masuk ke dalam neraka".
Al-Asy`ari   : "Bagaimana dengan anak kecil"?
Al-Juba`i     : "Anak kecil tidak akan masuk neraka".
Al-Asy`ari   : "Dapatkah anak kecil mendapatkan tingkat yang tinggi seperti orang mukmin"?
Al-Juba`i     : "Tidak, karena tidak pernah berbuat baik".
Al-Asy`ari   : "Kalau demikian anak kecil itu akan memprotes Allah kenapa ia tidak diberi umur panjang untuk berbuat kebaikan".
Al-Juba`i     : "Allah akan menjawab, kalau Aku biarkan engkau hidup, engkau akan berbuat kejahatan atau kekafiran sehingga engkau tidak akan selamat".
Al-Asy`ri     : "Kalau demikian, orang kafir pun akan protes ketika masuk neraka, mengapa Allah tidak mematikannya sewaktu kecil agar selamat dari neraka".

Abu Ali Al Jubba`i tidak dapat menjawab lagi, ternyata akal tidak dapat diandalkan. Abu al Hasan Al Asy`ary dalam meninjau masalah ini selalu berdasar kepada sunnah Rasulullah. Itulah sebabnya maka madzhab yang dicetuskannya lebih dikenal dengan Ahlus Sunnah wal Jama`ah.


2.      Tokoh-Tokoh Aliran Asy-`Ariyah
a.       Abu Hasan al-Asy`ari
Beliau merupakan pencetus atau yyang mendirikan alairan Asy-`Ariayah ini karena tidak sependapat lagi dengan gurunya yang lebih mengedepankan akal yaitu dari aliran Mu`tazilah.

b.      Muhammad Ibn al-Thayyib Ibn Muhammad Abu Bakr al-Baqillani.
Ia adalah tokoh Asy’ariyah yang mendapat ajaran-ajaran Al-Asy’ari dari dua murid Al-Asy’ari, yaitu Ibn Mujahid dan Abu Al-Hasan Al-Bahili. beliau wafat di Bagdad pada tahun 1013 Masehi.
Ajaran-ajaran yang disampaikannya tidak selalu selaras dengan ajaran Al-Asy’ari, misalnya bahwa sifat Allah itu bukan sifat melainkan hal. Selanjutanya ia juga tidak sepaham dengan Al-Asy’ari mengenai perbuatan manusia. Menurut Al-Asy’ari perbuatan manusia adalah diciftakan Tuhan seluruhnya, sedangkan menurut Al-Baqillani, manusia mempunyai sumbangan yang efektif dalam perwujudan perbuatannya. Yang diwujudkan Tuhan ialah gerak yang terdapat dalam diri manusia, adapun bentuk atau sifat dari gerak itu dihasilkan oleh manusia itu sendiri.
Pernyataan-pernyataannya mengarah pada extrim, dalam mengikuti suatu pendapat dan dalam memberikan dukungan dan pembelaan, sebab premis rasional tidak pernah disebutkan dalam al-Qur’anmaupun sunnah, ruang geraknya luas dan pintunya terbuka lebar. Metode yang ditempuhnya juga banyak. Boleh saja seseorang sampai kepada bukti-bukti dari berbagai penalaran akal dan menghasilkan berbagai konklusi melalui berbagai eksperimen yang tidaklah buruk selama tidak bertentangan dengan konklusi yang dicapainya dan pemikiran yang dihasilkannya.

