BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Secara harifah kata mu’tazilah barasal dari
I’tazilah yang berarti berpisah atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh
dan menjauhkan diri. Aliran mu’tazilah merupakan aliran teologi islam yang
terbesar dan tertua, yang telah memainkan peranan penting dalam sejarah
pemikiran dunia islam. Aliran mu’tazilah lahir kurang lebih pada permulaan abad
pertama hijrah di kota Basrah (Irak).
Akan
tetapi tidak semuanya memeluk aliran ini dengan segala keikhlasan. Ketidak
ikhlasan ini terutama dimulai sejak permulaan masa pemerintahan khilafat Umawi,
disebabkan karena khilafah-khilafah Umawi memonopoli segala kekuasaan negara
kepada orang-orang Islam dan bangsa Arab sendiri. Dalam hal ini maka akan
dibahas mengenai mu’tazilah lebih luas lagi.
1.2.
Rumusan Masalah
Dari
latar belakang yang ada, bisa dirumuskan masalah yakni bagaimana aliran
mu’tazilah itu?
1.3.
Tujuan
Mengetahui
tentang aliran mu’tazilah.
1.4.
Manfaat
Bisa
mengetahui tentang aliran mu’tazilah.
BAB I
PEMBAHASAN
2.1. SEJARAH
KEMUNCULAN MU’TAZILAH
Aliran
ini muncul di Bashrah pada abad ke 8 (2 H), berawal dari sikap Washil bin Atha’
(700-750 M / 80-131 H) memisahkan diri dari majlis ta’lim gurunya, Hasan al
Bashri di sebuah masjid Raya Bashrah. Hal ini disebabkan karena Washil bin
Atha’ mempunyai pendapat berbeda dengan gurunya, yang berkaitan dengan masalah
orang mukmin yang melakukan dosa besar. Menurut Washil bin Atha’, mukmin yang
melakukan dosa besar jika tidak bertaubat, statusnya tidak mukmin lagi, (sedang
menurut gurunya : statusnya mukmin), tetapi jatuh kepada fasik, namun tidak
jatuh kepada status kafir (yang menurut Khawarij : statusnya kafir). Fasik
menurut Washil bin Atha’, adalah : al Manzilah bain al manzilatain
(suatu posisi / status diantara dua posisi). Fasik berada dibawah mukmin tapi
diatas kafir. Setelah memisahkan diri, Washil bin Atha’ membentuk halaqoh
sendiri di masjid yang sama. Jama’ah yang dipimpin oleh Washil bin Atha’ itulah
yang mendapat nama Mu’tazilah.
Menurut
Ahmad Amin, sebutan Mu’tazilah sudah ada sebelum masa Hasan al Bashri, kurang
lebih 100 tahun. Penyebutan Mu’tazilah untuk Washil bin Atha’, ‘Amr bin Ubaid
dan kawan-kawannya hanya menghidupkan kembali sebutan lama.
Secara
harfiah kata Mu’tazilah berasal dari I’tazala yang berarti berisah atau
memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri. Secara
etimologis, kata Mu’tazilah berarti golongan yang mengasingkan atau memisahkan
diri. Secara teknis, istilah Mu’tazilah menunjuk pada dua golongan.
Golongan pertama, (disebut
Mu’tazilah I) muncul sebagai respon politik murni. Golongan ini tumbuh
sebagai kaum netral politik, khususnya dalam arti bersikap lunak dalam
menangani pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan lawan-lawannya, terutama
Muawiyah, Aisyah, dan Abdullah bin Zubair. Menurut penulis, golongan inilah
yang mula-mula disebut kaum Mu’tazilah karena mereka menjauhkan diri dari
pertikaian masalah khilafah. Kelompok ini bersifat netral politik tanpa stigma
teologis seperti yang ada pada kaum Mu’tazilah yang tumbuh dikemudian hari.
Golongan kedua, (disebut
Mu’tazilah II) muncul sebagai respon persoalan teologis yang berkembang di
kalangan Khawarij dan Mur’jiah akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini
muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Mur’jiah
tentang pemberian status kafir kepada yang berbuat dosa besar. Mu’tazilah II
inilah yang akan dikaji dalam bab ini yang sejarah kemunculannya memiliki
banyak versi.
2.2.ASAL-USUL SEBUTAN MU‘TAZILAH
Beberapa versi tentang pemberian nama Mu’tazilah kepada
golongan kedua ini berpusat pada peristiwa yang terjadi antara Washil bin Atha’
serta temannya, Amr bin Ubaid, dan Hasan Al-Bashri di Bashrah. Ketika Washil
mengikuti pelajaran yang diberikan oleh Hasan Al Bashri di masjid Bashrah.,
datanglah seseorang yang bertanya mengenai pendapat Hasan Al Bashri tentang
orang yang berdosa besar. Ketika Hasan Al Bashri masih berpikir, Washil
mengemukakan pendapatnya dengan mengatakan “Saya berpendapat bahwa orang
yang berbuat dosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi berada
pada posisi diantara keduanya, tidak mukmin dan tidak kafir.” Kemudian Washil
menjauhkan diri dari Hasan Al Bashri dan pergi ke tempat lain di lingkungan masjid.
