PEMBAHASAN
ILMU KALAM/TAUHID
A.
Tauhid/Ilmu Kalam
1.
Pengertian Tauhid dan Ilmu Tauhid
a.
Pengertian
Tauhid
Tauhid menurut bahasa
mengetagui dengan sebenarnya bahwa sesuatu itu satu. Asal makna tauhid ialah
meyakinkan bahwa Allah adalah “satu” dan tidak serikat bagi-Nya.
Dalam tata
bahasa Arab kata tauhid termasuk bab taf`il berasal dari akar kata wahhada
yang bermakna menyatukan, yuwahhidu akan tetap menyatukan, dan tauhid
yang bermakna sungguh disatukan.
Yang dimaksud
disatukan di sini bukan berarti beberapa Tuhan yang dijadikan satu, tetapi yang
dimakksud adalah berusaha meyakini tenatng “satu” atau Esa-nya Allah. Di
samping itu ada juga yang tauhid jika ditinjau dari dari segi bahasa berarti berasal
dari bahasa Arab yaitu yang berarti menyatakan bahwa Allah adalah Esa dan tiada
sekutu bagi-Nya. Dalam hal ini ada beberapa pendapat ahli ilmu tauhid, di
antaranya:
1)
Muhammad Abduh
menyatakan dalam bukunya Risalah at-Tauhid bahwa asal makna tauhid adalah
meyakinkan bahwa Allah adalah satu dan tiada serikat bagi-Nya.
2)
M. Thaib A.
Mu`in menjelaskan bahwa tauhid adalah mengetahui atau mengenal Allah,
mengetahui dan meyakinkan Allah itu tunggal tidak ada sekutu bagi-Nya.
3)
Menurut A.
Hanafi, tauhid adalah percaya tentang wujud Tuhan yang wujud Tuhan Yang Maha
Esa yang tidak ada sekutu bagi-Nya baik dzat, sifat, maupun perbuatan-Nya. Yang
memberi uutusan untuk memberi petunjuk kepada alam dan umat manusia kepada
jalan kebaikan, serta meminta pertanggungjawaban seseorang diakhirat kelak.
b.
Pengertian Ilmu
Tauhid
Secara ringkas
ilmu tauhid dapat diartikan denga ilmu yang mempelajari tentang ketuhanan yang
lebih ditekankan kepada peng-Esa-an Tuhan. Dalam istilah ilmu tauhid asing
sering disebutkan dengan :”theologi” yang berasal dari bahasa Yunani Theos yang
bearti Tuhan dan logos yang berarti
Ilmu. Sehingga theologi adalah adalah suatu ilmu tentang ketuhanan.
Sedangkan
menurut para ahli ilmu tauhid, yaitu:
1)
Muhammad Abduh,
ilmu tauhid adalah ilmu yang membahas tentang wujud Tuhan, sifat-sifat yang wajib
tetap ada pada-Nya, sifat yang boleh dosifatkan pada-Nya, sifat yang tidak
boleh bagi-Nya juga tentang Rasul untuk menetapkan apa yang wajib, boleh dan
dilarang dinisbahkan kepadanya.
2)
Said Husen
al-Fandi al-Jisr mengartikan bahwa ilmu tauhid adalah ilmu yang membahas
tentang menerapkan aqidah atau keyakinan agama dengan dalil-dalilnyang pasti.
3)
M. Hasbiy
ash-Shiddiqy mendefenisikan bahwa ilmu tauhid adalah ilmu yang membericarakan
tentang cara-cara menetapkan aqidah agama dengan menggunakan dalil-dalil yang
meyakinkan baik dalil naqli, dalil aqli maupun perasaan yang halus (wijdani).
4)
Ibnu Khaldun
mengemukan bahwa ilmu tauhid adalah ilmu-ilmu yang mengandung argument-argument
rasinal untuk membela aqidah-aqidah imaniah dan mengandung penolakan-penolakan
terhadap golongan-golongan bid`ah yang dalam bidang aqidah menyimpang dari
mazhab salah dan mazhab ahlu as-sunnah.
Ada juga
pendapat yang mengartikan ilmu tauhid dalam bentuk ilmun kalam yaitu ilmu yang
membeicarakan tentang wujud Tuhan (Allah), sifat-sifat yang mesti ada pada-Nya,
sifat-sifat yang tidak ada pada-Nya dan sifat yang mungkin ada pada-Nya. Dan
membicarakan tentang Rasul-Rasul Tuhan, untuk menetapkan kerasulannya dan mengetahui
sifat yang mesti ada padanya, sifat-sifat yang tidak mungkin ada pandanya, dan
sifat yanng mungkin ada padanya.
Ibnu Khaldun
menyatakan bahwa ilmu kalam adalah berisi alasan-alasan mempertahankan
kepercayaan iman dengan mengguanakan dalil-dalil fikiran dan berisi bantahan
terhadap orang-orang yang menyeleweng dari kepercayaan- kepercayaan aliran
golongan salaf dan ahli sunnah.
2.
Nama-Nama Lain Ilmu Kalam atau Ilmu Tauhid
a.
Ilmu ushuluddin,
dinamai ilmu ushuluddin karena ilmu tersebut membicarakan tentang pokok-pokok
dan dasar-dasar agama yang wajib diimani dan diketahui oleh setiap muslim.
b.
Al-Fiqh
al-Akbar, artinya fiqh yang paling agung, dinamai demikian karena mempelajari
atau memahami bidang aqidah itu berarti memahami bidang lebih utama dari bidang
syari`at atau ingat bahwa aqidah adalah ushul sedangkan syari`at adalah furu`.
Namun demikian nama ini tidak bisa bertahan lama dan populer seperti nama fiqh
atau ilmu fiqh untuk bidang syari`at.
c.
Ilmu `Aqid, dinamakan
ilma `aqid karena ilmu ini membicarakan tentang aqidah dan kepercayaan agama
yang wajib diketahui dan diyakini oleh setiap muslim
d.
Ilmu Tauhid,
dinamai demikian karena yang terpenting dari ilmu ini adalah membicarakan
tentang ke-Esa-an Allah dengan semurni-semurninya. Masalah keesaan Tuhan adalah
satu bagian dari masalah-masalah aqidah yang demikian banyak, namun karena
mengesakan Allah itu adalah tujuan hakiki dari aqidah Islam dan merupakan inti
ajaran Islam maka ilmu ini dinamakan ilmu tauhid.
e.
Ilmu Kalam,
dinamai demikian karena permasalahan
yang banyak dibicarakan ialah firman Allah, yaitu al-Quran, apakah qadim atau
hadits makhluk atau bukan.
Demikian pula karena ilmu tersebut lebih mendahulukan
akal daripada al-Quran dan hadits dalam menetapkan kebenaran suatu persoalan
dan dalam membuktikan kepercayaan agama menyerupai logika dan filsafat.
Meskipun ilmu ini mendahulukan akal daripada nash, namun
tidak berarti merendahkan derajat nash, karena hal ini hanya mennampakkan
metode saja dalam menyampaikan pesan nash al-Quran atau hadits.
Contoh:
Setiap yang ada pasti ada yang menjadikan
langit dan bumi ada
langit dan bumi ada pasti ada yang menjadikan
siapa yang menjadikan? Pesan al-Quran adalah yaitu terdapat dalam Q.S.
ash-Shajadah ayat 4:
Allah
lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam
enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy. tidak ada bagi kamu selain
dari padanya seorang penolongpun dan tidak (pula) seorang pemberi syafa'at.
Maka Apakah kamu tidak memperhatikan?
Dalam contoh
lain yaitu:
Setiap yang bernyawa pasti hidup
Setiap yang hidup adakan merasakan mati
Setiap yang bernyawa pasti akan mati
Pesan Allah
dalam Q.S. Ali Imran ayat 185, yaitu:
Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. dan
Sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa
dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, Maka sungguh ia telah
beruntung. kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang
memperdayakan.
Metode ini biasanya digunakan oleh aliran mu`tazilah karena pada umumnya
sasaran dakwah mmereka adalah orang-orang yang intelektual yang masih mulhid,
di samping agama-agama lain yang seringkali menyerang Islam dengan senjata
filsafat sehingga mu`tazilah terpaksa menggunakan senjata itu pula untuk
mempertahankannya.
3.
Sumber Pemikiran Kalam
a.
Al-Quran,
sebagai sumber ilmu kalam al-Quran banyak menyinggung hal yang berkaitan dengan
masalah ketuhanan, di antaranya terdapat dalam Q.S. al-Ikhlas ayat 1-4, Q.S.
Asy-Syura ayat 7, Q.S. al-Furqan ayat 59, dan lain sebagainya.
b.
Hadits, di
antaranya adalah hadits Nabi yang menjelaskan hakikat keimanan serta hadits
yang dipahami sebagai prediksi Rasulullah saw mengenai kemunculan berbagai
golongan dalam ilmu kalam.
c.
Pemikiran
Manusia, pemikiran manusia dalam hal ini baik berupa pemikiran umat Islam
sendiri atau pemikiran yang berasal dari luar umat Islam.
d.
Insting, kepercayaan
adanya Tuhan secara instingtif telah berkembang sejak keberadaan manusia
pertama
B.
Tauhid/Ilmu Kalam
1.
Kerangka Befikir Aliran Kalam
Di dalam aliran ilmu kalam terdapat 3 aliran besar, yaitu
aliran Mu`tazilah, Asy-`Ariyah, dan Maturidiyah. Di samping itu ada juga yang mengatakan
tiga aliran itu adalah Mu`tazilah, Asy-`Ariyah, dan Salafiyah, sedangkan aliran
Maturidiyah pada dasarnya telah diwkili oleh aliran Asy-`Ariyah.
Perbedaan kerangka berfikir aliran tersebut dapat dilihat
tentang memposisikan akal dan wahyu. Dari hal ini lahirlah aliran yang bercorak
rasional dan tradisional. Aliran Mu`tazilah bercora rasional dan lawannya
adalah aliran Asy-`Ariyah yang bercorak tradisional. Sedangkan aliran
Maturidiyah dan aliran Salafiyah berada di antara keduanya, namun dalam pemikiran
aliran Maturidiyah lebih ke dekat ke aliran Mu`tazilah dan aliran Salafiyah
lebih dekat aliran Asy-`Ariyah
Adapun ciri-ciri kerangka berfikir rasional adalah
sebagai berikut:
a.
Kedudukan akal
yang tinggi
b.
Kebebasan
manusia dalam kemauan dan berbuat
c.
Kebebasan
berfikir hanya diikat oleh ajaran dasar dalam al-Quran dan sunnah yang sedikit
sekali jumlahnya.
d.
Percaya adanya
sunnatullah dan kausalitas
e.
Mengambil arti
metaferis dari teks wahyu
f.
Dinamika dalam
sikaf dan berfikir
Sedangkan ciri-ciri kerangka berfikir aliran tradisional
adalah sebagai berikut:
a.
Kedudukan akal
bagi aliran trdisional ini rendah
b.
Ketidakbebasan
manusia manusia dalam kemauan dan perbuatan
c.
Kebebasan
berfikir yang diikat banyak dogma
d.
Ketidakperyaan
kepada Sunnatullah dan kausalitas
e.
Terikat kepada
arti tekstual dari al-Quran dan hadits
f.
Statis dalam
berbuat dan berfikir
Berikut penjelasan secara singkat mengenai kerang
berfikir masing-masing aliran dalam ilmu kalam:
a.
Mu`tazilah
Menurut
mu`tazilah segala pengetahuan dapat diperoleh melaui akal, dan
kewajiban-kewajiban dapat diketahui melali pemikiran yang mendalam. Dengan
demikian berterima kasih kepada Tuhan sebelum turunnya wahyu adalah wajib. Baik
dan jahat wajib diketahui melaui akal dan demikian pula mengerjakan yang baik
dan menjauhi yang jahat adalah wajib pula.
Abu al-Hudzail
al-`Allaf salah seorang tokoh aliran mu`tazilah mengemukakan bahwa akal manusia
dapat mengatahui:
1)
Adanya Tuhan.
2)
Kewajiban
manusia berteima kasih kepada Tuhan.
3)
Apa yang baik
dan apa yang jahat.
4)
Kewajiban
manusia berbuat baik dan kewajiabn manusia meninggalkan perbuatan yang jahat.
b.
Asy-`Ariyah
Menurut
asy-`Ariyah dan asy-`Ari sendiri mengatakan bahwa segala kewajiban manusia
hanya dapat diketahui melalui wahyu, akal tidak dapat membuat sesuatu menjadi
dan tidak dapat mengetahui bahwa mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk
adalah wajib bagi manusia. Akal memang dapat mengetahui Tuhan, tetapi wahyulah
yang mewajibkan orang mengatahui Tuhan dan berterima kasih kepada-Nya. Juga
dengan wahyulah dapat diketahui yang patuh kepada Tuhan akan memperoleh upah,
dan yang tidak patuh kepada-Nya mendapat hukum atau azab dari Allah swt.
c.
Maturidiyah
1)
Maturidiyah Samarkand
Golongan ini
berpendapat bahwa akal dapat mengetahui adanya Tuhan, kewajiban mengetahui dan
berterima kasih kepada Tuhan serta mengetahui baik dan buruk.
Tetapi menurut
aliran Maturidiyah Samarkand ini akal tidak dapat mengetahui bagaimana
kewajiban berbuat baik dan meninggalkan yang buruk, ini hanya dapat diketahui
melalui wahyu.
2)
Maturidiyah Bukhara
Menurut
golongan ini, dengan akal manusia bisa mengetahui adanya Tuhan dan yang baik
dan yang buruk. Sedangkan kewajiban mengetahui adanya Tuhan dan kewajiban
mengetahui yang baik dan meninggalkan yang buruk adalah diketahui melalui
wahyu.
d.
Salafiyah
Aliran ini
menggunakan metode yang bercorak lietral atau tekstual. Aliran salafiayh ini
juga anti dengan metode ta`wil dalam memahami nash-nash agama, serta akal
tunduk kepada naqli dan wahyu.
Jadi, jika dalam perbandingan antara golongan di atas
akan tampak bahwa mu`tazilah dan maturidiyah samarkand memberi kedudukan yang
tinggi kepada akal, sedangkan asy-`Ariyah, Salafiyah dan Maturidiyah Bukhara memandang
akal manuia lemah dan memandang kedudukan wahyu lebih tinggi dari akal.
Di samping pengertian theologi rasional dan tradisional,
dikenal pula pengertian akibat adanya kerangka berfikir dalam menyelesaikan
persolan-persoalan kalam, yaitu:
a.
Theosentris
Aliran ini
menganggap bahwa manusia tidak mempunya kekuatan apa-apa, semua yang diperbuat
oleh manusia adalah kehendak Tuhan. Tuhan berkuasa muttlaq terhadap manusia
bisa jadi orang jahat bisa mendapat syurga-Nya nanti dan orang yang taat bisa
saja masuk neraka. Aliran yang masuk kategori ini adalah aliran Jabariyah.
b.
Antroposentris
Aliran ini
menganggap bahwa manusia telah diberkahi oleh Tuhan dalam bentuk daya sejak
lahir, daya ini berupa potensi yang menjadikannya mampu membedakan yang baik
dan mana yang jahat. Manusia yang memilih kebaikan akan memperoleh keuntunggan
melimpah yaitu surga, sedangkan manusia yang memilih kejahatan, ia akan
memperoleh neraka. Dengan adanya daya atau potensi tersebut, manusia mempunyai
kebebasan yang mutlaq, aliran yang masuk dalam kategori ini adalah Qadariyah,
Mu`tazilah, dan Syi`ah.
2.
Klasifikasi Muwahhid
Pengajaran tentang tauhid bukanlah sekedar
melepaskan seseorang dari pada syirik dan kekafiran, tetapi jauh dari itu di
harapakan dan modal tauhid seseorang akan menjadi sumber kebijakan atau lebih
tinggi lagi, akan dapat melepaskan dunia dari kegelapan dan membawanya kepada
cahaya yang terang sebagai pencipta keutamaan yang di kehendaki Allah. Namun
dalam pencapain ini tidak semua penganut tauhid sampai kepadanya, karena mereka
terbagi kedalam berbagai tingkat.