c.        Abd al-Malik al-Juwaini
Beliau lahir di Khurasan tahun 419 Hijriyah dan wafat pada tahun 478 Hijriyah. Namanya aslinya tidak begitu dikenal malah ia terkenal dengan nama Iman Al-Haramain.
Hampir sama dengan Al-Baqillani, ajaran-ajaran yang disampaikannya banyak yang bertentangan dengan ajaran Al-Asy’ari. Misalnya Tangan Tuhan diartikan (ta’wil) kekuasaan Tuhan, mata Tuhan diartikan penglihatan Tuhan dan wajah Tuhan diartikan Wujud Tuhan, sedangkan mengenai Tuhan duduk diatas takhta kerajaan diartikan Tuhan berkuasa dan Maha Tinggi.
Mengenai soal perbuatan manusia, ia mempunyai pendapat yang lebih jauh dari Al-Baqillani. Daya yang ada pada manusia itu mempunyai efek, tetapi efeknya serupa dengan efek yang terdapat antara sebab dan musabab. Wujud perbuatan manusia tergantung pada daya yang ada pada manusia, wujud daya itu bergantung pada sebab yang lain dan wujud sebab itu bergantung pula pada sebab yang lain dan demikianlah seterusnya hingga sampai pada sebab dari segala sebab yaitu Tuhan.

d.       Abu Hamid al-Ghazali
Beliau adalah murid dari Abd al-Malik al-Juwaini yang lahir pada tahu 1058-1111 Masehi.
Paham teologi yang dianutnya tidak jauh berbeda dengan paham-paham Al-Asy’ari. Dia mengakui bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat qadim yang tidak identik dengan dzat Tuhan dan mempunyai wujud diluar dzat. Juga Al-Qur’an bersifat qadim dan tidak diciptakan. Mengenai perbuatan manusia ia juga berpendapat bahwa Tuhanlah yang menciptakan daya dan perbuatan. Dan daya untuk berbuat lebih menyerupai impotensi.
Selanjutnya ia menyatakan bahwa Tuhan dapat dilihat, sebab setiap yang mempunyai wujud dapat dilihat. Selanjutnya ajaran yang disampaikannya adalah penolakan tentang paham keadilan yang diajarkan oleh Mu’tazilah. Tuhan tidak berkewajiban menjaga kemashlahatan (al-salah wa al-ashlah) manusia, tidak wajib memberi upah atau ganjaran kepada manusia atas perbuatan-perbuatannya, bahkan Tuhan boleh memberi beban yang tidak mungkin dikerjakan manusia.

3.      Ajaran-Ajaran Pokok Aliran Asy-`Ariyah
a.       Tuhan mempunyai sifat.
Asy-`Ariyah menyatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat dan Tuhan mengetahui bukan dengan dzat-Nya tetapi mengetahui dengan pengetahuan-Nya.

b.      Tuhan dapat dilihat di akhirat
Aliran Asy-`Ariyah juga berkeyakinan bahwa manusia dapat melihat Allah pada hari kiamat dengan petunjuk Tuhan dan hanya Allah pula yang tahu bagaimana keadaan sifat dan wujud-Nya. Hal ini mengingat nash al-Qur’an:

"Wajah-wajah orang mukmin pada hari kiamat akan berseri-seri. Kepada Tuhannya mereka melihat".(Al-Qiyamah: 23)

c.       Perbutan manusia diciptakan Tuhan
Menurut paham aliran Asy-`Ariyah, dalam perbuatan manusia ini sama dengan paham Jabariyah yang mengatakan manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya. Dalam paham ini ini terikat pada kehendak  mutlak Tuhan.

d.      Tuhan mempunyai muka, tangan dan lain sebagainya.
e.       Tuhan tidak mempunyai kewajiban
f.       Orang yang berbuat dosa besar tetap mukmin karena dosanya menjadi fasiq