Di sana Washil mengulangi pendapatnya di hadapan para pengikutnya. Dengan
adanya peristiwa ini, Hasan Al Bashri berkata: “Washil menjauhkan diri dari
kita (i’tazaala anna).” Menurut Asy-Syahrastani, kelompok yang memisahkan diri
dari peristiwa inilah yang disebut kaum Mu’tazilah.
Versi lain dikemukakan oleh Al-Baghdadi. Ia mengatakan
bahwa Washil dan temannya, Amr bin Ubaid bin Bab, diusir oleh Hasan Al Bashri
dari majelisnya karena adanya pertikaian diantara mereka tentang masalah qadar
dan orang yang berdosa besar. Keduanya menjauhkan diri dari Hasan Al Basri dan
berpendapat bahwa orang yang berdosa besar itu tidak mukmin dan tidak pula
kafir. Oleh karena itu golongan ini dinamakan Mu’tazilah.
Versi lain dikemukakan Tasy Kubra Zadah yang menyatakan
bahwa Qatadah bin Da’mah pada suatu hari masuk masjid Bashrah dan bergabung
dengan majelis Amr bin Ubaid yang disangkanya adalah majelis Hasan Al Bashri.
Setelah mengetahuinya bahwa majelis tersebut bukan majelis Hasan Al Bashri, ia
berdiri dan meninggalkan tempat sambil berkata, “ini kaum Mu’tazilah.” Sejak
itulah kaum tersebut dinamakan Mu’tazilah.
Al-Mas’udi memberikan keterangan tentang asal-usul
kemunculan Mu’tazilah tanpa menyangkut-pautkan dengan peristiwa antara Washil
dan Hasan Al Bashri. Mereka diberi nama Mu’tazilah, katanya, karena berpendapat
bahwa orang yang berdosa bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi menduduki
tempat diantara kafir dan mukmin (al-manzilah bain al-manzilatain). Dalam
artian mereka memberi status orang yang berbuat dosa besar itu jauh dari
golongan mukmin dan kafir.
Untuk mengetahui asal-usul nama Mu’tazilah itu dengan
sebenarnya memang sulit. Berbagai pendapat diajukan ahli-ahli, tetapi belum ada
kata sepakat di antara mereka. Yang jelas ialah, bahwa nama Mu’tazilah sebagai designatie
bagi aliran teologi rasional dan liberal dalam Islam timbul sesudah
peristiwa Washil dengan Hasan al Bashri dan bahwa lama sebelum terjadinya
peristiwa di Masjid Bashrah itu telah pula terdapat kata-kata I’tazala, al
Mu’tazilah. Tetapi apa hubungan yang terdapat antara Mu’tazilah I dan II,
fakta-fakta yang ada belum dapat memberikan kepastian. Selanjutnya siapa
sebenarnya yang memberikan nama Mu’tazilah kepada Washil bin Atha‘ dan
pengikut-pengikutnya tidak pula jelas.
Golongan ini juga dinamakan golongan qadariyah,
karena mereka menganut faham free will and free act, yakni bahwa manusia
itu bebas berkehendak dan bebas berbuat. Jadi segala gerak gerik manusia tidak
dicampuri oleh iradat dan qudrat Allah. Adapun sebutan Mu’tazilah
yang lain adalah:
1.
Ahlul ‘Adl Wa
at-Tauhid (golongan yang mempertahankan keadilan dan keesaan
Allah).
2.
Ahlul Haq
(golongan yang benar).
3.
Ats‑Tsanawiyah
dan Al‑Majusiyah (kaum Dualis dan Majusi). Sebutan ini ditolak oleh
Mu’tazilah.
4.
Al‑Khawarij,
karena sejalan dengan pendapat Khawarij tentang dosa besar, apabila
tidak bertaubat akan kekal di neraka, walaupun mereka mengatakan bahwa
orang itu tidak kafir.
5.
Al‑Wa’idiyah,
karena mereka berpendapat bahwa ancaman Allah pasti akan menimpa manusia yang
tidak taat hukum. Nama ini berasal dari golongan Murjiah.
6.
Al‑Mu’aththilah,
yaitu bahwa kaum Mu’tazilah menolak adanya sifat‑sifat Allah yang azali, juga
menolak untuk mengambil pengertian makna lahiriah dari ayat‑ayat Al-Quran dan
as-Sunnah jika tidak sesuai dengan pendirian mereka.
2.3.TOKOH-TOKOH ALIRAN MU’TAZILAH
Dari segi geografis
Mu’tazilah dibagi menjadi 2 yaitu aliran mu’tazilah Bashrah dan aliran
mu’tazila Baghdad .Aliran Bashrah lebih dahulu munculnya, lebih banyak
mempunyai kepribadian sendiri dan yang pertama- tama mendirikan aliran mu’tazilah.
perbedaan antara kedua aliran mu’tazilah tersebut pada umumnya disebabkan
karena situasi geografis dan kulturil.