Dengan merangkum pendapat Mansur,
(1978:12-15). Bahwa dalam sifatnya tauhid itu melangkah dalam tiga tingkatan
penganut tauhid (muwahid):
a. Tingkatan bersifat tahu, sifat ini terus
melangkah maju sampai kepada batasnya, yaitu mengetahui karena tahu dengan
mengetahui berbeda:
1) Tahu, sifat ini dapat dicapai dengan tidak
sengaja, misalnya dari cerita sifulan diketahui tentang sifulan yang sebelumnya
tidak diketahui, jelas disini tidak ada kesengajaan.
2) Mengetahui, sifat ini dapat dicapai dengan
sengaja, kalau ada diketahui tentang sesuatu maka perlu ditelusuri lebih
lanjut.
b. Tingkatan bersifat kenal, dari sifat
mengetahui maka akn sampai kepada tingkat yang lebih tinggi yaitu tingkat
“kenal”, atau mengenal. Sebagai contoh, misalnya untuk mengenal sebuah bangsa
harus dikenal dulu historis bangsa itu yang meliputi budaya, adat dan istiadat
dan sebagainya. Hal ini tentu dapat diketahui dengan membaca sejarah
pertumbuhan dan perkembangan bangsa itu, yaitu dengan meneliti arsip-arsip
bangsa tersebut secara intens.
Begitu juga dengan mengenal Tuhan, dimulai dengan
pengenalan nama-nama sifat dan segala yang terkait dengan Ketuhanan, sehingga
dengan pengenalan itukita tahu inilah Tuhan yang sesungguhnya dan Tuhanpun akan
mengenal Manusia.
c. Tingkatan berifat insaf, dari sifat kenal dan
berkenalan maka akan naik ketingkat insaf, dimana manusia sadar akan Tuhan dan
sadar pula akan dirinya dengan itu akan membawa diri untuk selalu melangkah
mendekati Tuhan, berusaha mencari Ridha-Nya, dan dalam bertindak, ia akan bisa
mengendalikan dirinya, dengan dapatnya orang menguasai dirinya dan dia akan
selalu melangkah mendekati Tuhan dan mengingat-Nya. Sehingga ia akan selalu
Dzikir mengingat Tuhan.
Sejalan dengan pendapat di atas, Abdul Halim Mahmud,
menyatakan bahwa ada tiga tingkatan orang dalam memahami atauhid, yaitu:
a. Tauhid orang awam (kebanyakan)
b. Tauhid ahli hakikat
c. Tauhid orang-orang khusus
C.
Sejarah Pertumbuhan Ilmu Tauhid
1.
Lahirnya Ilmu Tauhid
Lahirnya ilmu kalam itu dapat dikelompokkan oleh du
faktor, yaitu sebagai berikut:
a.
Faktor Intern
Yang dimaksud
dengan faktor intern adalah faktor dari Islam itu sendiri, adapun faktor-faktor
tersebut adalah:
1)
Al-Quran di
samping berisi masalah ketauhidan, kenabian, dan lain sebagainya, berisi pula
semacam apologi dan polemik, terutama terhadap agama-agama yang ada pada waktu
itu. Misalnya Surat al-Maidah ayat 116 yang berisi tentang penolakan terhadap
ketuhanan Nabi Isa. Arti ayat tersebut adalah “Dan
(ingatlah) ketika Allah berfirman: "Hai Isa putera Maryam, Adakah kamu
mengatakan kepada manusia: "Jadikanlah aku dan ibuku dua orang Tuhan selain
Allah?". Isa menjawab: "Maha suci Engkau, tidaklah patut bagiku
mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). jika aku pernah mengatakan
Maka tentulah Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak
mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha mengetahui
perkara yang ghaib-ghaib".
2)
Pada periode
pertama masalah keimanan tidak dipersoalkan secara mendalam. Setelah Nabi wafat
dan umat Islam bersentuhan dengan kebudayaan dan peradaban asing, maka mereka
mulai mengenal filsafat untuk memecahkan masalah maka perlu suatu ilmu.
3)
Masalah
politik, terutama yang berkenaan dengan khalifah menjadi faktor pula dalam llahirnyya ilmu tauhid.
b.
Faktor Ekstren
Yang dimaksud
dengan faktor eksternal adalah faktor dari luar Islam, faktor tersebut ialah
pola pikir agama lain, termasuk umat Islam yang di dalamnya menganut agama lain
ke dalam ajaran Islam.
2.
Fase Nabi Muhammad saw
Masa Rasulullah SAW merupakan fase pembinaan aqidah dan
peraturan-peraturan dengan prinsip-prinsip kesatuan umat dan kedaulatan Islam.
Segala masalah yang kabur di kembalikan langsung kepada Rasulullah sehingga
beliau berhasil menghilangkan perpecahan antara umatnya.
Masing-masing pihak tentu mempertahankan kebenaran
pendapat-pedapatnya dengan dalil-dalil, sebagaimana telah terjadi dalam
agama-agama sebelum Islam. Rasulullah mengajak kaum muslimin untuk mentaati
Allah dan Rasul-Nya serta menghindari dari perpecahan yang menyebabkan
timbulnya perpecahan dan kelemahan dalam segala bidang. Allah swt berfirman
dalam Q.S. al-Anfal ayat 46 yang artinya: “dan taatlah kepada Allah dan
Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan yang menyebabkan kamu menjadi
gentar dan hilang kekuatanmu, dan bersabarlah, sesungguhnya Allah beserta orang
yang sabar”
Perbedaan pendapat boleh-boleh saja, tetapi jangan sampai
pada pertengkaran, terutama dalam masalah aqidah. Demikian pula dalam
menghadapai agama lain, bila terjadi perdebatan harslah dihadapi dengan nasihat
dan peringatan, berdebat dengan cara yang baik dan dapat mengahsilkan tujuan
dalam perdebatan, sehingga terhindar dari pertengkaran. Allah SWT berfirman
dalam Alqur’an Surat An-Nahl ayat 125, yang artinya: “serulah manusia kepada
jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan
cara yang baik, sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa
yang tersesat dari jalan-Nya, dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk.
Maka dari itu tauhid difase Rasulullah tidak sampai
kepada perdebatan dan polemik yang berkepanjangan, karena Rasul sendiri yang menjadi
penengahnya, dan pada masa Rasulullah ilmu tauhid belum berdiri sendiri dari ajaran-ajaran
Islam, ia masih sederhana dalam bentuk rukun iman, hanya tergambar dalam
kehidupan, “tauhidul ‘aqidah, ittihadul ummah” yang telah jadi suatu
komponen yang utuh, sebab umat pada masa itu faham betul tentang wahyu dan
sabda nabi.
3.
Fase Khulafaurrasyidin
Pada masa permulaan khalifah Islam, yaitu khususnya pada
masa khalifah Abu Bakar dan Umar bin Khattab, ilmu tauhid masih sama dengan masa
Rasulullah. Hal ini disebabkan umat/kaum muslimin tidak sempat membahas
dasar-dasar aqidah, karena waktu tesita untuk menghadapi musuh, mempererat
persatuan dan kesatuan umat.
Kaum muslimin tidak mempersoalkan tentang aqidah, mereka
membaca dan memahami Al-Qur’an tanpa taqwil, mengimani dan mengamalkannya
menurut apa adanya. Menghadapi ayat-ayat mutasyabihat segera mereka mengimani
dan menyerahkan pentakwilannya kepada Allah SWT sendiri.
Masa khalifah ketiga, yaitu Usman Bin Affan mulai timbul
kekacauan yang berbau politik dan fitnah, sehingga khalifah Usman sendiri
terbunuh. Umat Islam mulai terpecah, untuk mendukung pandangan mereka tanpa
segan mereka mentakwilkan ayat-ayat suci dan hadits Rasulullah. Malahan ada di antara
mereka menciptakan hadits-hadits palsu.
Stelah Usman mati terbunuh, perselisihan dikalangan umat
Islam terus berlanjut, di zaman pemerintahan Ali bin Abi Thalib (656-661M)
dengan terjadinya perang saudara: pertama perang Ali dengan Zubair, Thalhah dan
Aisyah yang dikenal dengan perang Jamal, kedua perang antara Ali dengan
Muawiyah bin Abu Sofyan, yang disebut dengan perang Shiffin. Pertempuran
dengan Zubair dkk dimenangkan oleh Ali dan pertempuran dengan Muawiyah
berrakhir dengan Tahkim (arbitrase). Hal ini berpegaruh jepada
perkembangan Tauhid, terutama lahir dan tumbuhnya aliran-aliran.
Ada juga yang berpendapat bahwa separuh akhir masa khulafaurrasidin,
sebahagian aqidah mulai dibicarakan, seperti taqdir, penetapan siapa yang kafir
dan yang bukan, akibat dari tahkim (73 H). Antara Ali, Muawiyah, Amr bin Ash,
dan Abu Musa Al-Asy’ary, yang memicu timbulnya kelompok Syi’ah, yang sangat
mencintai Ali, lalu ditantang Khawarij, pimpinan Al- Asy’ats Ibnu Qais
Al-Qindi, sehingga muncul pula kaum netral Murji’ah yang tidak menghukum kafir
orang mu’min yang berdosa besar, dipelopori sebagian sahabat Ghailan
Ad-Dimasqi. Lalu muncul faham Qadariyah, yaitu manusialah yang menentukan
nasibnya, yang dipelopori oleh Ma’bad Al-Jauhani, dan Ghailan Ad-Dimasyqi,
disusul faham Jabariyah, yang dipelopori oleh Jahm bin Safwan dan Ja’ad bin
Dirham dengan faham serba Tuhan. Kedua faham ini terus tumbuh dan dianut sebagian
umat zaman itu. (38 H- 139 H).
4.
Fase Dinasti Bani Umayyah
Dimasa ini kedaulatan Islam sangat kuat sehingga
tidak perlu lagi berusaha untuk mempertahankan Islam seperti masa seebelumnya.
Kesempatan ini digunakan kaum muslimin untuk mengembangkan pengetahuan dan
pengertian tentang ajaran Islam. Lebih lagi dengan berbondong-bondongnya pemeluk agama lain memeluk Islam, yang jiwanya belum bisa
sepenuhnya meninggalkan unsur agamanya, telah menyusupkan beberapa ajarannya.
Masa inilah mulai timbul keinginan bebas berfikir dan berbicara yang selama ini
didiamkan oleh golongan Salaf.
Dan muncullah sekelompok umat Islam membicarakan masalah
Qadar (Qadariyah) yang menetapkan bahwa manusia itu bebas berbuat, tidak
ditentukan Tuhan. Sekelompok lain berpendapat sebaliknya, manusia ditentukan Tuhan,
tidak bebas berbuat (Jabariyah). Kelompok Qadariyah ini tidak berkembang dan
melebur dalam Mazhab mu’tazilah yang menganggap bahwa manusia itu bebas berbuat, sehingga mereka menamakan dirinya dengan “ahlu al-adli”, dan
meniadakan semua sifat pada Tuhan karena zat Tuhan tidak tersusun dari zat dan
sifat, Ia Esa inilah mereka juga menamakan dirinya dengan “ahlu at-Tauhid”.
Pada masa ini muncul faham Mu’tazilah yang diilhami oleh
faham Qadariyah seperti diatas tadi yang tidak mengakui adanya Sifat Tuhan,
dengan konsepnya “manzilah baina manzilatain” ada tempat diantara surga dan
neraka bagi orang mu’min yang berdosa besar, faham ini berjalan pada 80 H- 324
H. Dengan memupuk ilmu kalam sebagai disiplin ilmunya, sejak Washil Bin Atha’
(w. 131 H) dan temannya Umar bin Ubaid (W. 145 H) memisahkan diri dari gurunya
Hasan Basri (W. 110 H). Oleh karena itu, diperkirakan gerakan Mu’tazilah ini secara
terkordinir mulai Tahun 120 H.
Maka ilmu tauhid pada masa ini menjelma dalam bentuk ilmu
kalam yang membicarakan kepercayaan islam melalui logika, mantiq, dan filsafat
secara mendetail dan mendalam disamping dalil-dalil naqli yang diterimanya.
5.
Fase Dinasti Abbasiyah
Masa
ini merupakan zaman keemasan dan kecemerlangan Islam, ketika terjadi hubungan
pergaulan dengan suku-suku di luar arab yang mempercepat berkembangnya ilmu
pengetahuan. Usaha terkenal masa tersebut adalah penterjemahan besar-besaran
segala buku Filsafat.
Para khalifah menggunakan keahlian orang Yahudi, Persia
dan Kristen sebagai juru terjemah, walaupun masih ada di antara mereka
kesempatan ini digunakan untuk mengembangkan pemikiran mereka sendiri yang
diwarnai baju Islam tetapi dengan maksud buruk.
Dalam
masa ini muncullah polimik-polimik menyerang paham
yang dianggap bertentangan. Misalnya dilakukan oleh ‘Amar bin Ubaid
al-Mu’tazili dengan bukunya “Ar-Raddu ‘ala al-Qadariyah” untuk menolak paham
Qadariyah. Hisyam bin al-Hakam As-Syafi’i dengan bukunya “al-Imamah, al-Qadar,
al-Raddu ‘ala Az-Zanadiqah” untuk menolak paham Mu’tazilah. Abu Hanifah dengan
bukunya “al-Amin wa al-Muta’allim” dan “Fiqhu al-Akbar” untuk mempertahankan
aqidah Ahlussunnah.
Dengan mendasari diri pada paham pendiri Mu’tazilah
Washil bin Atha’, golongan Mu’tazilah mengembangkan pemahamannya dengan
kecerdasan berpikir dan memberi argumen. Sehingga pada masa khalifah al-Makmun,
al-Mu`tasim dan al-Wasiq, paham mereka menjadi mazhab negara, setelah
bertahun-tahun tertindas di bawah Dinasti Umayyah.
Semua golongan yang tidak menerima Mu’tazilah ditindas,
sehingga masyarakat bersifat apatis kepada mereka. Saat itulah muncul Abu Hasan
al-`Asy`ary, salah seorang murid tokoh Mu`tazilah al-Jubba`i menentang pendapat
gurunya dan membela aliran Ahlussunnah wal Jama`ah. Dia berpandangan “jalan
tengah” antara pendapat Salaf dan penentangnya.
Abu Hasan menggunakan dalil naqli dan aqli dalam
menentang Mu’tazilah. Usaha ini mendapat dukungan dari Abu al-Mansur
al-Maturidy, al-Baqillani, Isfaraini, Imam haramain al-Juaini, Imam al-Ghazali
dan Ar-Razi yang datang sesudahnya.
Usaha para mutakallimin khususnya al-Asy’ary dikritik
oleh Ibnu Rusydi melalui bukunya “Fushush al-Maqal fii ma baina al-Hikmah wa
asy-syarizati min al-Ittishal” dan “al-Kasyfu an Manahiji al-Adillah”. Beliau
mengatakan bahwa para mutakallimin mengambil dalil dan muqaddimah palsu yang
diambil dari Mu’tazilah berdasarkan filsafat, tidak mampu diserap oleh akal
orang awam. Sudah barang tentu tidak mencapai sasaran dan jauh bergeser dari
garis al-Quran. Yang benar adalah mempertemukan antara syari`at dan filsafat.
Dalam
mengambil dalil terhadap aqidah Islam jangan terlalu menggunakan filsafat
karena jalan yang diterangkan oleh al-Quran sudah cukup jelas dan sangat sesuai
dengan fitrah manusia. Disnilah letaknya agama Islam itu memperlihatkan
kemudahan. Dengan dimasukkan filsafat malah tambah sukar dan membingungkan.
