Jumat, 18 Mei 2012
Jumat, 11 Mei 2012
بسم الله الرحمن الرحيم
ISTIHSAN SEBAGAI DALIL HUKUM ISLAM
Disusun Oleh:
Agus Salmi : 11 101 041
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN ILMU TARBIYAH
STAIN BATUSANGKAR
2012
PENDAHULUAN
Ilmu
Ushul Fiqih merupakan salah satu intsrumen penting yang harus dipenuhi
oleh siapapun yang ingin menjalankan atau melakukan mekanisme ijtihad
dan istinbath hukum dalam Islam. Itulah sebabnya tidak
mengherankan jika dalam pembahasan kriteria seorang mujtahid, penguasaan
akan ilmu ini dimasukkan sebagai salah satu syarat mutlaknya. Atau
dengan kata lain, untuk menjaga agar proses ijtihad dan istinbath tetap berada pada koridor yang semestinya, Ushul Fiqih-lah salah satu “penjaga”nya.
Meskipun
demikian, ada satu fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa penguasaan
Ushul Fiqih tidaklah serta merta menjamin kesatuan hasil ijtihad dan istinbath para
mujtahid. Disamping faktor eksternal Ushul Fiqih itu sendiri –seperti
penentuan keshahihan suatu hadits misalnya-, internal Ushul Fiqih
sendiri –pada sebagian masalahnya- mengalami perdebatan (ikhtilaf) di kalangan para Ushuluyyin. Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah al-Adillah (sebagian ahli Ushul menyebutnya: al-Ushul) al-Mukhtalaf fiha, atau “Dalil-dalil yang diperselisihkan penggunaannya” dalam penggalian dan penyimpulan hukum.
Salah satu dalil itu adalah apa yang dikenal dengan al-Istihsan (selanjutnya disebut sebagai Istihsan). Makalah ini akan menguraikan tentang hakikat al-Istihsan tersebut, bagaimana pandangan para ulama lintas madzhab tentangnya, serta beberapa hal lain yang terkait dengannya. Wallahul muwaffiq!
Definisi Istihsan
Istihsan secara bahasa adalah kata bentukan (musytaq) dari al-hasan (apapun yang baik dari sesuatu). Istihsan sendiri kemudian berarti “kecenderungan seseorang pada sesuatu karena menganggapnya lebih baik, dan ini bisa bersifat lahiriah (hissiy) ataupun maknawiah; meskipun hal itu dianggap tidak baik oleh orang lain.”[1]
Adapun menurut istilah, Istihsan memiliki banyak definisi di kalangan ulama Ushul fiqih. Diantaranya adalah:
1. Mengeluarkan
hukum suatu masalah dari hukum masalah-masalah yang serupa dengannya
kepada hukum lain karena didasarkan hal lain yang lebih kuat dalam
pandangan mujtahid.[2]
2. Dalil yang terbetik dalam diri seorang mujtahid, namun tidak dapat diungkapkannya dengan kata-kata.[3]
3. Meninggalkan apa yang menjadi konsekwensi qiyas tertentu menuju qiyas yang lebih kuat darinya.[4]
Dari definisi-definisi tersebut, kita dapat melihat bahwa inti dari Istihsan adalah
ketika seorang mujtahid lebih cenderung dan memilih hukum tertentu dan
meninggalkan hukum yang lain disebabkan satu hal yang dalam pandangannya
lebih menguatkan hukum kedua dari hukum yang pertama.
Sebagai
contoh misalnya, pendapat yang disebutkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal
(w. 264 H) bahwa tayammum itu wajib dilakukan pada setiap waktu shalat
atas dasar Istihsan, padahal secara qiyas tayammum itu sama
kedudukannya dengan berwudhu dengan menggunakan air yang tidak wajib
dilakukan pada setiap waktu shalat, kecuali jika wudhunya batal. Dengan
kata lain, tayammum secara qiyas seharusnya tidak perlu dilakukan pada
setiap waktu shalat, namun atas dasar Istihsan, Imam Ahmad memandang ia wajib dilakukan setiap waktu shalat berganti.[6]
Lebih jauh, Syekh Abd al-Wahhab Khallaf memberikan gambaran aplikatif seputar penggunaan Istihsan ini dengan mengatakan,
Jika
sebuah kasus terjadi yang berdasarkan keumuman nash yang ada atau
kaidah umum tertentu kasus itu seharusnya dihukumi dengan hukum
tertentu, namun dalam pandangan sang mujtahid nampak bahwa kasus ini
memiliki kondisi dan hal-hal lain yang bersifat khusus yang kemudian
–dalam pandangannya- bila nash yang umum, atau kaidah umum, atau
memperlakukannya sesuai qiyas yang ada, justru akan menyebabkan
hilangnya maslahat atau terjadinya mafsadat. (Karena itu), ia pun
meninggalkan hukum tersebut menuju hukum yang lain yang merupakan hasil
dari pengkhususan kasus itu dari (hukum) umumnya, atau pengecualiannya
dari kaidah umumnya, atau qiyas ‘khafy’ yang tidak terduga (sebelumnya).