Tokoh-
tokoh aliran Bashrah antara lain:
1.
Washil
bin ‘Atha’ ( 80-131 H/ 699-748 M)
Terkenal sebagai pendiri aliran mu’tazilah dan kepalanya
yang pertama. Ia pula yang terkenal sebagai orang yang meletakkan lima prinsip
dasar.
2.
Al-‘Allaf
( 135-226 H/ 752-840 M)
Nama lengkapnya adalah Abdul Huzail Muhammad bin
Al-Huzail Al-‘allaf. puncak kebesarannya dicapainya pada masa khalifah Al-Ma’mun,
karena khalifah ini pernah menjadi muridnya dalam perdebatan mengenai soal
agama. Menurut riwayat pada tiga ribu orang yang masuk islam di tangannya. Ia
banyak berhubungan dengan filosof- filosof dan buku- buku filsafat.
3.
An-Nazham
( wafat 231 H/ 845 M)
Nama
lengkapnya adalah Ibrahim bin Sayyar bin Hani An-Nazham. Ia merupakan tokoh
mu’tazilah yang terkemuka, lancar bicara, dan banyak mendalami filsafat. Ia
sangat bebas berpikir dan berani menyerang ahli hadis karena tidak banyak
percaya pada kesahihan hadis-hadis. Karena ia sangat menjunjung Al-Qur’an.
4.
Al-Jubbai
(wafat 303 H/ 915 M)
Nama
lengkapnya adalah Abu Ali Muhammad bin Ali Al-Jubbai, tokoh mu’tazilah basrah
dan murid as-Syahham. Al-Jubbai dan anaknya yaitu Abu Hasim Al-Jubbai
mencerminkan akhir masa kejayaan aliran mu’tazilah.
Tokoh-
tokoh aliran Baghdad antara lain:
1.
Bisjr
bin Al-Mu’tamir (wafat 226 H/ 840 M)
Ia memiliki pandangan mengenai kesusastraan. Ia
adalah orang yang pertama kali mengemukakan soal “tawallud” (reproduction) yang
boleh jadi dimaksudkan untuk mencari batas-batas pertanggungan jawab manusia
atas perbuatannya.
2.
Al-Chayyat
(wafat 300 H/ 912 M)
Nama lengkapnya adalah Abu al-Husein Al-Khayyat. ia
adalah pengarang buku “al-Intisar” yang dimaksudkan untuk membela aliran
mu’tazilah.
3.
Al-Qadhi
Abdul Jabbar (wafat 1024 M)
Ia mengulas tentang pokok-pokok ajaran aliran
mu’tazilah, terdiri dari beberapa jilid dan banyak dikutip oleh as-Syarif al
Murtadha.
4.
Az-Zamaihsyari
(467-538 H/ 1075-1144M)
Nama lengkapnya adalah Jar Allah Abul Qasim Muhammad
bin Umar. Selama hidupnya ia banyak mengadakan perlawatan dari negeri
kelahirannya menuju Baghdad, kemudian ke Makkah untuk bertempat di sana
beberapa tahun dan akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya di Jurjan
(Persi-Iran). Ia menjadi tokoh dalam ilmu tafsir, nahwu, dan paramasastera
(lexicology).
2.4. AJARAN-AJARAN POKOK ALIRAN MU’TAZILAH
Aliran mu’tazilah berdiri atas lima
prinsip utama:
1. Keesaan
(at-Tauhid)
At-Tauhid
merupakan prinsip utama dan intisari ajaran mu’tazilah. Tauhid memiliki arti
yang spesifik. Tuhan harus disucikan dari segala sesuatu yang menyamai-Nya.
Untuk memurnikan keesaan Tuhan, mu’tazilah menolak konsep Tuhan memiliki
sifat-sifat, penggambaran fisik Tuhan, dan Tuhan dapat dilihat dengan mata
kepala. Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan itu Esa, tak ada satu pun yang
menyerupai-Nya.
2. Keadilan
Tuhan (Al-Adlu)
Ajaran ini bertujuan ingin menempatkan
Tuhan benar-benar adil menurut sudut pandang manusia, karena alam semesta ini
sesungguhnya diciptrakan untuk kepentingan manusia.
3. Janji
dan ancaman (al-Wa’du wal Wa’idu)
Ajaran ini tidak memberi peluang kepada
Tuhan selain menunaikan janji-Nya, yaitu memberi pahala orang yang taat dan
menyiksa orang yang berbuat maksiat, kecuali orang yang sudah bertaubat nasuha.
Ajaran ini tampaknya bertujuan mendorong manusia untuk berbuat baik dan tidak
melakukan perbuatan dosa.