N.     Aliran Maturidiyah
1.      Sejarah Lahirnya Aliran Maturidiyah
Aliran ini didirikan oleh Abu Mansur al-Maturidi, dia adalah Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al-Maturidi al-Samarqandi. Maturidi adalah nisbat kepada Maturid, sebuah tempat di Samarkand, di daerah inilah Abu Mansur lahir. Gurunya adalah Nashir atau Nushair bin Yahya al-Balakhi, dari beliau ini Abu Mansur belajar fikih madzhab Hanafi dan ilmu kalam. Beliau banyak memakai rasio dalam pandangan agamanya. Oleh sebab itu, teologi yang ditimbulkannya berbeda dengan Asy-`Ari, meskipun keduanya timbul sebagai reaksi terhadap aliran mu`tazilah.
Abu Mansur memiliki kedudukan tinggi di kalangan para pengikut Maturidiyah sehingga mereka menjulukinya dengan "Imam al-Huda dan Imam al-Mutakallimin".
Abu Mansur wafat di Samarkand pada tahun 333 H dan dimakamkan di sana. Dia meninggalkan beberapa karya tulis diantarnya, Ta’wilat Ahlus Sunnah atau Ta’wilat al-Qur`an, dalam bukunya ini Abu Mansur mengangkat ayat-ayat al-Qur`an khususnya ayat-ayat sifat dan mentakwilkannya dengan takwil Jahmiyah. Di antara bukunya yang lain adalah Kitab Tauhid, kitab ini tentang ilmu kalam, di dalamnya dia menetapkan pendapat-pendapatnya yang berkaitan dengan masalah-masalah i’tiqadiyah, dan yang dia maksud dengan tauhid dalam kitabnya ini adalah tauhid Khaliqiyah dan Rububiyah ditambah dengan sedikit tauhid Asma’ wa Sifat akan tetapi dengan manhaj Jahmiyah dengan mengingkari banyak sifat-sifat Allah dengan alasan mensucikan dan meniadakan tasybih dari Allah, hal ini tidak sejalan dengan manhaj yang shahih yaitu manhaj salaf shalih.
Salah satu pengikut penting dari al-Maturidi adalah Abu al-Yusr Muhammad al-Bazdawi. Al-Bazdawi tidak selamanya sepaham dengan al-Mutiridi, yang membuat golongan maturidiyah bukhara.

2.      Golongan-Golongan Aliran Maturidiyah
a.       Maturidiyah Samarkand
Golongan ini dipimpin oleh al-Maturidi. Golongan ini berpendapat bahwa akal dapat mengetahui adanya Tuhan, kewajiban mengetahui dan berterima kasih kepada Tuhan serta mengetahui baik dan buruk.
Tetapi menurut aliran Maturidiyah Samarkand ini akal tidak dapat mengetahui bagaimana kewajiban berbuat baik dan meninggalkan yang buruk, ini hanya dapat diketahui melalui wahyu.
b.      Maturidiyah Bukhara
Golongan ini dipimpin olah murid dari al-Maturidi yang yaitu al-Bazdawi dengan nama lengkapnya Abu al-Yusr Muhammad al-Bazdawi. Menurut golongan ini, dengan akal manusia bisa mengetahui adanya Tuhan dan yang baik dan yang buruk. Sedangkan kewajiban mengetahui adanya Tuhan dan kewajiban mengetahui yang baik dan meninggalkan yang buruk adalah diketahui melalui wahyu.

Jadi, antara Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukhara terdapat perbedaan pendapat. Maturidiyah samarkand lebih dekat dengan pemahaman aliran Mu`tazilah, sedangkan maturidiyah bukhara identik dengan pemahaman aliran Asy-`Ariyah. Namun pada intinya, aliran Maturidiyah menggunakan akal dan wahyu atau disebut juga wahyu itu bisa konfirmasi bisa informasi. Tidak halnya dengan aliran Mu`tazilah yang mengedepankan akal dan aliran Asy-`Ariyah yang mengedepankan wahyu.