Proses ‘meninggalkan’ inilah yang disebut dengan Istihsan. Dan ia
merupakan salah satu metode ijtihad dengan ra’yu. Sebab seorang mujtahid
mengukur kondisi yang bersifat khusus untuk kasus ini dengan ijtihad
yang ia landaskan pada logikanya, lalu menguatkan satu dalil atas dalil
lain juga atas hasil ijtihad ini.”[7]
Sejarah Pemunculan Istihsan Sebagai Salah Satu Sumber Tasyri’ Islam
Satu hal yang pasti adalah bahwa penggunaan Istihsan memang
tidak ditegaskan dalam berbagai nash yang ada; baik dalam al-Qur’an
ataupun dalam al-Sunnah. Namun itu tidak berarti bahwa aplikasinya tidak
ditemukan di masa sahabat Nabi saw dan tabi’in. Meskipun jika diteliti
lebih dalam, kita akan menemukan bahwa penggunaan Istihsan di kalangan para sahabat dan tabi’in secara umum termasuk dan tercakup dalam penggunaan ra’yu di kalangan mereka. Atau dengan kata lain, Istihsan sebagai sebuah istilah pada masa itu belum pernah disebut-sebut.
Penggunaan ra’yu sendiri
secara umum mendapatkan legitimasi dari Rasulullah saw, sebagaimana
yang beliau tegaskan dalam hadits Mu’adz bin Jabal r.a.[8] Itulah
sebabnya, para sahabat kemudian menjadikannya sebagai salah satu
rujukan ijtihad mereka, meskipun diletakkan pada bagian akhir dari
prosesnya. Abu Bakr al-Shiddiq –misalnya- jika dihadapkan pada suatu
masalah, lalu ia tidak menemukan jawabannya dalam Kitabullah, begitu
pula dalam al-Sunnah, serta pandangan sahabat yang lain, maka beliau
melakukan ijtihad dengan ra’yunya. Kemudian mengatakan:
“Inilah ‘ra’yu’-ku. Jika ia benar, maka itu dari Allah semata. Namun jika ia salah, maka itu dariku dan dari syaithan.”[9]
Praktek penggunaan ra’yu juga
dapat ditemukan pada Umar bin al-Khaththab r.a. Dalam kasus yang sangat
populer dimana beliau menambah jumlah cambukan untuk peminum khamar
menjadi 80 cambukan, padahal yang diriwayatkan dari Rasulullah saw
adalah bahwa beliau mencambuk peminum khamar hanya sebanyak 40 cambukan.[10] Tetapi
ketika Umar melihat banyak peminum khamar yang tidak takut lagi dengan
hukuman itu, beliau pun melipatgandakan jumlahnya, dan itu kemudian
disepakati oleh para sahabat yang lain.[11] Meskipun sebagian ulama memandang ini sebagai sebuah upaya ta’zir yang menjadi hak seorang imam, namun tetap saja di sini terlihat sebuah proses penggunaan instrumen ra’yu oleh Umar r.a dalam ijtihadnya.
Dengan demikian jelaslah bahwa para sahabat Nabi saw menggunakan ra’yu dalam ijtihad mereka saat mereka tidak menemukan nash untuk sebuah masalah dalam al-Qur’an ataupun al-Sunnah. Ra’yu di sini tentu saja dengan pemahamannya yang luas, yang mencakup qiyas, Istihsan, Istishab (al-Bara’ah al-Ashliyah), Sadd al-Dzari’ah, dan al-Mashlahah al-Mursalah. Semuanya itu dibingkai dengan pemahaman yang dalam tentang maqashid dan prinsip-prinsip Syariat Islam yang luhur. Inilah yang kemudian yang disebut dengan al-ra’yu al-mahmud (logika yang terpuji), sebagai lawan dari al-ra’yu al-madzmum (logika yang tercela) yang hanya didasarkan pada hawa nafsu belaka.[12]
Lalu adakah contoh Istihsan di masa sahabat? DR. Sya’ban Muhammad Ismail menyebutkan beberapa bukti kasus yang dapat disebut sebagai “cikal-bakal” Istihsan di masa sahabat[13], salah satunya adalah kasus al-Musyarrakah. Dalam
kasus ini, sebagian sahabat mengikutsertakan saudara kandung
(seibu-sebapak) mayit bersama saudara seibunya dalam memperoleh bagian
sepertiga dari warisan. Ini terjadi jika seorang istri wafat dan
meninggalkan seorang suami, seorang ibu, 2 saudara seibu dan beberapa
saudara sekandung.