Ada juga yang mengatakan bahwa pada masa ini “ilmu
tauhid” muncul sebagai suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri, terpisah dari
ilmu kalam yang bukan sitem tauhid salaf karena ilmu tauhid ini berlandaskan
dalil naqli dan dalil aqli, yang dasar-dasarnya telah di susun oleh imam Abu
Hasan Al-Asy’ari (W.324 H) dan imam Abul Mansyur Al-Maturidi (W. 333H) secara
rinci.
Ilmu tauhid sistem mereka inilah yang di masyhurkan
dengan faham Ahlussunnah Waljama’ah (Sunni), karena ulama tauhid salafi
berakhir pada masa Abdullah ibnu Sa’id Al-Kalabi, Abi Al- Abbas Al-Qalansi dan
Al-Haris Ibnu Asad Al- Muhasibi (300 H).
Ilmu tauhid sistem Khalaf, sebagai lawan salaf ini,
mendapat dukungan dari ulama-ulama Ahlussunnah seperti imam Al-Ghazali (W. 505
H) dan Ar-Razi (W. 606 H) dan kemudian dirampungkan oleh Imam As-Sanusi (833H-
895H), dengan mulai teori sifat dua puluh, dan sifat istighna’, dengan sifat
iftiqar itu, sehingga ilmu kalam berjalan sendiri, ilmu tauhid sunni lain pula,
sedangkan ulama tauhid salafi mendapat pencerahan kembali oleh Ibnu Taymiyah
(661 H- 724 H) dan di dukung oleh ibnu Qayyim yang tetap teks Book, setelah 400
Tahun lebih diimbangi oleh tauhid Sunni.
Karena Itu, masyhurlah sebagai peletak dasar-dasar ilmu
tauhid sunni yang disandarkan kepada dua imam, yaitu Abul Hasan Al-Asy’ari dan
Abul Mansur Al-Maturidi, karena merekalah yang pertama menyusun, mengumpulkan
ilmu kalam ini dengan dalil-dalilnya secara terperinci, yang berdiri sendiri
sebagai suatu disiplin ilmu diantara berbagai ilmu-ilmu agama lainnya.
6.
Setelah Abbasiyah
Sesudah
kemunduran Daulah Abbasyiah, golongan asy-`Ariyah yang sudah terlalu jauh
menggunakan filsafat dalam alirannya tidak banyak mendapat tantangan lagi.
Hanya sedikit mendapat reaksi dari golongan Hambaliyah yang tetap berpegang
pada pandangan golongan Salaf, beriman dengan apa yang sudah disebutkan al-Quran
dan Hadits Rasulullah saw tanpa memerlukan takwil.
Pada abad ke delapan Hijriah muncullah Ibnu Taimiyah
menentang aliran Asy’ariyah, karena terlalu berlebihan menggunakan filsafat
dalam pembahasan Ilmu Tauhid. Timbullah pro dan kontra, ada yang membenarkan Ibnu Taimiyah dan
ada yang menganggapnya sesat. Usaha Ibnu Taimiyah ini dilanjutkan oleh muridnya
Ibnu Qaiyim al-Jauziyah. Sesudah itu pembahasan Ilmu Tauhid terhenti.
Hilang
gairah kaum muslimin untuk mempelajari dan mengembangkannya, kecuali hanya membaca
kitab-kitab yang sudah ada saja. Kefakuman ini cukup lama, barulah berakhir
dengan munculnya Sayid Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh dan Sayid Rasyid
Ridha di Mesir. Inilah gerakan ini disebut gerakan Salafiyah.
D.
Ruang Lingkup Pembahasan Ilmu Tauhid
1.
Ma`rifatul Mabda
Ma`rifatul Mabda adalah
ilmu yang membahas tentang zal Allah dan sifat-sifat-Nya, hal yang wajib,
mustahil dan jaiz bagi-Nya. Ini disebut juga dengan Qism al-Ilahiyat. Sifat
wajib bagi Allah adalah sebagai berikut:
a. Wujud
Wujud berati ada, maka mustahil tidak ada.
Allah SWT, berfirman :
Allah lah yang menciptakan langit dan bumi dan
apa yang ada di antara keduanya” (Q.S. As-Sajadah : 4)
b. Qidam
Qidam artinya terdahulu (tanpa ada awalnya),
maka mustahil didahului oleh ‘adam (ketiyadaan). Allah SWT, berfirman :
“Dialah
yang Awal dan yang akhir” (Q .S.Al-Hadid : 3)
c. Baqa’
Baqa’ artinya kekal (abadi), maka mustahil
dikenai fana’ (kebinasaan). Allah SWT, berfirman:
“Dan
tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.”(Q.S.Ar-Rahman
: 27)
d. Mukhalafatu
lil-Hawadits
Muhkalafatu lil-Hawadist artinya berlawanan
dengan segala sesuatu yang baru, maka mustahil bagi Allah bersamaan dengan
segala sesuatu yang baru. Allah SWT, berfirman :
“Tidak
ada sesuatupun yang serupa dengan Dia. (Q.S.Asy-Syuura : 11)
e. Qiyamuhu
Binafsihi
Qiyamuhu Binafsihi artinya berdiri dengan dirinya
sendiri, maka mustahil tidak berdiri dengan sendirinya. Dengan kata lain, Allah
tidak bergantung atau tideak berhajat kepada yang lain. Allah SWT, berfirman :
“Sesungguhnya
Allah benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan seuatu) dari alam semesta alam.
(Q.S. Al-Ankabut : 6)
f. Wahdaniyah
Wahdaniyah artinya Esa dzat-Nya, sifat-Nya dan
fi’il-Nya. Maka mustahil Allah itu berbilang dzat, sifat dan fi’il-Nya. Allah
SWT, berfirman :
“Katakanlah:
“Dia-lah Allah, yang Maha Esa.” (Q.S.Al-Ikhlas : 1)
g. Qudrat
Qudrat itu artinya kuasa, maka mustahil Allah
itu tidak kuasa. Allah SWT, berfirman :
“Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala
sesuatu.” (Q.S.Al-Baqarah : 20)
h. Iradat
Iradat artinya berkehendak (berkeinginan)’ maka
mustahil Allah bersifat terpaksa. Allah SWT, berfirman :
“(Sesungguhnya Tuhanmu) Maha Melaksanakan apa
yang Ia kehendaki” (Q.S.Huud : 107)
i.
‘Ilmun
‘Ilmun artinya mengetahui, maka mustahil Allah
atu jahil (tidak mengetahui). Allah SWT, berfirman :
“Dan Allah Maha mengetahui
segala sesuatu.” (Q.S.An-Nisaa’ : 176)
j.
Hayat
Hayat artinya hidup, maka mustahil Allah itu
mati. Allah SWT, berfirman :
Dan bertawakkallah kepada Allah yang hidup
(kekal) yang tidak mati.”(Q.S. Al-Furqan
58)
k. Sama’
Sama’ artinya mendengar, maka mustahil Allah
itu tuli. Allah SWT, berfirman :
“Dan Allah Maha mendengar
lagi Maha mengetahui.”(Q.S.Al-Baqarah : 256)
l.
Bashar
Bashar
artinya melihat, akan mustahil Allah SWT buta.
“Dan Allah Maha melihat apa yang kamu
kerjakan.” (Q.S.Al-Hujurat : 18)
m. Kalam
Kalam artinya berbicara, maka mustahil Allah
itu gagu. Allah berfrman:
“Dan
Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung.” (Q.S.An-Nisa’ : 164)
n. Qaridun
Qaridun artinya yang kuasa, maka mustahil Allah
itu bukan yang kuasa. Dalilnya sama dengan yang ada dalam sifat Qudrat.
o. Muridan
Muridun artinya berkehendak, maka mustahil
Allah tidak berkehendak. Dalilnya sama dengan yang ada dalam sifat Iradat.
p. ‘Alimun
`Alimun artinya yang mengetahui, maka mustahil
Allah itu tidak mengetahui. Dalilnya sama dengan yang ada dalam sifat ‘Ilmun.
q. Hayyun
Hayyun artinya yang hidup, maka mustahil Allah
itu mati. Dalilnya sama dengan yang ada pada sifat Hayat.
r.
Sami’un
Sami’un artinya yang mendengar, maka mustahil
Allah itu tuli. Dalilnya sama dengan yang ada dalam sifat Sam’un.
s. Bashirun
Bashirun artinya yang melihat, maka mustahil
Allah itu buta. Dalilnya sama dengan yang ada dalam sifat Bashar.
t.
Mutakallimun
Mutakallimun artinya berbicara, maka mustahil
Allah itu gagu. Dalilnya sama dengan yang ada dalam sifat Kalam.
Secara Ijmal, sifat-sifat
yang wajib bagi Allah itu terbagi menjadi empat bagian, yaitu:
a.
Sifat Nafsiah : yaitu suatu hal yang wajib bagi dzat
Allah bersifat dengan sifat wujud (ada), yang wujudnya it tidak disebabkan oleh
suatu sebab apapun, sifat Nafsiah ini hanya memiliki satu sifat saja, yaitu
Wujud.
b.
Sifat Salbiyah : yaitu suatu sifat yang menafikan
(meniadakan) semua sifat yang tidak layak bagi Allah. Sifat yang tidak ada bagi
Allah. Sifat Salbiah memiliki lima sifat yaitu : Qidam, Baqa’, Mukhalafatu Lil
Hawadits, Qiyamuhu Banafsihi, Wahdaniat.
c.
Sifat Ma’ani : Yaitu semua sifat yang berdiri pada dzat
Allah yang maujud, yang mewajibkan dzat itu bersifat dengan suatu hukum sifat
ma’nawiyah. Sifat Ma’ani ini meliputi tujuh sifat yaitu : Qudrat, Iradat,
Ilmun, Hayat, sam’un, bashar, kalam.
d.
Sifat Ma’nawiyah : Yaitu suatu hal yang tetap (tsabit)
bagi dzat Allah bersifat dengan sifat ma’nawiyah. Oleh karena-Nya terdapat
ikatan yang kuat antara sifat ma’ani dan sifat ma’nawiyah. Dan sifat
Ma’nawiyah. Ini meliputi tujuh sifat : Qadirun, Muridun, ‘Alimun, Hayyun,
Sami’un, Bashirun, Mutakallimun.
Sifat-sifat mustahil bagi
Allah yaitu sebagai berikut:
1.
Adam (tiada)
2.
Huduts (ada yang mendahului)
3.
Fana
(berakhir)
4.
Mumatsalatu lil hawaditsi (ada yang
menyamai)
5.
Ihtiyaju
lighairihi (memerlukan yang lain)
6.
Ta'adud (berbilang)
7.
Ajzun
(lemah)
8.
Karahah (terpaksa)
9.
Jahlun
(bodoh)
10. Mautun (mati)
|
11. Shamamun
(tuli)
12. Ama (buta)
13. Bakamun (bisu)
14. Kaunuhu 'ajiyan (zat yang lemah)
15. Kaunuhu karihan (zat yang terpaksa
16. Kaunuhu jahilan (zat yang sangat bodoh)
17. Mayyitan (zat yang mati)
18. Kaunuhu ashamma (zat yang tuli)
19. Kaunuhu 'ama (zat yang buta)
20. Kaunuhu abkama (zat yang bisu)
|
Adapun Sifat Jaiz Bagi Allah SWT adalah bahwa
Allah berbuat apa yang/dikehendaki,
seperti dalam Al-Qur’an disebutkan :
“Dan Tuhanmu menjadikan dan memilih barang
siapa apa yang dikehendaki-Nya. (Al-Qashash: 68).
2.
Ma`rifatul Washitah
Ma`rifatul washitah adalah yang membahas tentang
Rasul-Rasul Allah dan sifat-sifatnya, bak yang wajib, mustahil, maupun yang
jaiz, demikian pula kitab-kitab-Nya dan para malaikat-Nya atau ii disebut juga
dengan penghubung antara yang Maha Pencipta dengan hamba-Nya.
a.
Rasul-Rasul Allah
1.
Adam AS
2.
Idris AS
3.
Nuh AS
4.
Hud AS
5.
Shaleh AS
6.
Ibrahim AS
7.
Luth AS
8.
Ismail AS
9.
Ishaq AS
10. Ya`qub AS
11. Yusuf AS
12. Syu`ib AS
13. Ayub AS
|
14. Zulkifli AS
15. Musa AS
16. Harun AS
17. Daud AS
18. Sulaiman AS
19. Ilyas AS
20. Ilyasa AS
21. Yunus AS
22. Zakaria AS
23. Yahya AS
24. Isa AS
25. Muhammad SAW
|
Sifat-Sifat
Rasul Allah
Sifat-sifat
wajib bagi Rasul, adalah sebagai berikut:
1)
Shidiq (Jujur)
2)
Amanah (dipercaya)
3)
Tabligh (menyampaikan)
4)
Fathonah (cerdas)
Sifat-sifat
mustahil bagi Rasul yaitu sebagai berikut:
1)
Kidhzib
(Bohong),
2)
Khianah
(Berkhianat atau tidak dipercaya),
3)
Kitman (menyembunyikan) dan
4)
Baladah
(Bodoh).
Sifat
jaiz bagi rasul, yaitu: Allah telah mengutus para rasul kepada manusia dan telah
dihiasi dengan sifat kesempurnaan melebihi makhluk Allah yang lain, namun
mereka tidak akan terlepas dari fitrah kemanusian yang ada dalam dirinya.
Seorang rasul tetaplah sebagai seorang manusia biasa yang berprilaku
sebagaimana manusia.
b.
Kitab-Kita Allah
Di antara kitab-kitab Allah yang wajib kita
imani secara khusus adalah kitab-kitab yang telah disebutkan oleh Allah Ta’ala
dalam al-Qur’an dan oleh Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam
as-Sunnah. Kitab-kitab tersebut adalah:
1)
Taurat, yaitu kitab Allah yang diturunkan
kepada Nabi Musa ‘alaihis salam
2)
Zabur, yaitu kitab Allah yang diturunkan kepada
Nabi Daud ‘alaihis salam.
3)
Injil, yaitu kitab Allah yang diturunkan kepada
Nabi Isa ‘alaihis salam.
4)
Al-Qur’an, yaitu kitab Allah yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam
c.
Malaikat-Malaikat Allah
1)
Jibril, Tugasnya membawakan wahyu kepada Nabi-Nabi
2)
Mikail, Tugasnya nurunin hujan dan rezeki kepada makhluk hidup
3)
Isrofil, Tugasnya meniup
sangkakala : pertanda hari kiamat
4)
Izroil, Tugasnya mencabut nyawa manusia : alamat mau meninggal dunia
5)
Munkar, Tugasnya menanyain / menginterogasi manusia dalam kubur
6)
Nankir, Tugasnya sama seperti malaikat Munkar
7)
Raqib, Tugasnya mencatat perbuatan baik manusia
8)
Atid, Tugasnya mencatat perbuatan jelek manusia
9)
Malik, Tugasnya menjaga pintu neraka
10)
Riduan, Tugasnya menjaga pintu surga
3.
Ma`rifatul Ma`ad
Ma`rifatul ma`ad adalah membahas tentang hari kemudian
atau hari akhirat. Seperti hari kebangkitan, hisab, surga, neraka, dan lain
sebagainya. Atau disebut juga dengan janji-janji Allah swt.
a. Nama-nama
hari akhir
1) Hari
Qiyamat (Yaumul Qiyamah)
2) Hari Akhir ( al-Yaumul akhir)
3) Hari Kebangkitan (Yaumul Ba’ats)
4) Hari Pembalasan (Yaumud-Din)
5) Hari Perhitungan (Yaumul Hisab)
6) Yaumil mizan, dan lain-lain.
b.