3.      Doktrin-Doktrin Aliran Maturidiyah
a.       Akal dan Wahyu
Al-Maturidi dalam pemikiran teologinya berdasarkan pada Al-Qur’an dan akal, akal banyak digunakan diantaranya karena dipengaruhi oleh Mazhab Imam Abu Hanifah. Menurut Al-Maturidi, mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat diketahui dengan akal. Hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang memerintahkan agar manusia menggunakan akalnya untuk memperoleh pengetahuan dan keimanannya terhadap Allah melalui pengamatan dan pemikiran yang mendalam tentang makhluk ciptaan-Nya. Jika akal tidak memiliki kemampuan tersebut, maka tentunya Allah tidak akan memerintahkan manusia untuk melakukannya. Dan orang yang tidak mau menggunakan akal untuk memperoleh iman dan pengetahuan mengenai Allah berarti ia telah meninggalkan kewajiban yang diperintahkan oleh ayat-ayat tersebut Namun akal, menurut Al-Maturidi tidak mampu mengetahui kewajiban-kewajiban yang lain.
Dalam masalah amalan baik dan buruk, beliau berpendapat bahwa penentu baik dan buruknya sesuatu itu terletak pada sesuatu itu sendiri, sedangkan perintah atau larangan syari’ah hanyalah mengikuti kemampuan akal mengenai baik dan buruknya sesuatu, walau ia mengakui bahwa akal terkadang tidak mampu melakukannya. Dalam kondisi ini, wahyu dijadikan sebagai pembimbing.
Al-Maturidi membagi kaitan sesuatu dengan akal pada tiga macam, yaitu Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu,Akal dengan sendirinya hanya mengetahui keburukan sesuatu itu,Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu, kecuali dengan petunjuk wahyu.
Tentang mengetahui kebaikan dan keburukan Maturidiyah memiliki kesamaan dengan Mu’tazilah, namun tentang kewajiban melakukan kebaikan dan meninggalkan keburukan Maturidiyah berpendapat bahwa ketentuan itu harus didasarkan pada wahyu.

b.      Perbuatan Manusia
Perbuatan manusia adalah ciptaan Allah, karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaan-Nya. Mengenai perbuatan manusia, kebijaksanaan dan keadilan kehendak Allah mengharuskan manusia untuk memiliki kemampuan untuk berbuat (ikhtiar) agar kewajiban yang dibebankan kepadanya dapat dilaksanakan. Dalam hal ini Al-Maturidi mempertemukan antara ikhtiar manusia dengan qudrat Allah sebagai pencipta perbuatan manusia. Allah mencipta daya (kasb) dalam setiap diri manusia dan manusia bebas memakainya, dengan demikian tidak ada pertentangan sama sekali antara qudrat Allah dan ikhtiar manusia.
Dalam masalah pemakaian daya ini Al-Maturidi memakai faham Imam Abu Hanifah, yaitu adanya Masyiah (kehendak) dan ridha (kerelaan). Kebebasan manusia dalam melakukan perbuatan baik atau buruk tetap berada dalam kehendak Allah, tetapi ia dapat memilih yang diridhai-Nya atau yang tidak diridhai-Nya. Manusia berbuat baik atas kehendak dan kerelaan Allah, dan Manusia berbuat baik atas kehendak dan kerelaan Allah, dan berbuat buruk pun dengan kehendak Allah, tetapi tidak dengan kerelaan-Nya.

c.       Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan
Penjelasan di atas menerangkan bahwa Allah memiliki kehendak dalam sesuatu yang baik atau buruk. Tetapi, pernyataan ini tidak berarti bahwa Allah Allah berbuat sekehendak dan sewenang-wenang. Hal ini karena qudrat tidak sewenag-wenang (absolute), tetapi perbuatan dan kehendak-Nya itu berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya sendiri.

d.      Sifat Tuhan
Tuhan mempunyai sifat-sifat, seperti sama, bashar, kalam, dan sebagainya. Al-Maturidi berpendapat bahwa sifat itu tidak dikatakan sebagai esensi-Nya dan bukan pula lain dari esensi-Nya. Sifat-sifat Tuhan itu mulzamah (ada bersama/inheren) dzat tanpa terpisah (innaha lam takun ain adz-dzat wa la hiya ghairuhu). Sifat tidak berwujud tersendiri dari dzat, sehingga berbilangnya sifat tidak akan membawa kepada bilangannya yang qadim (taadud al-qadama). Tampaknya faham tentang makna sifat Tuhan ini cenderung mendekati faham Mu’tazilah, perbedaannya terletak pada pengakuan terhadap adanya sifat Tuhan.

e.       Melihat Tuhan
Al-Maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan, hal ini diberitakan dalam Al-Qur’an:"Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat".(Al-Qiyamah: 22-23)
Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa Tuhan kelak di akhirat dapat dilihat dengan mata, karena Tuhan mempunyai wujud walaupun ia immaterial. Namun melihat Tuhan, kelak di akhirat tidak dalam bentuknya, karena keadaan di sana beda dengan dunia.