Jika
melihat kaidah umum waris yang berlaku, maka seharusnya saudara
sekandung tidak mendapatkan apa-apa, karena sebagai seorang ‘ashabah ia harus menunggu sisa warisan setelah ia dibagi untuk semua ashab al-furudh –dalam hal ini suami, ibu dan saudara seibu-. Disinilah para sahabat Nabi saw berbeda dalam 2 pendapat:
1. Ali, Ibnu Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Ibnu Abbas dan Abu Musa radhiyallahu ‘anhum berpendapat sesuai kaidah umum waris, yaitu bahwa saudara seibu mendapatkan 1/3 dan saudara sekandung tidak memperoleh apa-apa.
2. Sementara Umar, Utsman, dan Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhum mengikutsertakan
saudara sekandung dalam bagian saudara seibu (1/3). Bagian ini dibagi
rata antar mereka. Alasannya karena saudara sekandung memiliki kesamaan
jalur hubungan kekerabatan dalam pewarisan ini, yaitu: ibu. Mereka semua
berasal dari ibu yang sama, karena itu sepatutnya mendapatkan bagian
yang sama.[14]
Jika
kita memperhatikan pendapat yang kedua, nampak jelas bagaimana para
sahabat yang mendukungnya meninggalkan kaidah umum waris yang berlaku
dan menetapkan apa yang berbeda dengannya. Dan dari prosesnya, mungkin
tidak terlalu jauh bagi kita untuk mengatakan ini sebagai sebuah Istihsan dari mereka.
Demikianlah hingga akhirnya di masa para imam mujtahid, kata Istihsan menjadi semakin sering didengar, terutama dari Imam Abu Hanifah (w. 150 H). Dimana dalam banyak kesempatan, kata Istihsan sering disandingkan dengan qiyas. Sehingga sering dikatakan: “Secara qiyas seharusnya demikian, namun kami menetapkan ini berdasarkan Istihsan.”[15]
Kedudukan Argumentatif (Hujjiyah) Istihsan Lintas Madzhab
Menyikapi penggunaan Istihsan kemudian
menjadi masalah yang diperselisihkan oleh para ulama. Dan dalam hal
ini, terdapat dua pandangan besar yang berbeda dalam menyikapi Istihsan sebagai salah satu bagian metode ijtihad. Berikut ini adalah penjelasan tentang kedua pendapat tersebut beserta dalilnya.
Pendapat pertama, Istihsan dapat digunakan sebagai bagian dari ijtihad dan hujjah. Pendapat ini dipegangi oleh Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah.[16]
Dalil-dalil yang dijadikan pegangan pendapat ini adalah sebagai berikut:
1. Firman Allah:
“ Dan ikutilah oleh kalian apa yang terbaik yang diturunkan kepada kalian dari Tuhan kalian.” (al-Zumar:55)
Menurut
mereka, dalam ayat ini Allah memerintahkan kita untuk mengikuti yang
terbaik, dan perintah menunjukkan bahwa ia adalah wajib. Dan di sini
tidak ada hal lain yang memalingkan perintah ini dari hukum wajib. Maka
ini menunjukkan bahwa Istihsan adalah hujjah.
2. Firman Allah:
“Dan
berikanlah kabar gembira pada hamba-hamba(Ku). (Yaitu) mereka yang
mendengarkan perkataan lalu mengikuti yang terbaik (dari)nya...” (al-Zumar: 17-18)
Ayat
ini –menurut mereka- menegaskan pujian Allah bagi hambaNya yang memilih
dan mengikuti perkataan yang terbaik, dan pujian tentu tidak ditujukan
kecuali untuk sesuatu yang disyariatkan oleh Allah.
3. Hadits Nabi saw:
فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ وَمَا رَأَوْا سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ سَيِّئٌ.
“Apa yang dipandang kaum muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka ia di sisi Allah adalah baik.”[17]
Hadits
ini menunjukkan bahwa apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin dengan
akal-sehat mereka, maka ia pun demikian di sisi Allah. Ini menunjukkan
kehujjahan Istihsan.
4. Ijma’.
Mereka mengatakan bahwa para ulama telah berijma’ dalam beberapa masalah yang dilandasi oleh Istihsan, seperti:
- Bolehnya masuk ke dalam hammam[18] tanpa ada penetapan harga tertentu, penggantian air yang digunakan dan jangka waktu pemakaiannya.