4. Tempat
di antara dua tempat (Al manzilatu bainal
manzilatain)
Karena prinsip ini Washil
bin ‘Atha memisahkan diri dari majlis Hasan Basri, seperti yang disebutkan di
atas. Menurut pendapatnya, seorang muslim yang mengerjakan dosa besar selain
syirik, bukan lagi menjadi orang mu’min, tetapi tidak menjadi kafir, melainkan
menjadi orang fasik. Jadi, kefasikan merupakan tempat tersendiri antara “kufur”
dan “iman”.
5. Menyuruh
kebaikan dan melarang keburukan (‘amar
ma’ruf nahi munkar)
Ajaran ini menekankan
keberpihakan pada kebenaran dan kebaikan. Ini merupakan konsekuensi logis dari
keimanan seseorang. Pengakuan keimanan harus dibuktikan dengan perbuatan baik,
diantaranya dengan menyuruh orang berbuat baik dan mencegahnya dari kejahatan.
2.5. TINJAUAN TENTANG ALIRAN MU’TAZILAH
Sejarah
umat Islam tidak mengenal pembahasan yang bercorak filsafat dan lengkap tentang
tuhan, sifat-sifat dan perbuatannya, dengan disertai dalil-dalil akal pikiran
dan alasan-alasan naqal sebelum lahir aliran mu’tazilah. Mereka telah
melepaskan akal sebebas-bebasnya dalam membahas semua persoalan tanpa mengenal
batas, baik yang bertalian dengan langit atau bumi, dengan Tuhan atau manusia,
baik yang besar maupun yang kecil.
Karena
keberanian dan ketidak ragu-raguan mereka dalam memegangi hasil pemikirannya,
maka mereka hanya menerima dalil-dalil naqal, yang sesuai dengan dalil-dalil
akal pikiran dan mena’wilkan yang menyalahinya. Akal pikiran lah yang menjadi
hakim terhadap ayat-ayat mutasyabihat dan hadis-hadis yang tidak sejalan dengan
ketentuan akal pikiran.
Setelah
beberapa tahun lamanya aliran mu’tazilah mencapai kepesatan dan kemegahannya,
terutama pada masa khalifah al ma’mun, al
mu’tasim, dan al watsiq, akhirnya mereka mengalami kemunduran. Kemunduran
ini adalah karena perbuatan mereka sendiri.mereka hendak mempertahankan
kebebasan berfikir, tetapi mereka sendiri memusuhi orang-orang yang tidak
mengikuti paham mereka.
Kegiatan
orang-orang mu’tazilah baru hilang sama sekali setelah terjadi serangan
orang-orang Mongolia atas dunia islam. Meskipun demikian, paham dan ajaran
aliran mu’tazilah yang penting masih hidup sampai sekarang dikalangan Syiah
Zaidiah.
BAB III
PENUTUP
3.1. Simpulan
Aliran
mu’tazilah merupakan aliran teologi islam yang terbesar dan tertua. Kaum
mu’tazilah secara teknis terdiri dari dua golongan dan masing-masing golongan
mempunyai pandangan yang berbeda. Golongan tersebut ialah Golongan pertama, (disebut Mu’tazilah I) muncul sebagai
respon politik murni dan golongan kedua, (disebut
Mu’tazilah II) muncul sebagai respon persoalan teologis yang berkembang di
kalangan Khawarij dan Mur’jiah akibat adanya peristiwa tahkim. Banyak sebutan
mengenai kaum mu’tazilah salah satunya Ahlul ‘Adl Wa at-Tauhid (golongan
yang mempertahankan keadilan dan keesaan Allah). Sedangkan ajaran pokok
mu’tazilah yakni tentang : Keesaan (at-Tauhid), Keadilan Tuhan (Al-Adlu), Janji
dan ancaman (al-Wa’du wal Wa’idu), Tempat di antara dua tempat (Al manzilatu
bainal manzilatain), Menyuruh kebaikan dan melarang keburukan (‘amar ma’ruf
nahi munkar). Dan yang paling penting yakni kegiatan orang-orang mu’tazilah
baru hilang sama sekali setelah terjadi serangan orang-orang mongolia atas
dunia islam. Meskipun demikian, paham dan ajaran aliran mu’tazilah yang penting
masih hidup sampai sekarang dikalangan syiah zaidiah.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul Rozak, , Rosihon
Anwar,. Ilmu Kalam . Jakarta
: Pustaka Setia
A.Hanafi. Pengantar Theology Islam. Jakarta : AL HUSNA ZIHRA.
Nasution,
Harun. 1986. Teologi Islam : Aliran-aliran
Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta : UI Press.
http://abdain.wordpress.com/2010/04/28/mutazilah-dan-pengaruhnnya-terhadap-dunia-islam/
ASY’ARIYAH DAN MATURIDIYAH
A.
Latar Belakang Asy’ariyah
1.