Surga dan Neraka
1)
Surga
Di dalam bahasa
Arab surga disebut dengan al – jannah atau al-hadiqah zatusy syajar (kebun atau
taman yang terdiri dari berbagai macam pepohonan). Maka surga dipahami dengan
berbagai macam kenikmatan dan kelezatan yang luar biasa. Macam-macam surga, yaitu:
a)
Surga Fidaus
b)
Surga ‘Adnin
c)
Surga Na’im
d)
Surga Ma’wa
e)
Surga Darussalam
f)
Surga Darul
Muqamah
g)
Surga
al-Maqamul Amin
2)
Neraka
Adapun neraka
desebut dengan al-nar (api yang menyala). Oleh sebab itu neraka dipahami
sebagai tempat yang berisi berbagai macam azab dan siksaan serta balasan bagi
orang – orang yang berbuat dosa atau kesalahan. Oleh sebab itu neraka disebut
juga dengan mautin al- azab (tempat untuk berlakunya siksaan). Adapun nama –
nama neraka adalah sebagai berikut :
a)
Neraka Jahannam
b)
Neraka Jahim
c)
Neraka Hawiyah
d)
Neraka Weil
e)
Neraka Ladza
f)
Neraka Sa’ir
g)
Neraka saqar
h)
Neraka
al-Huthamah
E.
Pembagian Tauhid
1.
Tauhid Uluhiyah
Uluhiyah berasal dari kata “Ilah” yang berarti Tuhan.
Tauhid ini disebut juga dengan Tauhid ubudiyah yang berasal dari kata “abida”
yang berarti menyembah.
Maksud dari tauhid ini adalah bahwa Allah sajalah
benar-benar atau satu-satunya Tuhan yang patut disembah dari sekian banyak nama
Tuhan. Sebab pada umumnya setiap manusia mengetahui adanta Tuhan, hanya saja
cara menggambarkannya yang salah. Bagi manusia yang primitif menggambarkan
Tuhan dalam bentuk animisme, dinamisme, dan politheisme. Bagi umat Jahiliyah
mentuhankan Manna, watha, Uzza dan berbagai patung yang terletak di Ka`bah
waktu itu.
Ada juga yang berpendapat bahwa tauhid uluhiyah adalah
mengeesakan Allah dengan melakukan berbagai macam ibadah yang disyari`atkan.
Dan dapat disimpulkan bahwa tauhid uluhiyah adalah pengakuan yang penuh
bahwa Allah sajalah yang patut disembah, tidak boleh melakukan pengabdian
kepada selain-Nya. Tauhid ini melarang menyembah manusia, benda-benda keramat,
kuburan, para wali, dan lain sebagainya. Dalam hal ini Islam telah menggariskan
secara tegas bahwa seluruh pengabdian hanya lah kepada Allah semata. Allah swt
berfirman dalam Q.S. at-Thaha ayat 14:
Sesungguhnya
aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, Maka sembahlah aku
dan dirikanlah shalat untuk mengingat aku.
2.
Tauhid Rububiyah
Rububiyah berasal dari kata rabb yang
berarti pencip dan pengatur segala yang ada ini. Dengan demikian pengertian
tauhid rububiyah ini adalah pengakuan yang kuat atau keyakinan yang penuh bahwa
Allah sajalah yang mengatur dan
menciptakan alam semesa ini, baik alam nyata maupun alam ghaib.
Pendapat lain mengatakan bahwa tauhid
rububiyah adalah pengakuan bahwa sesungguhnya Allah adalah Tuhan yang Maha
Pencipta, orang-orang kafirpun mengetahui tauhid ini. Tetapi, pengakuan
tersebut tidak menjadikan mereka tergolong sebagai orang Islam. Allah swt berfirman dalam Q.S.
al-Zukhruf ayat 87:
Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: "Siapakah yang
menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab: "Allah", Maka
Bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)?
3.
Tauhid Asmaul Sifah
Tauhid asmaul sifah adalah tauhid kepada Allah dengan
mempercayai bawa Allah adalah mempunyai sifat-sifat yang sempurna, tidak serupa
dan tidak dimiliki oleh makhluknya sebagaima Dia dan Rasul-Nya mensifatkan.
Mustahil Allah mempunyai sifat-sifat yang kekurangan, keyakinan seperti inilah
yang dinamakan tauhid asmaul sifah.
Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa asmaul sifah
adalah beriman terhadap segala apa yang terkandung dalam al-Quran dan hadits
shahih tentang sifat-sifat Allah yang berasal dari penyifatan Allah atas
dzat-Nya.
Beriman kepadasifat-sifat Allah tersebut harus benar dan
tanpa ta`wil (penafsiran), tahrif (penyimpangan), tahkyif (penggambara), dan
ta`wilah seperti yang banyak dipahami oleh oleh manusia. Misalnya tentang
tentang sifat al-istiwa` (besemayam di atas), an-Nuzul (turun), al-yad
(tangan), al-Mafi`` (kedatangan), dan sifat-sifat yang lainnya.
Semua sifat-sifat itu sesuai dengan keterangan ulama salaf, al-istiwa`
misalanya, menurut keteragan thabi`in sebagaimana yang ada dalam Shahih Bukhari
yang berarti `ulum al-irrifa` (tinggi dan berada di atas, sesuai dengan
kebesaran dan keagungan Allah swt). Allah swt berfiirman dalam Q.S. asy-Syuura
ayat 11:
(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis
kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-
pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. tidak ada
sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat.
F.
Tauhidullah
1.
Makna Kalimat Lailahaillallah
Laa Ilaaha Illallah adalah kalimat yang terdiri dari 4 kata, yaitu:
a.
kata laa (لا), kata Laa adalah nafiyah lil jins (Meniadakan
keberadaan semua jenis kata benda yangdatang setelahnya). Misalnya perkataan
orang Arab “Laa rojula fid dari” (Tidak ada
laki-laki dalam rumah) yaitu menafikan (meniadakan) semua jenis laki-laki
didalam rumah. Sehingga laa dalam
kalimat tauhid ini bermakna penafian semua jenis penyembahan dan peribadahan
yang haq dari siapapun juga kecuali kepadaAllah ‘Azza wa Jalla.
b.
Ilah adalah
mashdar (kata dasar) yang bermakna maf’ul
(obyek) sehingga bermakna ma`l uh yang artinya adalah ma’bud (yang diibadahi). Karena aliha maknanya adalah ‘abada sehingga
makna ma’luh adalah ma’bud. Hal inisebagaimana dalam bacaan Ibnu ‘Abbas radhiallahu
‘anhuma terhadap ayat 127 pada surat Al-A’raf yang
berbunyi:
Il ahat aka (ilahatahmu) yaitu
peribadatan kepadamu, karena Fir’aun itu disembahdan tidak menyembah. Hal ini
menunjukkan bahwa Ibnu ‘Abbas memahami bahwakata Ilahah artinya adalah Ibadah.
c.
Illa (kecuali).
Pengecualian di sini adalah mengeluarkan kata yang terletak setelah illa
dari hukum kata yang telah dinafikan oleh laa. Misalnya dalam contoh di atas laa rajula
fid dari illa Muhammad, yaitu Muhammad
(sebagai kata setelah illa) dikeluarkan
(dikecualikan) dari hukum sebelum illa yaitu
peniadaan semua jenislaki-laki di dalam rumah, sehingga maknanya adalah tidak
ada satupun jenis laki-laki di dalam rumah kecuali Muhammad. Jika diterapkan
dalam kalimat tauhid inimakna maknanya adalah bahwa hanya Allah yang
diperkecualikan dari seluruh jenis ilah yang telah dinafikan oleh kata laa sebelumnya.
d.
Lafadz “Allah” asal katanya adalah Al-Ilah dibuang hamzahnya untuk mempermudah
membacanya, lalu lam yang pertama di
idhgam kan (digabungkan) pada
lam yang
kedua maka menjadilah satu lam yang di tasydid dan lam yangkedua diucapkan tebal sebagaimana pendapat
Imam Al-Kisa`i dan Imam Al-Farra` dan juga pendapat Imam As-Sibawaih.
Berkata Syech Abdul Aziz
Rahimullah dalam majmuk fatwa beliau: “sesungguhnya saya melihat tulisan yang
ditulis oleh saudara kita yang dijalan Allah al`Alamah Asyiah Umar bin Ahmad
al-Marib tentang makna لااله الاالله dan
saya perthatikan apa yang beliau jelaskan pendapat 3 kelompok dalam maknanya
dan penjelasannya.
a.
Laa ma`buda bi haqqin illallah, tidak sembahan yang
berhak disembah kecuali Allah swt.
b.
Laa mutha`a bi haqqin illallah, yaitu tidak ada yang
berhak ditaati kecuali Allah swt.
c.
Laa raba illallah, yaitu tiada Tuhan selain Allah swt.
Dan yang benar adalah yang
pertama, sebagaiman yang beliau jelaskan, dan makna inilah yang ditunjukkan
oleh kitab Allah dam beberapa tempat dalam al-Quran, di antaranya dalam Q.S.
al-Fatihah ayat 5 yang artinya “hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya
lepada Engakulah kami meminta pertolongan”.
2.
Ma`rifatullah
Syech Usami Rahimullah menyatakan bahwa ketika seseorang
telah mengenal Allah, maka secra pasti mereka akan mempunyai beberapa sikap
yang akan tampak pada dirinya. Di antara sifat tersebut adalah:
a.
Menerima
syariat yang telah ditetapkan Allah azza wajallah
b.
Tunduk dan
patuh kepada Allah swt
c.
Menjadikan
syriat Islam yang dibawa oleh Rasulullah sebagai penetu hukum.
Mengenal Allah dengan benar akan membuahkan ketaatan
kepada Allah dan kecintaan kepada-Nya. Menurut padangan syariat rab kita adalah
Allah swt. Dialah yang menciptakan kita, yang memberi rizki, yang menghidupkan
dan mematikan. Dialah Allah swt Rabbul `alamin, Dialah Allah azza wajallah,
dzat yang wajib kita sembah, dan tidak boleh mempersekutukan-Nya dengan bentuk
apapun. Dialah yang meurunkan kepada makhlu-Nya semua nikmat, nikmat-nikmat
Allah swt tidak terhitung banyaknya. Dan jika kmu mau menghitung nikat-Nya
niscaya kamu tidak akan sanggup menghitungnya (Q.S. an-Nahl ayat 18).
Adapun manhaj (metode) dalam mengenal Allah swt adalah
sebagi berikut:
a.
Mentadabbur dan
tafakur terhadap kebesaran ciptaan Allah
swt dan kekagungan-Nya
b.
Mengakaji
ayat-ayat al-Quran
Dalam mengenal Allah swt dan beriman kepada-Nya ada 4 hal
yang wajib diperhatikan:
a.
Beriman dengan
adanya Allah swt.
b.
Beriman dengan
rububiyah Allah azza wajallah.
c.
Beriman dengan
ulhiyah-Nya Allah swt.
d.
Beriman dengan
asma` dan sifat-Nya.
3.
Muraqabah
Dari segi bahasa muraqabah bearti pengawasan dan
pantauan. Sedangkan menurut istilah muraqabah adalah suatu keyakinan yang
dimiliki oleh seseorang bahwa Allah swt
senantiasa mengawasinya, melihatnya, mendengarnya, dan mengetahui segala apapun
yang dilakukannya, dalam setiap waktu, setiap saat, setiap nafas, atau setiap
kedipin mata sekalipun.
Syech Ibrahim bin Khawas menyatakan bahwa muraqabah
adalah bersihnya segala amalan baik yang sembunyi-sembunyi maupun
terang-terangan hanya kepada Allah swt.
Macam-macam muraqabah, yaitu:
a.
Muraqabah dalam
ketaatan kepada Allah swt, dan penuh keihklasan menjalankan perintah-Nya.
b.
Muraqabah dalam
kemaksiatan dan mejauhi perbuatan maksiat, bertaubat menyesali
perbuatan-perbuatan dosa yang pernah dilakukannya.
c.
Muraqabah dalam
hal-hal yang bersifat mubah
d.
Muraqabah dalam
musibah yang menimpanya, yaitu ridha dengan ketentuan Allah serta memohon
pertolongan kepada-Nya dengan sabar.
Cara untuk menumbuhkan sifat muraqabah yaitu
sebagai berikut:
a.
Memupuk
keimanan kepada Allah sebaik-baiknya
b.
Melatih diri
untuk menjaga perintah dan menjauhi larangan-Nya
c.
Memperbanyak
amalan sunnah
d.
Merenungi
kehidupan slaf shaleh dalam muraqabah
e.
Bersahabat
dengan orang-orang shaleh yang memilikirasa takut kepada Allah
f.
Memperbanyak
menangis karena Allah, dan meminilisir tertwa terutama karena senda gurau.
Urgensi sifat muraqabah yaitu:
a.
Optimalnya
ibadah yang dilakukan seseorang serta jauhnya ia dari kemaksiatan
b.
Rasa kedekatan
kepada Allah swt
c.
Akan memiliki
pirasat yang benar
d.
Muraqabah merupaka
sunnah/perintah Rasul. Dalam sebuah hadits diriwayatkan “bertaqwalah kepada
Allah di manapun berada, dan ikutilah perbuatan buruk dengan perbuatan yang
baik, guna menghapus perbuatan yang buruk tersebut, serta gauilah manusia
dengan perbuatan yang baik”.
G.
Syahadatain
1.
Pengertian Syahadatain
Kata syahadat secata etimologi yang mempunyai 3
pengertian yaitu:
a.
Iqrar/al-ilmu/pengetahuan/pernyataan
Seseorang saat
memasuki pintu gerbang Islam menyatakan bahwa tidak ada ilah selain Allah dan
Muhammad adalah Rasul Allah. Ini terdapat dalam Q.S. at-Thalaq ayat 2, dan Ali
Imran ayat 18.
b.
Al-wa`du
(janji)
Syahadat
merupakan sebuah perguruan, seseorang yang berjanji selam janji itu belum
terealisasikan maka seharusnya ia merasa berbohong, sebab janji adalah hutang.
Firman Allah dalam Q.S. Muthaffifin ayat ayat 21dan Q.S. Ali Imran ayat 18.
c.
Qasamu (sumpah)
Kalimat
syahadat mempunyai dua kandungan pengertian yaitu syahadah uluhiyah dan
syahadah risalah. Kedua tersebut tidak bisa dipisahkan karena merupakan suatu
kesatu. Ini terdapat dalam Q.S. al-Munafiqun ayat 1 dan Q.S. an-Nisa` ayat 6.
Adapun secara istilah, syahadat merupakan suatu
pernyataan, janji sekaligus sumpah untuk beriman kepada Allah swt dan Rasul-Nya
dengan membenarkan dalam hati (at-Tasdiqu bi qalbi), dinyatakan dengan lisan
(al-qaulu bi lisan), dibutikan dengan perbuatan (al-amalu bi araqan).
2.
Kandungan Kalimat Syahadatain
Kalimat syahadat mempunyai dua kandungan
pengertian yaitu syahadat uluhiyah dan syahdah risalah, di mana kandungan tidak
bisa dipasahkan satu sama lain.
a.
لااله الاالله (syahadah uluhiyah)
Di mana K.H. R.
Hadjid merumuskan pernyataan لااله الاالله empat sikap sebagai
konsekuensi, yaitu:
1)
Tidak ada Tuhan
selain Allah yang berkah dicintai kecuali hanya cinta kepada Allah semata (la
hubban illallah)
2)
Tidak ada Tuhan
selain Allah yang berhak ditakuti kecuali hanya takut kepada Allah semata (la
Khasyatan illallah)
3)
Tiada Tuhan
selain Allah yang berhak dita`ati kecuali Allah semata (la taatan illallah)
4)
Tiada Tuhan
selain Allah yang berhak diagungkan dan disembah kecuali hanya menyembah dan
mengabdikan diri kepada Allah semata (la iiabdatan illallah)
Dan berikut
penjelasan dari la hubban illallah, la khasyatan illallah, la ta`athan
illallah, dan la ibadatan illallah, yaitu:
1)
La Hubban
illallah
Dalam diri
manusia terdapat fitrah mencintai berbagai macam kecintaan, seperti mencitai
suami/istri, anak, orangtua, harta benda, dan lain sebagainya. Kecintaan
terhadap hal seperti itu termasuk kecintaan dalam kategori
mata-al-hayataddu-nya, yaitu kecintaan hidup keduniaan. Al-Quran menyatakan
sebagai mata-ul-ghurur (kebahagiaan yang menipu) di mana ketenangan ini tidak
dapat mendatangkan kekuasaan yang hakiki, sebagai mana dijelaskan dalam Q.S.
al-Hadid ayat 20:
Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya
kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan
bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta
dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan Para petani; kemudian
tanaman itu menjadi kering dan kamu Lihat warnanya kuning kemudian menjadi
hancur. dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta
keridhaan-Nya. dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang
menipu.