- Demikian pula dengan bolehnya jual-beli al-Salam (pesan barang bayar di muka), padahal barang yang dimaksudkan belum ada pada saat akad.
Pendapat kedua, Istihsan tidak dapat dijadikan sebagai hujjah dalam berijtihad. Pendapat ini dipegangi oleh Syafi’iyah dan Zhahiriyah.[19]
Para pendukung pendapat ini melandaskan pendapatnya dengan dalil-dalil berikut:
1. Bahwa syariat Islam itu terdiri dari nash al-Qur’an, al-Sunnah atau apa yang dilandaskan pada keduanya. Sementara Istihsan bukan salah dari hal tersebut. Karena itu ia sama sekali tidak diperlukan dalam menetapkan sebuah hukum.
2. Firman Allah:
“Wahai
kaum beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kepada Rasul
serta ulil amri dari kalangan kalian. Dan jika kalian berselisih dalam
satu perkara, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya...” (al-Nisa’ : 59)
Ayat ini menunjukkan kewajiban merujuk kepada Allah dan Rasul-Nya dalam menyelesaikan suatu masalah, sementara Istihsan tidak termasuk dalam upaya merujuk kepada Allah dan Rasul-Nya. Dengan demikian, ia tidak dapat diterima.
3. Jika seorang mujtahid dibenarkan untuk menyimpulkan hukum dengan akalnya atas dasar Istihsan dalam
masalah yang tidak memiliki dalil, maka tentu hal yang sama boleh
dilakukan oleh seorang awam yang boleh jadi lebih cerdas daripada sang
mujtahid. Dan hal ini tidak dikatakan oleh siapapun, karena itu seorang
mujtahid tidak dibenarkan melakukan Istihsan dengan logikanya sendiri.
4. Ibn Hazm (w. 456 H) mengatakan: “Para sahabat telah berijma’ untuk tidak menggunakan ra’yu, termasuk di dalamnya Istihsan dan qiyas. Umar bin al-Khathab radhiyallahu ‘anhu mengatakan: ‘Jauhilah para pengguna ra’yu! Karena mereka adalah musuh-musuh Sunnah...’ ....”[20]
Demikianlah dua pendapat para ulama dalam menyikapi hujjiyah Istihsan dalam
Fiqih Islam beserta beberapa dalil dan argumentasi mereka
masing-masing. Lalu manakah yang paling kuat dari kedua pendapat
tersebut?
Jika kita mencermati pandangan dan dalil pendapat yang pertama, kita akan menemukan bahwa pada saat mereka menetapkan Istihsan sebagai
salah satu sumber hukum, hal itu tidak serta merta berarti mereka
membebaskan akal dan logika sang mujtahid untuk melakukannya tanpa
batasan yang jelas. Setidaknya ada 2 hal yang harus dipenuhi dalam
proses Istihsan: ketiadaan nash yang sharih dalam masalah dan adanya sandaran yang kuat atas Istihsan tersebut (sebagaimana akan dijelaskan dalam “Jenis-jenis Istihsan).[21]
Dan jika kita kembali mencermati pandangan dan argumentasi ulama yang menolak Istihsan, kita
dapat melihat bahwa yang mendorong mereka menolaknya adalah karena
kehati-hatian dan kekhawatiran mereka jika seorang mujtahid terjebak
dalam penolakan terhadap nash dan lebih memilih hasil olahan logikanya
sendiri. Dan kekhawatiran ini telah terjawab dengan penjelasan
sebelumnya, yaitu bahwa Istihsan sendiri mempunyai batasan yang harus diikuti. Dengan kata lain, para pendukung pendapat kedua ini sebenarnya hanya menolak Istihsan yang hanya dilandasi oleh logika semata, tanpa dikuatkan oleh dalil yang lebih kuat.
Karena
itu, banyak ulama –termasuk di dalamnya dari kalangan Hanafiyah-
memandang bahwa khilaf antara Jumhur Ulama dengan Syafi’iyah secara
khusus dalam masalah ini hanyalah khilaf lafzhy (perbedaan yang bersifat redaksional belaka), dan bukan perbedaan pendapat yang substansial.[22] Apalagi –sebagaimana juga akan dijelaskan kemudian- ternyata Imam al-Syafi’i (w. 204 H) sendiri ternyata menggunakan Istihsan dalam beberapa ijtihadnya. Karena itu, al-Syaukany mengatakan,
Jika
(yang dimaksud dengan) Istihsan adalah mengatakan sesuatu yang dianggap
bagus dan disukai oleh seseorang tanpa landasan dalil, maka itu adalah
sesuatu yang batil, dan tidak ada seorang (ulama)pun yang menyetujuinya.