f.       Kalam Tuhan
Al-Maturidi membedakan antara kalam (baca:sabda) yang tersusun dengan huruf dan bersuara denagn kalam nafsi (sabda yang sebenarnya atau makna abstrak). Kalam nafsi adalah sifat qadim bagi Allah, sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan suara adalah baharu (hadits). Kalam nafsi tidak dapat kita ketahui hakikatnya dari bagaimana Allah bersifat dengannya, kecuali dengan suatu perantara.

g.       Perbuatan Tuhan
Semua yang terjadi atas kehendak-Nya, dan tidak ada yang memaksa atau membatasi kehendak Tuhan, kecuali karena da hikmah dan keadilan yang ditentukan oleh kehendak-Nya sendiri. Setiap perbuatan-Nya yang bersifat mencipta atau kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada manusia tidak lepas dari hikmah dan keadilan yang dikehendaki-Nya. Kewajiban-kewajiban tersebut antara lain:
Tuhan tidak akan membebankan kewajiban di luar kemampuan manusia, karena hal tersebut tidak sesuai dengan keadilan, dan manusia diberikan kebebasan oleh Allah dalam kemampuan dan perbuatannya, Hukuman atau ancaman dan janji terjadi karena merupakan tuntutan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya.

h.      Pengutusan Rasul
Pengutusan Rasul berfungsi sebagai sumber informasi, tanpa mengikuti ajaran wahyu yang disampaikan oleh rasul berarti manusia telah membebankan sesuatu yang berada di luar kemampuan akalnya. Pandangan ini tidak jauh dengan pandangan Mu’tazilah, yaitu bahwa pengutusan rasul kepada umat adalah kewajiban Tuhan agar manusia dapat berbuat baik bahkan terbaik dalam hidupnya.

i.        Pelaku Dosa Besar (Murtakib Al-Kabir)
Al-Maturidi berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidak kafir dan tidak kekal di dalam neraka walaupun ia mati sebelum bertobat. Hal ini karena Tuhan telah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya. Kekal di dalam neraka adalah balasan untuk orang musyrik.
Menurut Al-Maturidi, iman itu cukup dengan tashdiq dan iqrar, sedangkan amal adalah penyempurnaan iman. Oleh karena itu amal tidak menambah atau mengurangi esensi iman, hanya menambah atau mengurangi sifatnya.

j.        Iman
Dalam masalah iman, aliran Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa iman adalah tashdiq bi al-qalb, bukan semata iqrar bi al-lisan. Al-Qur’an: "Orang-orang Arab Badui itu berkata: ‘Kami telah beriman’. Katakanlah: ‘Kamu belum beriman, tapi Katakanlah 'kami telah tunduk', karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’."                 (Al-Hujurat: 14).
Ayat tersebut difahami sebagai penegasan bahwa iman tidak hanya iqrar bi al-lisan, tanpa diimani oleh qalbu. Lebih lanjut Al-Maturidi mendasarkan pendapatnya pada surat Al-Baqarah ayat 260 : "Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati." Allah berfirman: "Belum yakinkah kamu ?" Ibrahim menjawab: "Aku telah meyakinkannya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku) Allah berfirman: "(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah semuanya olehmu. (Allah berfirman): "Lalu letakkan diatas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera." dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Dalam ayat tersebut, bukan berarti bahwa Nabi Ibrahim belum beriman, tetapi beliau menginginkan agar keimanannya menjadi keimanan ma’rifah. Ma’rifah didapat melalui penalaran akal. Adapun pengertian iman menurut golongan Bukhara, adalah tashdiq bi al-qalb dan iqrar bi al-lisan, yaitu meyakini dan membenarkan dalam hati tentang keesaan Allah dan rasul-rasul yang diutus-Nya dengan membawa risalah serta mengakui segala pokok ajaran Islam secara verbal.