Keterangan yang
bersifat duniawi ini tidak akan kekal sifatnya kecintaan yang bersifat duniawi
seharusnya diletakkan jauh di bawah kecintaan terhadap Allah swt dan Rasul-Nya.
2)
La khasyatan
illallah
Menetapkan
bahwa tidak ada Tuhan yang wajib ditakuti kecuali takut kepada Allah swt
semata (Q.S. at-Taubah ayat 13). Makna
takut kepada Allah di sini bukanlah takut dalam arti bukanlah takut kepada
Allah yang dimaknai sebagai sosok pribadi mengerikan, menyeramkan, ataupun
menakutkkan. Tapi makna takut di sini ialah takut terhadap murka Allah,
azab-Nya, yang meluluhlantakkan dirinya, takut terhadap api neraka-Nya yang
sangat dahsyat dan mengerikan.
3)
La tha`atan
illallah
Tidak ada Tuhan
selain Allah yang berhak ditaati kecuali taat kepada Allah semata, sikap ini
merupakan akibat dari pernyataan la khasyatan illallah. Denga sikap selalu
mempertanyakan apakah yang ia perbuat akan mengakibatkan dirinya akan dilaknat
oleh Allah atau memperoleh rahmat dan nikmat dari Allah. Dengan pertimbangan
yang demikian maka seorang mukmin menyadari akan tanggung jawabnya menyatakan لااله الاالله. Dengan
ikrar لااله الاالله dengan sepenuh hati oleh seorang mukmin, maka mereka berusaha
untuk bersikap loyal serta mentaati Allah. (Q.S. an-Nur ayat 51) dan (Q.S.
an-Nisa` ayat 59 dan 65).
4)
La ibadatan
illallah
Puncak dari
sebuah pernyataan لااله الاالله ialah menafikan segala sesuatu
apapun wujudnya untuk diagung-agungkan, disembah, dan dihormati (sujud).
Penyembahan dan pengagungan hanya diperuntukkan kepada Allah semata, sebai
satu-satunya dzat yang berhak untuk disembah bagi orang mukmin.
Sikap yang
keempat ini merupakan perwujudan dari berpadunya antara siakp cinta, takut,
serta sikap ketaatan kepatuhan yang tak terhingga kepada Allah dan tidak sikap
lain kecuali menyerahkan seluruh hidupnya untuk menjaadi hamba yang setia (Q.S.
Thaha ayat 14).
b.
Makna
syahadatain
Dua kalimat
syahadat/syahadatain merupakan kalimat yang uatama dan pertama yang harus
diucapkan dan diapahami jika seorang masuk Islam dan bagi seluruh umat Islam
pada umumnya. syahadatain mengandung dua pengertian yang sangat mendasar yaitu
tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah.
Bagi yang
mengucapkan kalimat syahadat ada 3 syaratdiperlukan agar syahadatnya diterima
Allah, yaitu:
1)
Mengetahui
maknanya dengan benar.
2)
Memahami dengan
hati yang sungguh-sungguh.
3)
Ikhlas, yakni
mengerti apa yang dipersaksikan dengan benar.
Dua kalimat
syahadat merupakan satu kesatuan yang tidak boleh dipisahkan. Dengan artian
jika seseorang bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad ustusan Allah
adalah pembawa risalah yang harus di ikuti.
c.
Makna kalimat
la ilahillallah (لااله الاالله)
Mengandung
beberapa pengertian yaitu la khaliqa illallah (tiada pencipta kecuali Allah),
la razikqa illallah (tiada pemberi rizki kecuali Allah), la hikamah ilallah
(tiada pembuat hukum kecuali Allah), la wahiiya ilallah (tiada pelindung
kecuali Allah), la ghayata ilallah (tiada tujuan kecuali Allah), la ma`buda ilallah
(tiada yang patut diembah kecauali Allah).
Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan Allah
swt sesuatu yang mendominasi dan menguasi diri kita. Maka لااله الاالله dapat diartikan sebagai tiada
segala sesuatu yang mengusai diri kita, kecuali kekuasaan Allah semata.
d.
Makna
Muhammadarasulullah (Ù…Øمدرسول الله)
Persaksian
terhadap kerasulan Nabi Muhammad saw dijadikan salah satu dari dari dua kalimat
syahadat yang merupakan pintu gerbang untuk memasuki dunia Islam. Di mana Rasulullah
merupakan contoh keteladanan yang utama bagi setiap muslim. Allah swt berfirman
dalam Q.S. al-Ahzab ayat 21:
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri
teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.
3.
Dampak Persaksian Syahadatain
Makna syahadatain jika dipahami dengan benar maka akan
mendatangkan dampak yang positif bagi setiap pribadi muslim. Sedangkan pribadi
muslim akan selalu menyertakan Allah dan Rasul-Nya di sesuatu yang terjadi,
hanya kepada kekusaan Allah semata, sehingga akan tercipta seorang pribadi muslim
yang kuat lahir dan bathin.
4.
Urgensi Syahadatain bagi orang Muslim
a.
Pintu masuk ke
dalam Islam
Syahadat
merupakan pintu pembuka bagi keislaman seseorang dan juga janji yang telah
diikat oleh Allah swt semenjak manusia di alam ruh sebelumnya dilahirkan ke
dunia. Firman dalam Q.S. al-A`raf ayat 172:
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan
anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa
mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka
menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi". (kami
lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan:
"Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini
(keesaan Tuhan)",
b.
Intisari ajaran
Islam
Syahadat
merupakan inti ajaran Islam, karena dalam syahadat diungkapkan tentang
kesaksian kepada Allah dan kesaksian kepada Rasul (Nabi Muhammad saw), yang
makna konsekuensinya ialah segala apa yang diwahyukan Allah harus ditaati dan
segala ajaran dan sunnahnya harus diikuti tanpa pilihan lain. Yaitu terdapat
dalam Q.S. al-Anbiya` ayat 25:
Dan Kami tidak mengutus seorang Rasulpun sebelum kamu
melainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak)
melainkan Aku, Maka sembahlah olehmu sekalian akan aku".
c.
Hakikat dakwah
para Rasul
Terdapat dalam Q.S. an-Nahl ayat 36:
Dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap
umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut
itu", Maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh
Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya.
Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan
orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).
d.
Konsep dasar
reformasi total
Sebagaiman firman Allah dalam Q.S. al-An`am
ayat 122:
Dan Apakah orang yang sudah mati kemudian Dia Kami
hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu
Dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang
yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar
dari padanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa
yang telah mereka kerjakan.
H.
Kolerasi Antara Ilmu, Filsafat dan Tasawuf
1.
Ilmu Kalam dan Filsafat Islam
Ilmu kalam dasarnya adalah keagamaan yang berbeda
metodenya dan objeknya dari filsafat islam. Filsafat metodenya intelektual,
maka nash agama dijadikan bukti untuk membenarkan Rasio. Sedangkan ilmu kalam
digunakan metode argumentasi, maka filsafat di jadikan alat untuk membenarkan
nash agama.
Objek filsafat adalah Allah dengan Alam dan manusia
sedangkan objek ilmu kalam adalah Allah dan sifat-sifat-Nya serta hubungan
Allah dengan alam dan manusia yang hidup di bumi, sesuai dengan Syari’at yang
diturunkan Allah kepada hamba-Nya dalam kitab suci.
Filsafat mengarungi medan pemikiran tanpa terika pada
pendapat yang ada. Sedangkan ilmu kalam mengambil dalil aqidah yang tertera
dalam nash agama yang tidak mungkin diragukan lagi.
Filsafat adalah istilah, yaitu bahasa Yunani yang masuk
kedunia islam. Jadi, filsafat islam produksi dari luar islam sedangkan ilmu
kalam adalah ilmu islam sendiri yang lahir dari diskusi-diskusi sekitar
Al-Qu’an apakah Hadits atau Qadim.
Permulaan lahir filsafat islam pada akhir abad ke-2 dan
awal abad ke-3 Hijriyah. Begitu juga dengan ilmu kalam, namun kedua di kenal
dengan sebutan yang berbeda yakni para Filosof dan para Mutakallimin.
2.
Ilmu Kalam danTasawuf
Tasawuf berasal dari kata shuf, yakni sejenis wol kasar yang
terbuat dari bulu yang di pakai oleh orang-orang yang hidup sederhana dan dalam
keadaan miskin, tetapi berhati suci dan mulia. Tasawuf merupakan suatu
pengetahuan mempelajari cara dan jalan bagaimana seorang islam berada sedekat
mungkin dengan Allah SWT.
Sedangkan jika dilihat hubungannya dengan ilmu kalam maka
dirumuskan bahwa ilmu kalam dan tasawuf adalah sama-sama bidang ilmu keislaman
yang mengkaji tentang manusia dan hubungan dengan Tuhan sebagai pencipta. Namun
metode yang digunakan dalam Tasawuf adalah metode intuisi (dzauqiyah) atau
kasyfi.
3.
Persamaan dan Perbedaan Ilmu Kalam
dengan Filsafat
a.
Persamaan Ilmu
Kalam dan Filsafat
Persamaannya
yaitu terletak pada objek kajiannya, dimana keduanya sama-sama mengkaji Allah,
Alam dan Manusia.
b.
Perbedaannya
1)
Ilmu kalam
menggunakan metode Argumentasi, sedangkan filsafat menggunakan metode
intelektual.
2)
Ilmu kalam
terikat dengan dogma atau nash, sedangkan filsafat tidak terikat oleh apapun.
4.
Persamaan dan Perbedaan Ilmu Kalam
dengan Tasawuf
Persamaanya yaitu sama-sama bertujuan untuk mengenal
Allah. Sedangkan perbedaannya terletak pada metode dan fungsinya, dimana metode
yang digunakan oleh ilmu kalam adalah metode Argumentasi, dan tasawuf
menggunakan metode intuisi, atau pengalaman batin. Sedangkan fungsi dari ilmu
kalam adalah memperthankan aqidah secara khusus, keyakinan agama secra umum.
Dan tasawuf fungsinya adalah pemberi kesadaran rohaniah.
I.
Latar Belakang Munculnya Aliran Teologi dalam Islam
Secara historis
tidak dapat dipungkiri bahwa sebetulnya semenjak kematian Rasulullah telah ada
bibit-bibit yang akan jadi perpecahan umat dibelakangnya. Mulai dari pertikaian
dari golongan Anshar dan Muhajirin tentang siapa yang berhak menjadi Khalifah
pertamah menggantikan Nabi.
Melihat kepada
bentuk ataupun materi yang jadi penyebab perpecahan dan perbedaan pendapat itu
dimulai dari soal imamah (pemerintahan) yaitu soal pengganti Nabi sebagai
khalifah dan pergantian khalifah ke khalifah selanjutnya. Dengan kata lain
perpecahan itu dimulai dari perpecahan bidang politik bermuara kelapangan
theologi dengan lahirnya bermacam aliran dalam Islam.
Permasalahan
ini mulai tampak kepermukaan pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib, yang
berawal dari terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan. Kerusuhan ini mencapai
klimaks dengan meletusnya perang jamal (35 H /656 M), antara pasukan Ali dengan
pasukan Aisyah yang dibantu oleh Zubair dan Talhah yang disusul dengan perang
Siffin (36 H/ 657 M) antara pihak Ali dan Muawiyah yang berujung kepada Tahkim
(Arbitrase).
Dalam arbitrase
ini diangkat dua orang sebagai arbitrer yaitu Amr bin ash (dari pihak Muawiyah)
dan Abu Musa Al asy’ari (dari pihak Ali). Diantara keduanya ada kemufakatan
untuk menjatuhkan kedua pemuka itu, Ali dan Muawiyah. Abu Musa
mengumumkn tentang penjatuhan kedua orang yg saling bertentangan tersebut.
Namun Amr bin ash hanya menyetujui penjatuhan Ali dan menolak penjatuhan
Muawiyah.
Maka dari
peristiwa itu lahirlah aliran Khawarij yang tidak setuju dengan peristiwan
tahkim itu dan tidak setuju dengan pemerintahan Utsman, Ali dan Muawiyah serta
mencap mereka kafir karena telah bermain-main dengan hukum Allah akibat
peristiwa tahkim. Dan golongan kedua yaitu golongan Syi’ah yang cinta serta
tetap setia kepada Ali dan anti kepada Muawiyah.
Dari kedua
golongan di atas muncullah berbagai macam hukum terhadap tingkah laku perbuatan
manusia, misalnya bagaimana hukumnya orang yang mengerjakan dosa besar apakah
dia masih mukmin atau telah menjadi kafir. Sehingga pertentangan pendapat yang
semula berpangkal dari masalah politik kemudian merembes kepada masalah aqidah
dengan munculnya berbagai aliran Theologi Islam.
J.
Aliran Khawarij
1.
Latar Belakang Lahirnya Aliran Khawarij
Munculnya aliran ini bermulai
pada peperangan antara pasukan Ali bin Abi Thalib dengan pasukan Mu`awiyah bin
Abi Sufyan yang disebut dengan perang Shiffin. sewaktu menerima arbitrse
(tahkim) sebagian pasukan Ali bin Abi Thalib merasa kecewa dan sekaligus
menentang peritiwa itu dan spontan keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib.
Namun ada juga pendapat yang
mengatakan bahwa pemberi nama itu didasarkan atas Q.S. an-Nisa` ayat 100 yang
didalamnya disebut "keluar dari rumah lari kepada Allah dan
Rasul-Nya dengan demikian kaum Khawarij memandang diri mereka sebagai orang
yang meninggalkan rumah dan kampung halaman mengabdikan diri kepada Allah swt
dan Rasul-Nya".
Golongan ini dinamakn syurah (penjual), yakni golongan
yang telah menjual dirinya untuk Tuhan semata-mata yang diambil dari Q.S.
al-baqarah ayat 207 yang artinya "dan di antara manusia ada yang menjual
dirinya karena mencari ridha Allah".
Selanjutnya mereka juga dinamakan "haruriyah"
karena pergi berlindung kesuatu kota kecil dekat Kuffah yang bernama Harura
sebagaimana mereka dinamakan "Muhakkimah" karena mereka selalu
menggunakan semboyan "La Hukma Ilallah".
Jadi, dapa diambil kesimpulan bahwa Khawarij artinya
orang-orang yang pergi keluar atau memisahkan diri khususnya orang-orang yang
memisahkan diri dari golongan Ali bin Abi Thalib.
2.
Ajaran Pokok Khawarij
a.
Segi politik
Doktrin politik
Khawarij adalah bahwa kaum muslimin harus dipimpin oleh seorang pemimpin yang
berkualitas baik, siapa yang berambisi tetapi tidak berkualitas baik, mereka
dicap sebagai orang yang berbuat jahat dan berdosa. Kriteria ini dipahami dalam
mengukur baik buruknya kualitas pribadi ialah kadar ketaqwaannya.
Selain itu ada
juga yang menyatakan bahwa sikap poltik Khawarij adalah khalifah harus dengan
jalan pilihan bebas diambil dari segenap umat Islam dan kalau sudah terpilih
tidak boleh menarik diri, khalifah tidak harus dari suku Quraisy, tetapi boleh
dari suku lainnya sekalipun dari budak habsyi.
b.