Namun jika yang dimaksud dengan Istihsan adalah meninggalkan sebuah
dalil menuju dalil lain yang lebih kuat, maka ini tidak ada seorang
(ulama)pun yang mengingkarinya.[23]
Imam al-Syafi’i dan Istihsan
Salah satu ungkapan Imam al-Syafi’i yang sangat masyhur seputar Istihsan adalah:
من استحسن فقد شرع
“Barang siapa yang melakukan Istihsan, maka ia telah membuat syariat (baru).”[24] Maksudnya ia telah menetapkan dirinya sebagai penetap syariat selain Allah.
Disamping penegasan ini, beliau juga memiliki ungkapan-ungkapan lain yang menunjukkan pengingkaran beliau terhadap Istihsan. Akan
tetapi, dalam beberapa kesempatan, Imam al-Syafi’i ternyata juga
melakukan ijtihad dengan meninggalkan qiyas dan menggunakan Istihsan. Berikut ini adalah beberapa contohnya:
1. Pandangan beliau seputar penetapan kadar mut’ah atau
harta yang wajib diberikan sang suami kepada istri yang telah
diceraikan –demi menolong, memuliakan dan menghilangkan rasa takutnya
yang diakibatkan perceraian itu-.
Sebagian fuqaha mengatakan bahwa mut’ah semacam
ini tidak memiliki batasan yang tetap dan dikembalikan pada ijtihad
sang qadhi. Ulama lain membatasinya dengan sesuatu yang mencukupinya
untuk mengerjakan shalat. Namun Imam al-Syafi’i beristihsan dan
memberikan batasan 30 dirham bagi yang berpenghasilan sedang, seorang
pembantu bagi yang kaya, dan sekedar penutup kepala bagi pria yang
miskin. Beliau mengatakan:
“Saya
tidak mengetahui kadar tertentu (yang harus dipenuhi) dalam pemberian
‘mut’ah’, akan tetapi saya memandang lebih baik (Istihsan) jika kadarnya
30 dirham, berdasarkan apa yang diriwayatkan dari Ibnu Umar.”[25]
2. Istihsan beliau dalam perpanjangan waktu syuf’ah selama 3 hari. Beliau mengatakan:
3. Istihsan beliau dalam peletakan jari telunjuk muadzin dalam lubang telinganya saat mengumandangkan adzan. Beliau mengatakan:
“Bagus jika ia (muadzin) meletakkan kedua telunjuknya ke dalam lubang telinganya (saat adzan).” [27]
Hal ini dilandaskan pada perbuatan Bilal r.a yang melakukan hal tersebut di hadapan Rasulullah saw.[28]
Bila kedua hal ini –pengingkaran dan penerapan Imam al-Syafi’i terhadap Istihsan- dicermati dengan seksama, maka ini semakin menegaskan bahwa Istihsan yang diingkari oleh al-Syafi’i adalah Istihsan yang
hanya berlandaskan hawa nafsu semata, dan tidak dilandasi oleh dalil
syar’i. Karena itu, kita belum pernah menemukan riwayat dimana beliau
–misalnya- mencela berbagai Istihsan yang dilakukan oleh Imam Abu Hanifah –semoga Allah merahmati mereka semua-.[29]
Jenis-jenis Istihsan
Para ulama yang mendukung penggunaan Istihsan sebagai salah satu sumber penetapan hukum membagi Istihsan dalam beberapa bagian berdasarkan 2 sudut pandang yang berbeda:
Pertama, berdasarkan dalil yang melandasinya.
Dari sisi ini, Istihsan terbagi menjadi 4 jenis:
1. Istihsan dengan
nash. Maknanya adalah meninggalkan hukum berdasarkan qiyas dalam suatu
masalah menuju hukum lain yang berbeda yang ditetapkan oleh al-Qur’an
atau al-Sunnah.
Diantara contohnya adalah: hukum jual-beli al-salam. Yaitu
menjual sesuatu yang telah jelas sifatnya namun belum ada dzatnya saat
akad, dengan harga yang dibayar dimuka. Model ini tentu saja berbeda
dengan model jual-beli yang umum ditetapkan oleh Syariat, yaitu yang
mempersyaratkan adanya barang pada saat akad terjadi. Hanya saja, model
jual beli ini dibolehkan berdasarkan sebuah hadits Nabi saw yang pada
saat datang ke Madinah menemukan penduduknya melakukan hal ini pada buah
untuk masa satu atau dua tahun. Maka beliau berkata:
“Barang siapa yang melakukan (jual-beli) al-salaf[30], maka hendaklah melakukannya dalam takaran dan timbangan yang jelas (dan) untuk jangka waktu yang jelas pula.” (HR. Al-Bukhari no. 2085 dan Muslim no. 3010)
2. Istihsan dengan ijma’. Maknanya adalah terjadinya sebuah ijma’ –baik yang sharih maupun sukuti- terhadap sebuah hukum yang menyelisihi qiyas atau kaidah umum.