Sejarah
Asy’ariyah
Asy’ariyah
adalah satu firqah yang dinisbatkan kepada pemahaman Abul Hasan Al-Asy’ari
rahimahullahu. Nama asli beliau adalah `Ali bin Isma`il bin Abi Bisyr Ishaq bin Salim bin Isma`il bin
Abdullah bin Musa bin Bilal bin Burdah bin Musa Al Asy`ary, lebih dikenal
dengan Abu Al Hasan Al Asy`ary. Dilahirkan pada tahun 260 Hijriyah atau 875
Masehi, pada akhir masa daulah Abbasiyah yang waktu itu berkembang pesat
berbagai aliran ilmu kalam, seperti : al Jahmiyah, al Qadariyah, al Khawarij,
al Karamiyah, ar Rafidhah, al Mu`tazilah, al Qaramithah dan lain sebagainya.
Sejak kecil Abul Hasan telah yatim. Kemudian ibunya menikah dengan seorang
tokoh Mu`tazilah bernama Abu `Ali Al Jubba`i. Beliau (Abul Hasan) seorang yang
cerdas, hafal Al Qur`an pada usia belasan tahun dan banyak pula belajar hadits.
Pada akhirnya beliau berjumpa dengan ulama salaf bernama al Barbahari (wafat
329 H). inilah yang akhirnya merubah jalan hidupnya sampai beliau wafat pada
tahun 324 H atau 939 M dalam usia 64 tahun.
Abu al Hasan al Asy`ary dan Mu`tazilah
Pada mulanya, selama hampir 40 tahun, beliau menjadi
penganut Mu`tazilah yang setia mengikuti gurunya seorang tokoh Mu`tazilah yang
juga ayah tirinya. Namun dengan hidayah Allah setelah beliau
banyak merenungkan ayat-ayat Al Qur`an dan hadits-hadits Rasulullah, beliau
mulai meragukan terhadap ajaran Mu`tazilah. Apalagi setelah dialog yang
terkenal dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh Abu `Ali al
Jubba`i dan setelah mimpi beliau bertemu dengan Rasulullah, beliau secara tegas
keluar dari Mu`tazilah.
Inti ajaran faham Mu`tazilah adalah dasar keyakinan harus
bersumber kepada suatu yang qath`i dan sesuatu yang qath`i harus sesuatu yang
masuk akal (rasional). Itulah sebabnya maka kaum Mu`tazilah menolak
ajaran Al-Qur`an apalagi as Sunnah yang tidak sesuai dengan akal (yang tidak
rasional). Sebagaimana penolakan mereka terhadap mu`jizat para nabi, adanya
malaikat, jin dan tidak percaya adanya takdir. Mereka berpendapat bahwa
sunnatullah tidak mungkin dapat berubah, sesuai dengan firman Allah:“Tidak akan ada perubahan dalam sunnatullah”(Al
Ahzab:62; lihat juga Fathir:43 dan Al Fath:23).
Itulah sebabnya mereka tidak percaya adanya mu`jizat,
yang dianggapnya tidak rasional. Menurut mereka bila benar ada mu`jizat berarti
Allah telah melangar sunnah-Nya sendiri.
Sudah barang tentu pendapat seperti ini bertentangan
dengan apa yang dikajinya dari al Qur`an dan as Sunnah. Bukankah Allah
menyatakan bahwa:“(Allah) melakukan segala apa yang Dia
kehendaki”(Hud : 107).
Untuk kehidupan manusia Allah telah memberikan hukum yang
dinmakan sunnatullah dan bersifat tetap. Tetapi
bagi Allah berlaku hukum pengecualian, karena sifat-Nya sebagai Pencipta yang
Maha Kuasa. Allah adalah Penguasa mutlak. Hukum yang berlaku bagi manusia jelas
berbeda dengan hukum yang berlaku bagi Allah. Bukankah Allah dalam mencipta
segala sesuatu tidak melalui hukum sunnatullah yang berlaku bagi kehidupan
manusia ? Allah telah menciptakan sesuatu yang tidak ada menjadi ada,
menciptakan dari suatu benda mati menjadi benda hidup. Adakah yang dilakukan
Allah dapat dinilai secara rasional ?
Salah satu dialog beliau dengan Abu Ali Al Jubba`i yang
terkenal adalah mengenai, apakah perbuatan Allah dapat diketahui hikmahnya atau
di ta`lilkan atau tidak. Faham Mu`tazilah berpendapat bahwa perbuatan
Allah dapat dita`lilkan dan diuraikan hikmahnya. Sedangkan menurut pendapat
Ahlus Sunnah tidak. Berikut ini dialog antara Abu Al Hasan dengan Abu Ali al
Jubba`i:
A[1] :“Bagaimana kedudukan orang mukmin dan orang
kafir menurut tuan?”
B[2] :“Orang mukmin mendapat tingkat tinggi di
dalam surga karena imannya dan orang kafir masuk ke dalam neraka”.
A :“Bagaimana dengan anak kecil?”
B :“Anak kecil tidak akan masuk neraka”.
A :“Dapatkah anak kecil mendapatkan tingkat
yang tinggi seperti orang mukmin?”
B :“Tidak, karena tidak pernah berbuat baik”.