Segi aqidah
Dalam lapangan
aqidah mereka memakai istilah "kafir" dan "iman". Mereka
mencap kafir Ali dan orang-orang yang menerima tahkim dalam perang Shiffin
termasuk Mu`awiyah, Amru bin Ash termasuk Abu Musa al-Asy`ari, karena mereka
telah menyeleweng dari ajaran Islam. Selanjutnya hukum kafir ini mereka
luaskan, artinya sehingga termasuk orang-orang yang berbuat dosa besar, seperti
berzina, pembunuhan, dan lain sebagainya.
Sedangkan
mengenai iman, menurut mereka segala yang diperintahkan agama, seperti shalat,
puasa, sadaqah, berlaku adil adalah bagian dari iman. Iman bagi mereka bukanlah
kepercayaan saja.
Selain itu
Khawarij juga mempunyai konsep bahwa Islam dan Iman adalah satu kesatuan yang
tidak terpisahkan. Seseorang yang menyimpang dari iman dengan sendirinya akan
keluar dari Islam atau kafir.
3.
Sekte-Sekte Aliran Khawarij
Sekte-sekte aliaran dari Khawarij ini adalah sebagai
berikut:
a.
Al-Muhakimah
Ini merupakan
golongan Khawarij yang asli dan terdiri
dari pengikut-pengikut Ali. Bagi mereka, Ali bin Abi Thalib, Abu Musa
al-`Asyari, Mu`awiyah bin Abi Sufyan, Amru bin Ash dan semua orang yang
menyetujui arbitrase (tahkim) bersalah dan menjadi kafir. Semua yang melakukan
dosa besar adalah kafir.
b.
Al-Azariqah
Pemimpin mereka
adalah Nafi ibn al-Azraq. Sekte ini lebih radikal dan al-Muhakimah, ajarannya
yaitu:
1)
Semua umat
Islam yang tidak sepaham dengan mereka dipandang musyrik, bahkan al-Zariqah
yang tidak mau berhijjah ke lingkungan mereka dianggap musyrik.
2)
Orang yang
mengaku pengikut al-Zariqah tidaklah diterima begitu saja, tetapi diuji
terlebih dahulu dengan menyerahkan tawanan. Jika twanan tersebut tidak dibunuh
maka kepalanya sendiri yang dipenggal.
3)
Menurut sekte
ini, hanyalah al-Zariqah sajalah orang Islam, selain itu adalah musyrikb dan
wajib untuk diperangi.
c.
Al-Najdah
Pemimpin sekte
al-Najdah ini adalah Najdah ibn Amir al-Hanafi
dari Yamamah, dengan pengikut-pengikutnya pada awal adalah golongan al-Zariqah,
tetapi tidak sesuai dengan paham halal dibunuh anak istri yang tidak sepaham
dengan mereka. Ajarannya alalah:
1)
Orang Islam
yang tidak sepaham denga mereka adalah kafir dan kekal di dalam nereka,
sedangkan kalau pengikutnya melakukan dosa besar akan mendapat siksaan tetapi
bukan di dalam neraka, kemudian baru masuk ke dalam syurga.
2)
Yang diwajibkan
bagi setiap muslim adalah mengkuti Allah dan Rasul-Nya dan percaya kepada
seluruh yang diwahyukan oleh Allah kepada Rasul-Nya.
3)
Pada hakikatnya
manusia tidak berhajat pada iman untuk memimpin mereka.
4)
Paham taqiyah,
yaitu merahasiakan keyakinan untuk keamanan diri seseorang bukan hanya dalam
bentuk ucapan, tetapi juga dengan perbuatan.
d.
Al-Ajaridah
Pemimpinnya
adalah Abd al-Karim ibn Ajrad. Yang ajaran-ajarannya adalah:
1)
Pengikutnya
boleh tinggal di luar kekuasaannya dan tidak dia anggap kafir.
2)
Harta yang
boleh dijadikan rampasan perang hanyalah harta orang yang mati terbunuh.
3)
Mereka
menganggap surat Yusuf bukan bagian dari al-Quran, karena kitan suci tidak
mungkin menceritakan tentang cinta.
e.
Al-Sufriah
Pemimpin sekte
ini adalah Ziad ibn al-Asfar. Dan ajarannya adalah sebagai berikut:
1)
Orang surfiah
tidak berhijrah ridak dipandang kafir
2)
Mereka tidak
berpendapat bahwa anak-anak musyrik boleh dibunuh
3)
Dosa terbagi
atas dua. Pertama dosa yang sangsinya di dunia seperti membunuh. Kedua, dosa
yang tidak ada sangsinya di dunia seperti meninggalkan shalat, yang kafir
hanyalah golongan yang kedua.
4)
Daerrah yang
tidak sepaham dengan mereka bukan dar harb, yaitu daerah yang harus diperangi,
yang diperangi hanya maskar pemerintahan.
5)
Kufur terbagi
dua, ingkar dengan nikmat Allah dan mengingkari Tuhan. Kafir tidak selamanya
keluar dari agama Islam.
f.
Al-Ibadah
Golongan ini
merupakan golongan yang paling moderat. Pemipinnya adalah Abdullah Ibnu Ibad.
Adapun ajaranya adalah :
1)
Orang Islam
yang tidak sepaham dengan mereka adalah kafir, tetapi boleh nikah dan mewarisi.
2)
Daerah yang
bukan sepaham dengan mereka kecuali champ pemerintahan merupakan dari tauhid.
3)
Orang yang melakukan
dosa besar itu muwahid (mengesakan Tuhan) dan kalaupun kafir hanyalah kafir
al-ni`mah
4)
Yang boleh
dirampas hanya kuda dan senjata, emas dan perak harus dikembalikan.
K.
Aliran Murji`ah
1.
Latar Belakang Lahirnya Aliran Murji`ah
Seperti telah dijelaskan, kaum Khawarij pada mulanya
adalah pengikut Ali bin Abi Thalib, tetapi kemudian beralih memusuhinya.
Sedangkan dipihak lain ada golongan yang mati-matian menyokong Ali bin Abi
Thalib yaitu golongan Syi`ah. Khawarij dan Syi`ah sama-sama memusuhi Bani Umayyah.
Khwarij menentang Dinasti Umayyah karena memandang mereka menyeleweng dari
ajaran Islam, sedangkan Syi`ah menentang Dinasti Umayyah karena menganggap
telah merampas kekusaan Ali bin Abi Thalib.
Ditengah pertentang seperti ini lahirnya aliran Murji`ah
yang mereka dalam pertentangan itu tidak memihak kepada siapa-siapa. Bagi mereka, sahabat-sahabat yang bertikai
merupakan orang-orang yang dipercayai dan tidak keluar dari Islam. Oleh karena
itu mereka tidak mengeluarkan fatwa tentang siapa yang sebenarnya salah, serta
berfikiran lebih baik menunda (arjaa) penyelesaian persoalan ini kehari
perhitungan dihadapan Tuhan.
Versi lain, arjaa yang dari sini asalnyya Murji`ah juga
bermakna memberi pengharapan. Mereka berpendapat bahwa agama Islam yang
melakukan dosa besar bukanlah kafir tetapi tetap mukmin dan tidak kekal di
dalam neraka. Mereka memberi pengaharapan bagi orang yang melakukan dosa besar
untuk mendapat rahmat Allah. Ada juga yang berpendapat bahwa orang-orang yang
sudah mukmin yang berbuat dosa besar hingga matinya juga tidak bertaubat belum
dapat dihukum sekarang, terserah atau ditunda atau dikembalikan saja urusannya
kepada Allah di hari kiamat.
Muhammad Abu Zahra menjelaskan sekilas lahirnya aliran
Murji`ah, bahwa aliran ini lahir atau muncul dalam situasi hangatnya
pembicaraan tentang bagaiman hukumnya orang yang melakukan dosa besar, apakah
kafir atau tetap beriman (mukmin). Khawarij telahh memvonis kafir, Mu`tazilah
berpendapat bukan lagi mukmin dan tidak pula kafir, akan tetapi masih Islam,
thabi`in mengatakan munafik, jumhur muslimin menamai dengan mukmin al-naqis (orang mukmin yang
berdosa) yang urusannya ditangan Allah swt.
Di tengah pertentangan inilah lahirnya Murji`ah dengan
bependapat bahwa orang yang berdosa besar itu masik mukmin, karena dosa tidak
merusak iman, sebagaimana kekafiran tidak tidak ada artinya terhadap ketaantan.
Sedangkan urusan dosa ditunda vonisnya ke hadapan Allah swt dihari kiamat
kelak.
2.
Ajaran Aliran Murji`ah
a.
Tetang sistem
Pemeritahan
Aliran Murji`ah menganut sistem pemerintahan dan praktik
bebas, di mana menurut mereka siapapun yang memerintah (khalifah) semua dapat
dipercaya dan benar. Di sini dapat dilihat bahwa aliran ini di antara golongan
politik yang tidak mau mengotori tangan mereka dengan fitnah dan mengalirkan
darah golongan lain.
b.
Tentang Iman
Masalah iman, orang Murji`ah beranggapan bahwa dengan
mengenal Allah dan utusan-utusan-Nya, dan siapa yang mengaku bahwa tiada Tuhan
selain Allahdan Muhammad utusan-Nya, orang tersebut bisa dikatakan beriman
(mukmin). Dan mengatakan bahwa iman itu hanyalah diittiqadkan dalam hati, tanpa
diucapkan dengan lisan apalagi dilakukan dengan perbuatan. Iman itu adalah
kepercayaan-kepercayaan dalam hati saja, iman tidak memiliki sifat yang dapat
bertambah dan berkurang.
c.
Tentang dosa besar
Masalah dosa besar, mereka berpendapat bahwa orang mukmin
yang melakukan dosa besar mereka tetap mukmin dan mereka tidak menghukum kafir
meskipun seseorang telah melakukan dosa besar.
3.
Golongan Aliran Murji`ah
a.
Golongan
Moderat
Golongan ini berpendapat
bahwa orang yang melakukan dosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam
neraka, tetapi dihukum dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang
dilakukannya dan ada kemungkinan bahwa
Tuhan akan mengampuni dosanya. Tokoh golongan ini adalah Abu Hanifah, Abu
Yusuf, dan kebanyakan dari golongan ahli hadits.
b.
Golongan
Ekstrem
Mereka
berpendapat bahwa orang Islam yang percaya pada Tuhan dan kemudian menyatakan
kekufurannya secara lisan, tidaklah menjadi orang kafir, karena iman dan kufur
letaknya di dalam hati. Jadi, walaupun seseorang menyembah berbahala,
menjalankan agama Kristen, tetaplah mukmin yang sempurna imannya.
4.
Sekte-Sekte Aliran Murji`ah
Adapun sekte-sekte aliran Murji`ah adalah sebagai
berikut:
a.
As-Salihiah
Sekte ini
merupakan pengikut dari Abu Hasan al-Salihi. Mereka berpendapat bahwa iman
adalah mengetahui Tuhan dan kufur adalah tidak tahu Tuhan. Mereka juga
berpendapat bahwa shalat, zakat, puasa, haji, menggambarkan kepatuhan, tidak
merupakan ibadah kepada Allah, yang disebut ibadah hanyalah iman.
b.
Al-Yunusiah
Sekte ini
adalah pengikut dari Yunus bin Amr an-Namimi. Mereka berpendapat bahwa iman
mengetahui Allah, tunduk kepada-Nya. Orang yang mempunyai sifat tersebut
menjadi mukmin yang sempurna. Adapun ibadah tidak termasuk kepada iman dan
mereka tidak tersiksa di akhirat bila tidak sempurna imannya. Dan pendapat
mereka yang lain mengatakan bahwa iiman adalah keyakinan dalam hati dan amal
terpisah dari iman.
c.
Al-Ubaidah
Yaitu merupakan
pengikut dari Baid al-Makta. Sekte ini berpendapat dosa selain syirik akan
diampuni oleh Allah. Perbuatan jahat, banyak maupun sedikit akan merusak
keimanan.
d.
Al-Khassanah
Sekte ini
merupakan pengikut dari Gassan di Kopa. Mereka berpendapat bahwa Iman
mengetahui Allah, Rasul-Nya dan mengikrarkan segala yang disuruh Allah dan yang
dibawa oleh Rasul Allah. Iman tidak bertambah dan berkurang. Contoh, aku tau
bahwa babi ini diharamkan, tetapi aku tidak tahu apakah yang diharamkan itu
kambing.
e.
Al-Saubaniah
Sekte ini
adalah pengikut dari Abi Sauban, mereka berpendapat bahwa iman mengetahui,
mengikrarkan Allah, dan Rasul-Nya. Sekte ini lebih mementingkan iman daripada
amal.
f.
At-Tamiah
Sekte ini
merupakan pengikut dari Abu Muaz at-Tamimi, sekte ini berpendapat bahwa iman
memilihara dari sesuatu yang membawa kepada kekafiran dan orang yang melakukan
dosa besar disebut fasiq tau durhaka.
L.
Aliran Mu`tazilah
1.
Latar Belakang Lahirnya Aliran Mu`tazilah
Aliran ini muncul di Bashrah pada abad ke 8 M (abad ke-2 H), berawal
dari sikap Washil bin Atha’ (700-750 M / 80-131 H) memisahkan diri dari majlis
ta’lim gurunya, Hasan al Bashri di sebuah masjid Raya Bashrah. Hal ini
disebabkan karena Washil bin Atha’ mempunyai pendapat berbeda dengan gurunya,
yang berkaitan dengan masalah orang mukmin yang melakukan dosa besar.
Menurut Washil bin Atha’, mukmin yang melakukan dosa
besar jika tidak bertaubat, statusnya tidak mukmin lagi, (sedang menurut
gurunya : statusnya mukmin), tetapi jatuh kepada fasik, namun tidak jatuh
kepada status kafir (yang menurut Khawarij : statusnya kafir). Fasik menurut Washil bin Atha’, adalah : al Manzilah bain al manzilatain
(suatu posisi/status diantara dua posisi). Fasik berada dibawah mukmin tapi
diatas kafir. Setelah memisahkan diri, Washil bin Atha’ membentuk halaqoh
sendiri di masjid yang sama. Jama’ah yang dipimpin oleh Washil bin Atha’ itulah
yang mendapat nama Mu’tazilah.
Menurut Ahmad Amin, sebutan Mu’tazilah sudah ada sebelum
masa Hasan al Bashri, kurang lebih 100 tahun. Penyebutan Mu’tazilah untuk
Washil bin Atha’, ‘Amr bin Ubaid dan kawan-kawannya hanya menghidupkan kembali
sebutan lama.
Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari I’tazala yang
berarti berisah atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan
diri. Secara etimologis, kata Mu’tazilah berarti golongan yang mengasingkan
atau memisahkan diri. Secara teknis, istilah Mu’tazilah menunjuk pada dua
golongan.
Golongan pertama, (disebut
Mu’tazilah I) muncul sebagai respon politik murni. Golongan ini tumbuh sebagai
kaum netral politik, khususnya dalam arti bersikap lunak dalam menangani
pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan lawan-lawannya, terutama Muawiyah,
Aisyah, dan Abdullah bin Zubair. Menurut penulis, golongan inilah yang
mula-mula disebut kaum Mu’tazilah karena mereka menjauhkan diri dari pertikaian
masalah khilafah. Kelompok ini bersifat netral politik tanpa stigma teologis
seperti yang ada pada kaum Mu’tazilah yang tumbuh dikemudian hari.
Golongan kedua, (disebut Mu’tazilah
II) muncul sebagai respon persoalan teologis yang berkembang di kalangan
Khawarij dan Mur’jiah akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul
karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Mur’jiah tentang
pemberian status kafir kepada yang berbuat dosa besar.
2.