Di antara contohnya adalah masalah penggunaan kamar mandi umum (hammam)
tanpa adanya pembatasan waktu dan kadar air yang digunakan. Secara
qiyas seharusnya hal ini tidak dibenarkan, karena adanya ketidakjelasan (al-jahalah)
dalam waktu dan kadar air. Padahal para penggunanya tentu tidak sama
satu dengan yang lain. Akan tetapi hal ini dibolehkan atas dasar Istihsan pada ijma yang berjalan sepanjang zaman dan tempat yang tidak mempersoalkan hal tersebut.[31]
3. Istihsan dengan
kedaruratan. Yaitu ketika seorang mujtahid melihat ada suatu
kedaruratan atau kemaslahatan yang menyebabkan ia meninggalkan qiyas,
demi memenuhi hajat yang darurat itu atau mencegah kemudharatan.
Salah
satu contohnya adalah ketika para ulama mengatakan bahwa seorang yang
berpuasa tidak dapat dikatakan telah batal puasanya jika ia menelan
sesuatu yang sangat sulit untuk dihindari; seperti debu dan asap. Maka
jika benda-benda semacam ini masuk ke dalam tenggorokan orang yang
berpuasa, puasanya tetap sah dan tidak menjadi batal karena hal
tersebut. Dan ini dilandaskan pada Istihsan dengan kondisi
darurat (sulitnya menghindari benda semacam itu), padahal secara qiyas
seharusnya benda apapun yang masuk ke dalam tenggorokan orang yang
berpuasa, maka itu membatalkan puasanya.[32]
4. Istihsan dengan ‘urf atau konvensi yang umum berlaku. Artinya meninggalkan apa yang menjadi konsekwensi qiyas menuju hukum lain yang berbeda karena ‘urf yang umum berlaku –baik ‘urf yang bersifat perkataan maupun perbuatan-.
Salah satu contoh Istihsan dengan ‘urf yang
bersifat yang berupa perkataan adalah jika seseorang bersumpah untuk
tidak masuk ke dalam rumah manapun, lalu ternyata ia masuk ke dalam
mesjid, maka dalam kasus ini ia tidak dianggap telah melanggar
sumpahnya, meskipun Allah menyebut mesjid dengan sebutan rumah (al-bait) dalam firman-Nya:
“Dalam rumah-rumah yang Allah izinkan untuk diangkat dan dikumangkan Nama-Nya di dalamnya.” (al-Nur:36)
Namun ‘urf yang berlaku di tengah masyarakat menunjukkan bahwa penyebutan kata “rumah” (al-bait) secara
mutlak tidak pernah digunakan untuk mesjid. Itulah sebabnya, orang yang
bersumpah tersebut tidak menjadi batal sumpahnya jika ia masuk ke dalam
mesjid.[33]
Adapun contoh Istihsan dengan ‘urf yang berupa perbuatan adalah memberikan upah berupa pakaian dan makanan kepada wanita penyusu (murdhi’ah).
Pada dasarnya, menetapkan upah yang telah tertentu dan jelas itu
dibolehkan secara syara’. Sementara pemberian upah berupa pakaian dan
makanan dapat dikategorikan sebagai upah yang tidak jelas batasannya (majhul). Dan kaidah yang umum menyatakan bahwa sesuatu yang majhul tidak sah untuk dijadikan sebagai upah. Akan tetapi Imam Abu Hanifah membolehkan hal itu atas dasar Istihsan, karena sudah menjadi ‘urf untuk melebihkan upah untuk wanita penyusu sebagai wujud kasih-sayang pada anak yang disusui.[34]
Kedua, berdasarkan kuat-tidaknya pengaruhnya.
Ulama Hanafiyah secara khusus memberikan pembagian dari sudut pandang lain terkait dengan Istihsan ini, yaitu dari sudut pandang kuat atau tidaknya kekuatan pengaruh Istihsan tersebut terhadap qiyas.[35] Berdasarkan sudut pandang ini, Istihsan kemudian dibagi menjadi 4 jenis:
1. Qiyas memiliki kekuatan yang lemah dan Istihsan yang kuat darinya.
2. Qiyas lebih kuat pengaruhnya dan Istihsan yang lemah pengaruhnya.
3. Qiyas dan Istihsan sama-sama memiliki kekuatan.
4. Qiyas dan Istihsan sama-sama memiliki pengaruh yang lemah.
Dari
keempat jenis ini, jenis pertama dan kedua adalah yang paling masyhur.