A :“Kalau demikian anak kecil itu akan
memprotes Allah kenapa ia tidak diberi umur panjang untuk berbuat kebaikan”.
B :“Allah akan menjawab, kalau Aku biarkan
engkau hidup, engkau akan berbuat kejahatan atau kekafiran sehingga engkau
tidak akan selamat”.
A :“Kalau demikian, orang kafir pun akan
protes ketika masuk neraka, mengapa Allah tidak mematikannya sewaktu kecil agar
selamat dari neraka”.
Abu Ali
Al Jubba`i tidak dapat menjawab lagi, ternyata akal tidak dapat diandalkan.Abu
al Hasan Al Asy`ary dalam meninjau masalah ini selalu berdasar kepada sunnah
Rasulullah. Itulah sebabnya maka madzhab yang dicetuskannya lebih dikenal
dengan Ahlus Sunnah wal Jama`ah.
Abu al Hasan al Asy`ary Pencetus Faham Asy`ariyah
Namun karena pengaruh yang cukup dalam dari faham
Mu`tazilah, pada mulanya cetusan pendapat Abu Al-Hasan sedikit banya
dipengaruhi oleh Ilmu Kalam. Keadaan seperti ini sangat dimaklumi karena
tantangan yang beliau hadapi adalah kelompok yang selalu berhujjah kepada
rasio, maka usaha beliau untuk koreksi terhadap Mu`tazilah juga berusaha dengan
memberikan jawaban yang rasional. Setidak-tidaknya beliau berusaha menjelaskan
dalil-dalil dari Al Qur`an atau As Sunnah secara rasional. Hal ini dapat
dilihat ketika beliau membahas tentang sifat Allah dalam beberapa hal beliau
masih menta`wilkan sebagiannya. Beliau menyampaikan pendapatnya tentang adanya
sifat Allah yang wajib menurut akal.
Pada mulanya manhaj Abul Hasan Al Asy`ary dalam bidang
aqidah menurut pengakuan secara teoritis pertama berdasarkan naqli atau wahyu
yang terdiri dari Al Qur`an dan Al Hadits Al Mutawatir, dan kedua berdasarkan
akal. Namun dalam prakteknya lebih mendahulukan akal daripada naql. Misalnya
dalam menetapkan dua puluh sifat wajib bagi Allah, diawali dengan menetapkan
hanya tiga sifat wajib, kemudian berkembang dalam menyimpulkan menjadi lima
sifat, tujuh sifat, dua belas sifat atau dan akhirnya dua puluh sifat atau yang
lebih dikenal dengan Dua puluh Sifat Allah (7 sifat hakiki, 13 sifat majazi). Penetapan
sifat hakiki dan majazi adalah berdasarkan rasio.
Penetapan
tujuh sifat hakiki tersebut karena bila Allah tidak memilikinya berarti
meniadakan Allah. Ketujuh sifat hakiki tersebut adalah hayyun bihayatin, alimun
bi ilmin, qadirun bi qudratin, sami`un bi sam`in, basyirun bi basharin,
mutakallimun bi kalamin dan muridun bi iradatin. Sedangkan mengenai tiga belas
sifat majazi bila dikatakan sebagai sifat hakiki berarti tasybih atau
menyamakan Allah dengan makhluk.
Ketika ditanyakan: “Bagaimana menetapkan sifat hakiki
tersebut, sedangkan sifat itu secara lafziah sama dengan sifat-sifat yang
dimiliki oleh makhluk?” Jawabannya: “Sifat-sifat tersebut dari segi lafaz sama
dengan makhluk, namun bagi Allah SWT mempunyai arti `maha` sesuai dengan
kedudukan Allah yang Maha Kuasa”. Hal inilah yang menjadi bahan pertentangan
dikemudian hari.
Abu Al Hasan Al Asy`ary kembali ke Salaf
Pada akhirnya setelah banyak berdialog dengan seorang
bernama Al Barbahari (wafat 329 H), Abul Hasan Al Asy`ary menyadari
kekeliruannya dalam pemahaman aqidah terutama dalam menetapkan sifat-sifat
Allah dan hal lain tentang ghaibiyat. Empat tahun sebelum beliau wafat beliau
mulai menulis buku Al Ibanah fi Ushul Al-Diyanah merupakan buku terakhir beliau
sebagai pernyataan kembali kepada faham Islam sesuai dengan tununan salaf. Namun
buku ini tidak sempat terbahas secara luas di kalangan umat Islam yang telah
terpengaruh oleh pemikiran beliau sebelumnya.
Untuk mengenal lebih jauh tentang kaidah pemikiran beliau
di bidang aqidah sesudah beliau kembali ke metode pemikiran salaf yang kemudian
lebih dikenal dengan Salafu Ahli As Sunnah wa Al Jama`ah, beliau merumuskannya
dalam tiga kaidah sebagai berikut:
a)
Memberikan
kebebasan mutlak kepada akal sama sekali tidak dapat memberikan pembelaan
terhadap agama. Mendudukkan akal seperti ini sama saja dengan merubah aqidah.