Asal-Usul Sebutan Mu‘tazilah
Beberapa versi tentang
pemberian nama Mu’tazilah kepada golongan kedua ini berpusat pada peristiwa
yang terjadi antara Washil bin Atha’ serta temannya, Amr bin Ubaid, dan Hasan
Al-Bashri di Bashrah. Ketika Washil mengikuti pelajaran yang diberikan oleh
Hasan Al Bashri di masjid Bashrah., datanglah seseorang yang bertanya mengenai
pendapat Hasan Al Bashri tentang orang yang berdosa besar. Ketika Hasan Al
Bashri masih berpikir, Washil mengemukakan pendapatnya dengan mengatakan "Saya
berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula
kafir, tetapi berada pada posisi diantara keduanya, tidak mukmin dan tidak
kafir".
Kemudian Washil menjauhkan
diri dari Hasan Al Bashri dan pergi ke tempat lain di lingkungan masjid. Di
sana Washil mengulangi pendapatnya di hadapan para pengikutnya. Dengan adanya
peristiwa ini, Hasan Al Bashri berkata: “Washil menjauhkan diri dari kita
(i’tazaala anna).” Menurut Asy-Syahrastani, kelompok yang memisahkan diri dari
peristiwa inilah yang disebut kaum Mu’tazilah.
Versi lain dikemukakan
oleh Al-Baghdadi. Ia mengatakan bahwa Washil dan temannya, Amr bin Ubaid bin
Bab, diusir oleh Hasan Al Bashri dari majelisnya karena adanya pertikaian
diantara mereka tentang masalah qadar dan orang yang berdosa besar. Keduanya
menjauhkan diri dari Hasan Al Basri dan berpendapat bahwa orang yang berdosa
besar itu tidak mukmin dan tidak pula kafir. Oleh karena itu golongan ini
dinamakan Mu’tazilah.
Versi lain dikemukakan
Tasy Kubra Zadah yang menyatakan bahwa Qatadah bin Da’mah pada suatu hari masuk
masjid Bashrah dan bergabung dengan majelis Amr bin Ubaid yang disangkanya
adalah majelis Hasan Al Bashri. Setelah mengetahuinya bahwa majelis tersebut
bukan majelis Hasan Al Bashri, ia berdiri dan meninggalkan tempat sambil
berkata, “ini kaum Mu’tazilah.” Sejak itulah kaum tersebut dinamakan
Mu’tazilah.
Al-Mas’udi memberikan
keterangan tentang asal-usul kemunculan Mu’tazilah tanpa menyangkut-pautkan
dengan peristiwa antara Washil dan Hasan Al Bashri. Mereka diberi nama
Mu’tazilah, katanya, karena berpendapat bahwa orang yang berdosa bukanlah
mukmin dan bukan pula kafir, tetapi menduduki tempat diantara kafir dan mukmin
(al-manzilah bain al-manzilatain). Dalam artian mereka memberi status orang
yang berbuat dosa besar itu jauh dari golongan mukmin dan kafir.
3.
Ajaran Mu`tazilah
Aliran Mu’tazilah berdiri atas lima prinsip utama atau disebut juga dengan al-Ushul al-Khamsah yaitu :
a.
Keesaan (at-Tauhid)
At-Tauhid merupakan prinsip utama dan intisari ajaran mu’tazilah.
Tauhid memiliki arti yang spesifik. Tuhan harus disucikan dari segala sesuatu
yang menyamai-Nya. Untuk memurnikan keesaan Tuhan, mu’tazilah menolak konsep
Tuhan memiliki sifat-sifat, penggambaran fisik Tuhan, dan Tuhan dapat dilihat
dengan mata kepala. Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan itu Esa, tak ada satu
pun yang menyerupai-Nya.
b.
Keadilan Tuhan
(Al-Adlu)
Ajaran ini bertujuan ingin menempatkan Tuhan benar-benar adil
menurut sudut pandang manusia, karena alam semesta ini sesungguhnya diciptakan
untuk kepentingan manusia.
c.
Janji dan
ancaman (al-Wa’du wal Wa’idu)
Ajaran ini tidak memberi peluang kepada Tuhan selain menunaikan
janji-Nya, yaitu memberi pahala orang yang taat dan menyiksa orang yang berbuat
maksiat, kecuali orang yang sudah bertaubat nasuha. Ajaran ini tampaknya
bertujuan mendorong manusia untuk berbuat baik dan tidak melakukan perbuatan
dosa.
d.
Tempat di antara dua tempat (Al
manzilatu bainal manzilatain)
Karena prinsip ini Washil bin ‘Atha memisahkan
diri dari majlis Hasan Basri, seperti yang disebutkan di atas. Menurut
pendapatnya, seorang muslim yang mengerjakan dosa besar selain syirik, bukan
lagi menjadi orang mu’min, tetapi tidak menjadi kafir, melainkan menjadi orang
fasik. Jadi, kefasikan merupakan tempat tersendiri antara “kufur” dan
“iman”.
e.
Menyuruh
kebaikan dan melarang keburukan (‘amar
ma’ruf nahi munkar)
Ajaran ini menekankan keberpihakan pada kebenaran dan kebaikan. Ini merupakan konsekuensi logis dari keimanan seseorang. Pengakuan keimanan
harus dibuktikan dengan perbuatan baik, diantaranya dengan menyuruh orang
berbuat baik dan mencegahnya dari kejahatan.
4.
Tokoh-Tokoh Aliran Mu`tazilah
a.
Tokoh- tokoh aliran Bashrah antara lain:
1) Washil bin ‘Atha’
( 80-131 H/ 699-748 M)
Terkenal
sebagai pendiri aliran mu’tazilah dan kepalanya yang pertama. Ia pula yang
terkenal sebagai orang yang meletakkan lima prinsip dasar.
2) Al-‘Allaf (
135-226 H/ 752-840 M)
Nama lengkapnya
adalah Abdul Huzail Muhammad bin Al-Huzail Al-‘allaf. puncak kebesarannya
dicapainya pada masa khalifah Al-Ma’mun, karena khalifah ini pernah menjadi
muridnya dalam perdebatan mengenai soal agama. Menurut riwayat pada tiga ribu orang yang masuk islam di tangannya. Ia
banyak berhubungan dengan filosof- filosof dan buku- buku filsafat.
3) An-Nazham (
wafat 231 H/ 845 M)
Nama
lengkapnya adalah Ibrahim bin Sayyar bin Hani An-Nazham. Ia merupakan tokoh
mu’tazilah yang terkemuka, lancar bicara, dan banyak mendalami filsafat. Ia
sangat bebas berpikir dan berani menyerang ahli hadis karena tidak banyak
percaya pada kesahihan hadis-hadis. Karena ia sangat menjunjung Al-Qur’an.
4) Al-Jubbai
(wafat 303 H/ 915 M)
Nama lengkapnya
adalah Abu Ali Muhammad bin Ali Al-Jubbai, tokoh mu’tazilah basrah dan murid as-Syahham.
Al-Jubbai dan anaknya yaitu Abu Hasim Al-Jubbai mencerminkan akhir masa
kejayaan aliran mu’tazilah.
b. Tokoh- tokoh aliran Baghdad antara lain:
1)
Bisjr bin Al-Mu’tamir (wafat 226 H/ 840 M)
Ia memiliki
pandangan mengenai kesusastraan. Ia adalah orang yang pertama kali mengemukakan
soal “tawallud” (reproduction) yang boleh jadi dimaksudkan untuk mencari
batas-batas pertanggungan jawab manusia atas perbuatannya.
2)
Al-Chayyat (wafat 300 H/ 912 M)
Nama lengkapnya
adalah Abu al-Husein Al-Khayyat. ia adalah pengarang buku “al-Intisar” yang
dimaksudkan untuk membela aliran mu’tazilah.
3)
Al-Qadhi Abdul Jabbar (wafat 1024 M)
Ia mengulas
tentang pokok-pokok ajaran aliran mu’tazilah, terdiri dari beberapa jilid dan
banyak dikutip oleh as-Syarif al Murtadha.
4)
Az-Zamaihsyari (467-538 H/ 1075-1144M)
Nama lengkapnya
adalah Jar Allah Abul Qasim Muhammad bin Umar. Selama hidupnya ia banyak
mengadakan perlawatan dari negeri kelahirannya menuju Baghdad, kemudian ke
Makkah untuk bertempat di sana beberapa tahun dan akhirnya menghembuskan nafas
terakhirnya di Jurjan (Persi-Iran). Ia menjadi tokoh dalam ilmu tafsir, nahwu,
dan paramasastera (lexicology).
M.
Aliran Asy-`Ariyah
1.
Latar Belakang Munculnya Aliran Asy-`Ariyah
Asy’ariyah adalah satu firqah/golongan/aliran yang
dinisbatkan kepada pemahaman Abul Hasan Al-Asy’ari. Nama asli beliau adalah `Ali
bin Isma`il bin Abi Bisyr Ishaq bin Salim bin Isma`il bin Abdullah bin Musa bin
Bilal bin Burdah bin Musa Al Asy`ary, lebih dikenal dengan Abu Al Hasan Al
Asy`ary. Beliau dilahirkan pada tahun 260 Hijriyah atau 875 M, pada akhir masa
daulah Abbasiyah yang waktu itu berkembang pesat berbagai aliran ilmu kalam,
seperti : al Jahmiyah, al Qadariyah, al Khawarij, al Karamiyah, ar Rafidhah, al
Mu`tazilah, al Qaramithah dan lain sebagainya. Sejak kecil Abul Hasan telah
yatim. Kemudian ibunya menikah dengan seorang tokoh Mu`tazilah bernama Abu `Ali
Al Jubba`i. Beliau (Abu Hasan) seorang yang cerdas, hafal Al Qur`an pada usia
belasan tahun dan banyak pula belajar hadits. Pada akhirnya beliau berjumpa
dengan ulama salaf bernama al Barbahari (wafat 329 H). inilah yang akhirnya
merubah jalan hidupnya sampai beliau wafat pada tahun 324 H atau 939 M dalam
usia 64 tahun.
Pada mulanya, selama hampir 40 tahun, beliau menjadi
penganut Mu`tazilah yang setia mengikuti gurunya seorang tokoh Mu`tazilah yang
juga ayah tirinya. Namun dengan hidayah Allah setelah beliau banyak merenungkan
ayat-ayat Al Qur`an dan hadits-hadits Rasulullah, beliau mulai meragukan
terhadap ajaran Mu`tazilah. Apalagi setelah dialog yang terkenal dengan
pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh Abu `Ali al Jubba`i dan
setelah mimpi beliau bertemu dengan Rasulullah, beliau secara tegas keluar dari
Mu`tazilah.
Mengenai lahirnya aliran ini ada beberapa pendapat
mengenai lahirnya aliran ini, yaitu: pendapat yang pertama mengatakan bahawa
pada suatu malam al-Asy`ari bermimpi bertemu dengan Nabi saw dan berkata bahwa
mazhab ahli hadislah yang benar dan
Mu`tazilah adalah salah.
Pendapat yang kedua mengatakan bahwa al-Asy`ari berdebat
dengan gurunya al-Juba`i, yang bunyi perdebatannya yaitu:
Al-Asy`ari :
"Bagaimana kedudukan orang mukmin dan
orang kafir menurut tuan?".
Al-Juba`i : "Orang mukmin mendapat tingkat tinggi di dalam surga karena imannya
dan orang kafir masuk ke dalam neraka".
Al-Asy`ari :
"Bagaimana dengan anak
kecil"?
Al-Juba`i :
"Anak kecil tidak akan masuk neraka".
Al-Asy`ari :
"Dapatkah anak kecil mendapatkan tingkat
yang tinggi seperti orang mukmin"?
Al-Juba`i :
"Tidak, karena tidak pernah berbuat
baik".
Al-Asy`ari :
"Kalau demikian anak kecil itu akan
memprotes Allah kenapa ia tidak diberi umur panjang untuk berbuat
kebaikan".
Al-Juba`i :
"Allah akan menjawab, kalau Aku biarkan
engkau hidup, engkau akan berbuat kejahatan atau kekafiran sehingga engkau
tidak akan selamat".
Al-Asy`ri :
"Kalau demikian, orang kafir pun akan
protes ketika masuk neraka, mengapa Allah tidak mematikannya sewaktu kecil agar
selamat dari neraka".
Abu Ali Al Jubba`i tidak
dapat menjawab lagi, ternyata akal tidak dapat diandalkan. Abu al Hasan Al
Asy`ary dalam meninjau masalah ini selalu berdasar kepada sunnah Rasulullah.
Itulah sebabnya maka madzhab yang dicetuskannya lebih dikenal dengan Ahlus
Sunnah wal Jama`ah.
2.
Tokoh-Tokoh Aliran Asy-`Ariyah
a.
Abu Hasan
al-Asy`ari
Beliau
merupakan pencetus atau yyang mendirikan alairan Asy-`Ariayah ini karena tidak
sependapat lagi dengan gurunya yang lebih mengedepankan akal yaitu dari aliran Mu`tazilah.
b.
Muhammad Ibn al-Thayyib Ibn Muhammad Abu Bakr
al-Baqillani.
Ia adalah tokoh Asy’ariyah yang mendapat ajaran-ajaran
Al-Asy’ari dari dua murid Al-Asy’ari, yaitu Ibn Mujahid dan Abu Al-Hasan
Al-Bahili. beliau wafat di Bagdad pada tahun 1013 Masehi.
Ajaran-ajaran yang disampaikannya
tidak selalu selaras dengan ajaran Al-Asy’ari, misalnya bahwa sifat Allah itu
bukan sifat melainkan hal. Selanjutanya ia juga tidak sepaham
dengan Al-Asy’ari mengenai perbuatan manusia. Menurut Al-Asy’ari perbuatan manusia
adalah diciftakan Tuhan seluruhnya, sedangkan menurut Al-Baqillani, manusia
mempunyai sumbangan yang efektif dalam perwujudan perbuatannya. Yang diwujudkan
Tuhan ialah gerak yang terdapat dalam diri manusia, adapun bentuk atau sifat
dari gerak itu dihasilkan oleh manusia itu sendiri.
Pernyataan-pernyataannya mengarah
pada extrim, dalam mengikuti suatu pendapat dan dalam memberikan dukungan dan
pembelaan, sebab premis rasional tidak pernah disebutkan dalam al-Qur’anmaupun
sunnah, ruang geraknya luas dan pintunya terbuka lebar. Metode yang ditempuhnya
juga banyak. Boleh saja seseorang sampai kepada bukti-bukti dari berbagai
penalaran akal dan menghasilkan berbagai konklusi melalui berbagai eksperimen
yang tidaklah buruk selama tidak bertentangan dengan konklusi yang dicapainya
dan pemikiran yang dihasilkannya.
c.
Abd al-Malik al-Juwaini
Beliau lahir di Khurasan tahun 419 Hijriyah dan
wafat pada tahun 478 Hijriyah. Namanya aslinya tidak begitu dikenal malah ia
terkenal dengan nama Iman Al-Haramain.
Hampir sama dengan Al-Baqillani,
ajaran-ajaran yang disampaikannya banyak yang bertentangan dengan ajaran
Al-Asy’ari. Misalnya Tangan Tuhan diartikan (ta’wil) kekuasaan Tuhan,
mata Tuhan diartikan penglihatan Tuhan dan wajah Tuhan diartikan Wujud Tuhan,
sedangkan mengenai Tuhan duduk diatas takhta kerajaan diartikan Tuhan berkuasa
dan Maha Tinggi.
Mengenai soal perbuatan manusia,
ia mempunyai pendapat yang lebih jauh dari Al-Baqillani. Daya yang ada pada
manusia itu mempunyai efek, tetapi efeknya serupa dengan efek yang terdapat
antara sebab dan musabab. Wujud perbuatan manusia tergantung pada daya yang ada
pada manusia, wujud daya itu bergantung pada sebab yang lain dan wujud sebab
itu bergantung pula pada sebab yang lain dan demikianlah seterusnya hingga
sampai pada sebab dari segala sebab yaitu Tuhan.
d.