Salah satu contoh untuk yang pertama adalah penetapan kesucian liur
hewan carnivora dari jenis burung. Dalam kasus ini, burung yang
carnivora –karena biasa memakan bangkai- seharusnya diqiyaskan kepada
hewan buas lainnya seperti singa dan harimau dalam hal najisnya liur
mereka. Akan tetapi ulama Hanafiyah beriistihsan dan menyatakan bahwa liur jenis burung yang carnivora lebih dekat (secara qiyas khafy)
dengan liur manusia, karena keduanya –manusia dan burung yang
carnivora- tidak boleh dimakan. Dan liur manusia –sebagaimana terdapat
dalam hadits– adalah suci. Karena itu liur jenis burung yang carnivora
juga suci. Di samping sebab lain yaitu karena burung ini memakan
makanannya dengan menggunakan paruhnya, dan paruh itu adalah anggota
badan yang suci dari najis. Kesimpulannya adalah bahwa dalam kasus ini istihsan lebih kuat pengaruhnya daripada qiyas.[36]
Adapun
untuk jenis yang kedua, contohnya adalah melakukan sujud tilawah dalam
shalat. Secara qiyas seharusnya sujud tilawah dapat digantikan dengan
ruku’ tilawah, karena baik sujud maupun ruku’ keduanya sama-sama sebagai
wujud pengagungan terhadap Allah Ta’ala. Akan tetapi berdasarkan istihsan, sujud
tilawah adalah sama dengan sujud lainnya dalam shalat –yang merupakan
rukun di dalamnya-. Maka sebagaimana sujud lainnya dalam shalat tidak
boleh diganti dengan ruku’, demikian pula dengan sujud tilawah. Namun
dalam kasus ini –menurut Hanafiyah- pengamalan qiyas lebih kuat
dibandingkan pengamalan istihsan.
Adapun jika keduanya –qiyas dan istihsan- sama kuat, maka qiyas-lah yang ditarjih atas istihsan karena
ia lebih jelas. Sedangkan bila keduanya sama-sama lemah, maka
pilihannya antara menggugurkan keduanya atau mengamalkan qiyas
sebagaimana jenis sebelumnya.[37]
Dengan melihat pembagian ini, nampak jelas bahwa istihsan tidak
‘dimenangkan’ atas qiyas kecuali dalam satu kondisi: yaitu ketika ia
lebih kuat pengaruhnya daripada qiyas (sebagaimana jenis yang pertama).
Satu hal yang juga patut dicatat di sini adalah bahwa seorang mujtahid tidak dibenarkan untuk menggunakan istihsan kecuali
saat ia tidak menemukan nash, atau ia menemukan qiyas namun qiyas
tersebut dianggap tidak dapat merealisasikan maslahat. Hal ini seperti
yang disinggung oleh Ibn Qayyim al-Jauziyah (w.751H) saat mengomentari
kasus seseorang yang menemukan seekor kambing yang hampir binasa, lalu
ia menyembelihnya agar ia tidak mati sia-sia:
“Sesungguhnya
secara qiyas ia harus mengeluarkan ganti (atas perbuatannya menyembelih
kambing orang lain –pen), namun berdasarkan istihsan ia tidak wajib
membayar ganti, karena ia dibolehkan melakukan hal tersebut..”.
Lalu ia mengatakan,
“Tapi ada ulama yang kolot yang masih saja menolak hal ini (baca: istihsan dalam kasus ini) dengan
alasan bahwa ini telah melakukan suatu tindakan terhadap milik orang
lain. Padahal kalau saja ia memahami bahwa melakukan suatu tindakan
terhadap milik orang lain itu diharamkan oleh Allah jika mengandung
mudharat terhadapnya. Dan dalam kasus ini, justru tidak melakukan
tindakan apa-apa (baca: menyembelihnya) justru akan menyebabkan mudharat.”[38]
Penutup
Dari uraian singkat di atas, pada bagian penutup ini kita dapat menyimpulkan beberapa hal terkait dengan pembahasan istihsan ini sebagai berikut:
1. Bahwa istihsan sebagai salah satu metode ijtihad dengan menggunakan ra’yu telah
ditemukan bibit-bibit awalnya di masa sahabat Nabi saw, meski belum
menjadi pembahasan yang berdiri sendiri. Lalu kemudian menjadi sebuah
metode yang dapat dikatakan berdiri sendiri setelah memasuki era para
imam mujtahidin, terutama di tangan Imam Abu Hanifah rahimahullah.