Bagaimana mungkin aqidah mengenai Allah dapat tegak jika akal bertentangan
dengan wahyu.
b)
Manusia
harus beriman bahwa dalam urusan agama ada hukum yang bersifat taufiqi, artinya
akal harus menerima ketentuan wahyu. Tanpa adanya hukum yang bersifat taufiqi
maka tidak ada nilai keimanan.
c)
Jika
terjadi pertentangan antara wahyu dan akal maka wahyu wajib didahulukan dan
akal berjalan dibelakang wahyu. Dan sama sekali tidak boleh mensejajarkan akal
dengan wahyu apalagi mendahulukan akal atas wahyu.
Adapun
manhaj Abul Hasan dalam memahami ayat (tafsir) adalah sebagai berikut:
ü
Menafsirkan
ayat dengan ayat.
ü
Menafsirkan
ayat dengan hadits
ü
Menafsirkan
ayat dengan ijma`.
ü
Menafsirkan
ayat dengan makna zahir tanpa menta`wilkan kacuali ada dalil.
ü
Menjelaskan bahwa Allah
menurunkan Al Quran dalam bahasa Arab, untuk itu dalam memahami Al Quran harus
berpegang pada kaidah-kaidah bahasa Arab.
ü
Menafsirkan ayat dengan
berpedoman kepada asbabun-nuzul dari ayat tersebut
ü
Menjelaskan bahwa isi ayat
Al Quran ada yang umum dan ada yang khusus, kedua-duanya harus ditempatkan pada
kedudukannya masing-masing.
Banyak
sekali buku-buku karya Abul Hasan Al Asy`ary. Yang ditulis beliau sebelum tahun
320 (sebelum kembali kepada manhaj salaf) lebih dari 60 buku. Sedangkan yang
ditulis sesudah tahun 320 hampir mencapai 30 buah buku, diantara yang terakhir
ini adalah Al Ibanah fi Ushul Ad Diyanah.
2.
Tokoh-tokoh
Asy’ariyah dan Ajaran-Ajarannya.
a.
Muhammad Ibn al-Thayyib Ibn
Muhammad Abu Bakr al-Baqillani.
Ia
adalah tokoh Asy’ariyah yang mendapat ajaran-ajaran Al-Asy’ari dari dua murid
Al-Asy’ari, yaitu Ibn Mujahid dan Abu Al-Hasan Al-Bahili.. beliau wafat
di Bagdad pada tahun 1013 Masehi.
Ajaran-ajaran
yang disampaikannya tidak selalu selaras dengan ajaran Al-Asy’ari, misalnya
bahwa sifat Allah itu bukan sifat melainkan hal. Selanjutanya ia juga tidak sepaham dengan Al-Asy’ari
mengenai perbuatan manusia. Menurut Al-Asy’ari perbuatan manusia adalah
diciftakan Tuhan seluruhnya, sedangkan menurut Al-Baqillani, manusia mempunyai
sumbangan yang efektif dalam perwujudan perbuatannya. Yang diwujudkan Tuhan
ialah gerak yang terdapat dalam diri manusia, adapun bentuk atau sifat dari
gerak itu dihasilkan oleh manusia itu sendiri.
Pernyataan-pernyataannya
mengarah pada extrim, dalam mengikuti suatu pendapat dan dalam memberikan
dukungan dan pembelaan, sebab premis rasional tidak pernah disebutkan dalam
al-Qur’anmaupun sunnah, ruang geraknya luas dan pintunya terbuka lebar. Metode
yang ditempuhnya juga banyak. Boleh saja seseorang sampai kepada bukti-bukti
dari berbagai penalaran akal dan menghasilkan berbagai konklusi melalui
berbagai eksperimen yang tidaklah buruk selama tidak bertentangan dengan konklusi
yang dicapainya dan pemikiran yang dihasilkannya.
b.
Abd al-Malik al-Juwaini
Beliau
lahir di Khurasan tahun 419 Hijriyah dan wafat pada tahun 478 Hijriyah.
Namanya aslinya tidak begitu dikenal malah ia terkenal dengan nama Iman Al-Haramain.
Hampir
sama dengan Al-Baqillani, ajaran-ajaran yang disampaikannya banyak yang
bertentangan dengan ajaran Al-Asy’ari. Misalnya Tangan Tuhan diartikan (ta’wil)
kekuasaan Tuhan, mata Tuhan diartikan penglihatan Tuhan dan wajah Tuhan
diartikan Wujud Tuhan, sedangkan mengenai Tuhan duduk diatas takhta kerajaan
diartikan Tuhan berkuasa dan Maha Tinggi.
Mengenai
soal perbuatan manusia, ia mempunyai pendapat yang lebih jauh dari
Al-Baqillani. Daya
yang ada pada manusia itu mempunyai efek, tetapi efeknya serupa dengan efek yang
terdapat antara sebab dan musabab. Wujud perbuatan manusia tergantung pada daya
yang ada pada manusia, wujud daya itu bergantung pada sebab yang lain dan wujud
sebab itu bergantung pula pada sebab yang lain dan demikianlah seterusnya
hingga sampai pada sebab dari segala sebab yaitu Tuhan.
c.