Abu Hamid al-Ghazali
Beliau
adalah murid dari Abd al-Malik al-Juwaini yang lahir pada tahu 1058-1111
Masehi.
Paham
teologi yang dianutnya tidak jauh berbeda dengan paham-paham Al-Asy’ari. Dia
mengakui bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat qadim yang tidak identik dengan dzat
Tuhan dan mempunyai wujud diluar dzat. Juga Al-Qur’an bersifat qadim dan tidak
diciptakan. Mengenai perbuatan manusia ia juga berpendapat bahwa Tuhanlah yang
menciptakan daya dan perbuatan. Dan daya untuk berbuat lebih menyerupai
impotensi.
Selanjutnya
ia menyatakan bahwa Tuhan dapat dilihat, sebab setiap yang mempunyai wujud
dapat dilihat. Selanjutnya ajaran yang disampaikannya adalah penolakan tentang
paham keadilan yang diajarkan oleh Mu’tazilah. Tuhan tidak berkewajiban menjaga
kemashlahatan (al-salah wa al-ashlah) manusia, tidak wajib memberi upah
atau ganjaran kepada manusia atas perbuatan-perbuatannya, bahkan Tuhan boleh
memberi beban yang tidak mungkin dikerjakan manusia.
3.
Ajaran-Ajaran Pokok Aliran Asy-`Ariyah
a.
Tuhan mempunyai sifat.
Asy-`Ariyah menyatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat dan Tuhan
mengetahui bukan dengan dzat-Nya tetapi mengetahui dengan pengetahuan-Nya.
b.
Tuhan dapat dilihat di akhirat
Aliran
Asy-`Ariyah juga berkeyakinan bahwa manusia dapat melihat Allah pada hari
kiamat dengan petunjuk Tuhan dan hanya Allah pula yang tahu bagaimana keadaan
sifat dan wujud-Nya. Hal ini mengingat nash al-Qur’an:
"Wajah-wajah orang
mukmin pada hari kiamat akan berseri-seri. Kepada Tuhannya mereka
melihat".(Al-Qiyamah: 23)
c.
Perbutan manusia diciptakan Tuhan
Menurut paham aliran
Asy-`Ariyah, dalam perbuatan manusia ini sama dengan paham Jabariyah yang
mengatakan manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan
perbuatannya. Dalam paham ini ini terikat pada kehendak mutlak Tuhan.
d.
Tuhan mempunyai muka, tangan dan lain sebagainya.
e.
Tuhan tidak mempunyai kewajiban
f.
Orang yang berbuat dosa besar tetap mukmin karena dosanya
menjadi fasiq
N.
Aliran Maturidiyah
1.
Sejarah Lahirnya Aliran Maturidiyah
Aliran ini didirikan oleh Abu Mansur
al-Maturidi, dia adalah Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al-Maturidi
al-Samarqandi. Maturidi adalah nisbat kepada Maturid, sebuah tempat di
Samarkand, di daerah inilah Abu Mansur lahir.
Gurunya adalah Nashir atau Nushair bin Yahya al-Balakhi, dari beliau ini Abu Mansur belajar fikih madzhab Hanafi dan ilmu kalam. Beliau banyak memakai rasio dalam pandangan agamanya. Oleh sebab itu,
teologi yang ditimbulkannya berbeda dengan Asy-`Ari, meskipun keduanya timbul
sebagai reaksi terhadap aliran mu`tazilah.
Abu Mansur memiliki kedudukan tinggi di kalangan para
pengikut Maturidiyah sehingga mereka menjulukinya dengan "Imam al-Huda dan
Imam al-Mutakallimin".
Abu Mansur wafat di Samarkand pada tahun 333 H dan
dimakamkan di sana. Dia meninggalkan beberapa karya tulis diantarnya, Ta’wilat
Ahlus Sunnah atau Ta’wilat al-Qur`an, dalam bukunya ini Abu Mansur
mengangkat ayat-ayat al-Qur`an khususnya ayat-ayat sifat dan mentakwilkannya
dengan takwil Jahmiyah. Di antara bukunya yang lain adalah Kitab Tauhid,
kitab ini tentang ilmu kalam, di dalamnya dia menetapkan pendapat-pendapatnya
yang berkaitan dengan masalah-masalah i’tiqadiyah, dan yang dia maksud
dengan tauhid dalam kitabnya ini adalah tauhid Khaliqiyah dan Rububiyah
ditambah dengan sedikit tauhid Asma’ wa Sifat akan tetapi dengan manhaj
Jahmiyah dengan mengingkari banyak sifat-sifat Allah dengan alasan mensucikan
dan meniadakan tasybih dari Allah, hal ini tidak sejalan dengan manhaj yang
shahih yaitu manhaj salaf shalih.
Salah satu pengikut penting dari al-Maturidi adalah Abu
al-Yusr Muhammad al-Bazdawi. Al-Bazdawi tidak selamanya sepaham dengan
al-Mutiridi, yang membuat golongan maturidiyah bukhara.
2.
Golongan-Golongan Aliran Maturidiyah
a.
Maturidiyah
Samarkand
Golongan ini
dipimpin oleh al-Maturidi. Golongan ini berpendapat bahwa akal dapat mengetahui
adanya Tuhan, kewajiban mengetahui dan berterima kasih kepada Tuhan serta
mengetahui baik dan buruk.
Tetapi menurut
aliran Maturidiyah Samarkand ini akal tidak dapat mengetahui bagaimana
kewajiban berbuat baik dan meninggalkan yang buruk, ini hanya dapat diketahui
melalui wahyu.
b.
Maturidiyah
Bukhara
Golongan ini
dipimpin olah murid dari al-Maturidi yang yaitu al-Bazdawi dengan nama
lengkapnya Abu al-Yusr Muhammad al-Bazdawi. Menurut golongan ini, dengan akal
manusia bisa mengetahui adanya Tuhan dan yang baik dan yang buruk. Sedangkan
kewajiban mengetahui adanya Tuhan dan kewajiban mengetahui yang baik dan
meninggalkan yang buruk adalah diketahui melalui wahyu.
Jadi, antara Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah
Bukhara terdapat perbedaan pendapat. Maturidiyah samarkand lebih dekat dengan
pemahaman aliran Mu`tazilah, sedangkan maturidiyah bukhara identik dengan
pemahaman aliran Asy-`Ariyah. Namun pada intinya, aliran Maturidiyah
menggunakan akal dan wahyu atau disebut juga wahyu itu bisa konfirmasi bisa
informasi. Tidak halnya dengan aliran Mu`tazilah yang mengedepankan akal dan
aliran Asy-`Ariyah yang mengedepankan wahyu.
3.
Doktrin-Doktrin Aliran Maturidiyah
a.
Akal dan Wahyu
Al-Maturidi
dalam pemikiran teologinya berdasarkan pada Al-Qur’an dan akal, akal banyak
digunakan diantaranya karena dipengaruhi oleh Mazhab Imam Abu Hanifah. Menurut Al-Maturidi, mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat
diketahui dengan akal. Hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang
memerintahkan agar manusia menggunakan akalnya untuk memperoleh pengetahuan dan
keimanannya terhadap Allah melalui pengamatan dan pemikiran yang
mendalam tentang makhluk ciptaan-Nya. Jika akal tidak memiliki kemampuan
tersebut, maka tentunya Allah tidak akan memerintahkan manusia untuk
melakukannya. Dan orang yang tidak mau menggunakan akal untuk memperoleh iman
dan pengetahuan mengenai Allah berarti ia telah meninggalkan kewajiban yang
diperintahkan oleh ayat-ayat tersebut Namun akal, menurut Al-Maturidi tidak
mampu mengetahui kewajiban-kewajiban yang lain.
Dalam masalah
amalan baik dan buruk, beliau berpendapat bahwa penentu baik dan buruknya
sesuatu itu terletak pada sesuatu itu sendiri, sedangkan perintah atau larangan
syari’ah hanyalah mengikuti kemampuan akal mengenai baik dan buruknya sesuatu,
walau ia mengakui bahwa akal terkadang tidak mampu melakukannya. Dalam kondisi
ini, wahyu dijadikan sebagai pembimbing.
Al-Maturidi
membagi kaitan sesuatu dengan akal pada tiga macam, yaitu Akal dengan
sendirinya hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu,Akal dengan sendirinya hanya
mengetahui keburukan sesuatu itu,Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan
sesuatu, kecuali dengan petunjuk wahyu.
Tentang
mengetahui kebaikan dan keburukan Maturidiyah memiliki kesamaan dengan
Mu’tazilah, namun tentang kewajiban melakukan kebaikan dan meninggalkan
keburukan Maturidiyah berpendapat bahwa ketentuan itu harus didasarkan pada
wahyu.
b.
Perbuatan
Manusia
Perbuatan
manusia adalah ciptaan Allah, karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah
ciptaan-Nya. Mengenai perbuatan manusia, kebijaksanaan dan keadilan kehendak
Allah mengharuskan manusia untuk memiliki kemampuan untuk berbuat (ikhtiar)
agar kewajiban yang dibebankan kepadanya dapat dilaksanakan. Dalam hal ini
Al-Maturidi mempertemukan antara ikhtiar manusia dengan qudrat Allah sebagai
pencipta perbuatan manusia. Allah mencipta daya (kasb) dalam setiap diri
manusia dan manusia bebas memakainya, dengan demikian tidak ada pertentangan
sama sekali antara qudrat Allah dan ikhtiar manusia.
Dalam masalah
pemakaian daya ini Al-Maturidi memakai faham Imam Abu Hanifah, yaitu adanya
Masyiah (kehendak) dan ridha (kerelaan). Kebebasan manusia dalam melakukan
perbuatan baik atau buruk tetap berada dalam kehendak Allah, tetapi ia dapat
memilih yang diridhai-Nya atau yang tidak diridhai-Nya. Manusia berbuat baik
atas kehendak dan kerelaan Allah, dan Manusia berbuat baik atas kehendak dan
kerelaan Allah, dan berbuat buruk pun dengan kehendak Allah, tetapi tidak
dengan kerelaan-Nya.
c.
Kekuasaan dan
Kehendak Mutlak Tuhan
Penjelasan di
atas menerangkan bahwa Allah memiliki kehendak dalam sesuatu yang baik atau
buruk. Tetapi, pernyataan ini tidak berarti bahwa Allah Allah berbuat
sekehendak dan sewenang-wenang. Hal ini karena qudrat tidak sewenag-wenang
(absolute), tetapi perbuatan dan kehendak-Nya itu berlangsung sesuai dengan
hikmah dan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya sendiri.
d.
Sifat Tuhan
Tuhan mempunyai
sifat-sifat, seperti sama, bashar, kalam, dan sebagainya. Al-Maturidi
berpendapat bahwa sifat itu tidak dikatakan sebagai esensi-Nya dan bukan pula
lain dari esensi-Nya. Sifat-sifat Tuhan itu mulzamah (ada bersama/inheren) dzat
tanpa terpisah (innaha lam takun ain adz-dzat wa la hiya ghairuhu). Sifat tidak
berwujud tersendiri dari dzat, sehingga berbilangnya sifat tidak akan membawa
kepada bilangannya yang qadim (taadud al-qadama). Tampaknya faham tentang makna sifat Tuhan ini cenderung
mendekati faham Mu’tazilah, perbedaannya terletak pada pengakuan terhadap
adanya sifat Tuhan.
e.
Melihat Tuhan
Al-Maturidi
mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan, hal ini diberitakan dalam
Al-Qur’an:"Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari
itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat".(Al-Qiyamah:
22-23)
Lebih lanjut
beliau mengatakan bahwa Tuhan kelak di akhirat dapat dilihat dengan mata,
karena Tuhan mempunyai wujud walaupun ia immaterial. Namun melihat Tuhan, kelak
di akhirat tidak dalam bentuknya, karena keadaan di sana beda dengan dunia.
f.
Kalam Tuhan
Al-Maturidi
membedakan antara kalam (baca:sabda) yang tersusun dengan huruf dan bersuara
denagn kalam nafsi (sabda yang sebenarnya atau makna abstrak). Kalam nafsi
adalah sifat qadim bagi Allah, sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan
suara adalah baharu (hadits). Kalam nafsi tidak dapat kita ketahui hakikatnya
dari bagaimana Allah bersifat dengannya, kecuali dengan suatu perantara.
g.
Perbuatan Tuhan
Semua yang
terjadi atas kehendak-Nya, dan tidak ada yang memaksa atau membatasi kehendak
Tuhan, kecuali karena da hikmah dan keadilan yang ditentukan oleh kehendak-Nya
sendiri. Setiap perbuatan-Nya yang bersifat mencipta atau kewajiban-kewajiban
yang dibebankan kepada manusia tidak lepas dari hikmah dan keadilan yang
dikehendaki-Nya. Kewajiban-kewajiban tersebut antara lain:
Tuhan tidak
akan membebankan kewajiban di luar kemampuan manusia, karena hal tersebut tidak
sesuai dengan keadilan, dan manusia diberikan kebebasan oleh Allah dalam
kemampuan dan perbuatannya, Hukuman atau ancaman dan janji terjadi karena
merupakan tuntutan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya.
h.
Pengutusan
Rasul
Pengutusan
Rasul berfungsi sebagai sumber informasi, tanpa mengikuti ajaran wahyu yang
disampaikan oleh rasul berarti manusia telah membebankan sesuatu yang berada di
luar kemampuan akalnya. Pandangan ini tidak jauh dengan pandangan Mu’tazilah,
yaitu bahwa pengutusan rasul kepada umat adalah kewajiban Tuhan agar manusia
dapat berbuat baik bahkan terbaik dalam hidupnya.
i.
Pelaku Dosa
Besar (Murtakib Al-Kabir)
Al-Maturidi
berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidak kafir dan tidak kekal di dalam neraka
walaupun ia mati sebelum bertobat. Hal ini karena Tuhan telah menjanjikan akan
memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya. Kekal di dalam
neraka adalah balasan untuk orang musyrik.
Menurut
Al-Maturidi, iman itu cukup dengan tashdiq dan iqrar, sedangkan amal adalah
penyempurnaan iman. Oleh karena itu amal tidak menambah atau mengurangi esensi
iman, hanya menambah atau mengurangi sifatnya.
j.
Iman
Dalam masalah
iman, aliran Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa iman adalah tashdiq bi
al-qalb, bukan semata iqrar bi al-lisan. Al-Qur’an: "Orang-orang
Arab Badui itu berkata: ‘Kami telah beriman’. Katakanlah: ‘Kamu belum beriman,
tapi Katakanlah 'kami telah tunduk', karena iman itu belum masuk ke dalam
hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan
mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang’." (Al-Hujurat:
14).
Ayat tersebut
difahami sebagai penegasan bahwa iman tidak hanya iqrar bi al-lisan, tanpa
diimani oleh qalbu. Lebih lanjut Al-Maturidi mendasarkan pendapatnya pada surat
Al-Baqarah ayat 260 : "Dan
(ingatlah) ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku
bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati." Allah berfirman:
"Belum yakinkah kamu ?" Ibrahim menjawab: "Aku telah
meyakinkannya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku) Allah
berfirman: "(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah
semuanya olehmu. (Allah berfirman): "Lalu letakkan diatas tiap-tiap satu
bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya
mereka datang kepadamu dengan segera." dan ketahuilah bahwa Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Dalam ayat
tersebut, bukan berarti bahwa Nabi Ibrahim belum beriman, tetapi beliau
menginginkan agar keimanannya menjadi keimanan ma’rifah. Ma’rifah didapat
melalui penalaran akal. Adapun pengertian iman menurut golongan Bukhara, adalah
tashdiq bi al-qalb dan iqrar bi al-lisan, yaitu meyakini dan membenarkan dalam
hati tentang keesaan Allah dan rasul-rasul yang diutus-Nya dengan membawa
risalah serta mengakui segala pokok ajaran Islam secara verbal.