2. Bahwa istihsan sesungguhnya dapat dikatakan mewakili sisi kemudahan yang diberikan oleh Islam melalui syariatnya, terutama istihsan yang dikaitkan dengan kondisi kedaruratan dan ‘urf.
3. Bahwa secara umum dapat dikatakan bahwa perbedaan pendapat para ulama seputar kehujjiyahan istihsan sifatnya redaksional dan tidak substansial. Sebab ulama yang berpegang pada istihsan tidak
bermaksud melandaskannya hanya dengan hawa nafsu belaka. Sementara yang
menolaknya juga dimotivasi oleh kehati-hatian mereka agar sang mujtahid
tidak terjebak dalam penggunaan ra’yu yang tercela. Karena itu,
kita juga telah menemukan bahwa Imam al-Syafi’i –yang dianggap sebagai
ulama yang pertama kali mempersoalkan istihsan- ternyata juga menggunakannya dalam berbagai ijtihadnya.
Demikianlah
kesimpulan penulisan ini, semoga dapat menjadi langkah awal bagi
penulisnya –secara khusus- untuk semakin memahami keindahan Islam
melalui disiplin ilmu Ushul Fiqih di masa datang.
DAFTAR PUSTAKA
1. Badai’ al-Shanai’ fi Tartib al-Syarai’. Abu
Bakr ibn Mas’ud al-Kasany. Tahqiq: ‘Ali Muhammad Mu’awwadh dan ‘Adil
‘Abd al-Maujud. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. Beirut. Cetakan pertama. 1418
H.
2. Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam. Muhammad ibn Muhammad ibn Hazm al-Zhahiry. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. Beirut. T.t.
3. I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin. Abu Abdillah Muhammad ibn Abi Bakr ibn Qayyim al-Jauziyah. Dar al-Jail. Beirut. T.t.
4. Irsyad al-Fuhul ila Tahqiq al-Haq min ‘Ilm al-Ushul. Muhammad ibn ‘Ali al-Syaukany. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. Beirut. Cetakan pertama. 1414 H.
6. Kasyf al-Asrar ‘an Ushul al-Bazdawy. ‘Ala al-Din ibn ‘Abd al-‘Aziz ibn Ahmad al-Bukhary. Dar al-Kitab al-‘Araby. Beirut. 1394 H.
7. Lisan al-‘Arab. Abu al-Fadhl Muhammad ibn Mukrim ibn Manzhur. Dar Shadir. Beirut. Cetakan pertama. 1410 H.
8. Al-Mughny. ‘Abdullah ibn Ahmad ibn Qudamah. Maktabah al-Riyadh al-Haditsah. T.t.
9. Al-Mustashfa fi ‘Ilm al-Ushul. Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazaly. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. Beirut. 1417 H.
10. Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah. Abu
Ishaq Ibrahim ibn Musa al-Syathiby. Tahqiq: Syekh ‘Abdullah Darraz. Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyah. Beirut. Cetakan pertama. 1411 H.
11. Raudhah al-Nazhir wa Jannah al-Munazhir. Abu Muhammad Abdullah ibn Ahmad ibn Qudamah al-Maqdisy. Maktabah al-Rusyd. Riyadh. Cetakan pertama. 1416 H.
12. Al-Risalah. Imam Abu Abdillah Muhammad ibn Idris al-Syafi’iy. Tahqiq: Ahmad Muhammad Syakir. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. T.t.
13. Talkhish al-Habir fi Takhrij Ahadits al-Rafi’iy al-Kabir. Ahmad ibn ‘Ali ibn Hajar. Tahqiq: DR. Sya’ban Muhammad Isma’il. Maktabah Ibn Taimiyah. Kairo. T.t.
14. Al-Umm. Muhammad ibn Idris al-Syafi’i. Dar al-Fikr. Beirut. T.t.
15. Ushul Fiqh al-Muyassar. DR. Sya’ban Muhammad Isma’il. Dar al-Kitab al-Jami’iy. Kairo. Cetakan pertama. 1415 H.
16. Ushul Madzhab al-Imam Ahmad ibn Hanbal. DR. ‘Abdullah al-Turky. Mu’assasah al-Risalah. Lebanon. Cetakan pertama. 1414 H.
[2] DR. Juhaya S. Praja. Hukum Islam di Indonesia. PT. Remaja Rosdakarya: Bandung, hal. xi
Rabu, 09 Mei 2012
Langganan:
Postingan (Atom)