Abu Hamid al-Ghazali
Beliau
adalah murid dari Abd al-Malik al-Juwaini yang lahir pada tahu 1058-1111
Masehi.
Paham
teologi yang dianutnya tidak jauh berbeda dengan paham-paham Al-Asy’ari. Dia
mengakui bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat qadim yang tidak identik dengan dzat
Tuhan dan mempunyai wujud diluar dzat. Juga Al-Qur’an bersifat qadim dan tidak
diciptakan. Mengenai perbuatan manusia ia juga berpendapat bahwa Tuhanlah yang
menciptakan daya dan perbuatan. Dan daya untuk berbuat lebih menyerupai
impotensi.
Selanjutnya ia menyatakan bahwa Tuhan dapat dilihat,
sebab setiap yang mempunyai wujud dapat dilihat. Selanjutnya ajaran yang
disampaikannya adalah penolakan tentang paham keadilan yang diajarkan oleh
Mu’tazilah. Tuhan tidak berkewajiban menjaga kemashlahatan (al-salah wa
al-ashlah) manusia, tidak wajib memberi upah atau ganjaran kepada manusia
atas perbuatan-perbuatannya, bahkan Tuhan boleh memberi beban yang tidak
mungkin dikerjakan manusia.
B. Latar belakang Maturidiyah
1.
Sejarah
Maturidiyah
Berdirinya aliran ini kembali kepada Abu Mansur al-Maturidi, dia
adalah Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al-Maturidi al-Samarqandi. Maturidi
adalah nisbat kepada Maturid, sebuah tempat di Samarkand, di daerah inilah Abu
Mansur lahir, tahun kelahirannya samar, tidak diketahui dengan pasti. Ahli
sejarah yang menyebutkan biografinya tidak menjelaskan kehidupannya, bagaimana
dia tumbuh dan dari siapa dia belajar, yang diketahui dari guru-gurunya adalah
Nashir atau Nushair bin Yahya al-Balakhi, dari orang ini Abu Mansur belajar
fikih madzhab Hanafi dan ilmu kalam.
Abu Mansur memiliki kedudukan tinggi di kalangan para
pengikut Maturidiyah sehingga mereka menjulukinya dengan “Imam al-Huda dan Imam
al-Mutakallimin”.
Abu Mansur hidup satu masa dengan Abul Hasan al-Asy’ari
meskipun tidak ada keterangan sejarah bahwa keduanya pernah bertemu atau saling
membaca buku yang lain, hanya saja dalam beberapa hasil pemikiran kedua orang
ini bertemu, tentu dengan pemikiran Abu Musa yang lama sebelum dia rujuk kepada
pemikiran salaf shalih.
Abu Mansur wafat di Samarkand pada tahun 333 H dan
dimakamkan di sana. Dia meninggalkan beberapa karya tulis diantarnya, Ta’wilat
Ahlus Sunnah atau Ta’wilat al-Qur`an, dalam bukunya ini Abu Mansur
mengangkat ayat-ayat al-Qur`an khususnya ayat-ayat sifat dan mentakwilkannya
dengan takwil Jahmiyah. Di antara bukunya yang lain adalah Kitab Tauhid,
kitab ini tentang ilmu kalam, di dalamnya dia menetapkan pendapat-pendapatnya
yang berkaitan dengan masalah-masalah i’tiqadiyah, dan yang dia maksud
dengan tauhid dalam kitabnya ini adalah tauhid Khaliqiyah dan Rububiyah
ditambah dengan sedikit tauhid Asma’ wa Sifat akan tetapi dengan manhaj
Jahmiyah dengan mengingkari banyak sifat-sifat Allah dengan alasan mensucikan
dan meniadakan tasybih dari Allah, hal ini tidak sejalan dengan manhaj
yang shahih yaitu manhaj salaf shalih.
2. Tokoh-tokoh Maturidiyah dan
Ajaran-Ajarannya.
Setelah Abu Mansur wafat, pemikiran-pemikirannya diwarisi dan
diperjuangkan oleh murid-muridnya dan orang-orang yang terpengaruh oleh pemikirannya,
di tangan mereka ini Maturidiyah membentuk diri sabagai aliran kalamiyah yang
muncul pertama kali di Samarkand. Murid-murid Abu Mansur mulai menyebarkan
pemikiran-pemikiran syaikh dan imam mereka, mereka menulis buku-buku demi itu,
hasilnya pemikiran-pemikiran Maturidiyah laku di negeri tersebut, hal ini
karena mereka terbantu oleh kesamaan dalam madzhab fikih yaitu madzhab Hanafi.
Salah satu murid Abu Mansur adalah Abul Qasim Ishaq bin
Muhammad bin Ismail al-Hakim al-Samarqandi, wafat tahun 342 H, dia dikenal
dengan al-Hakim karena hikmahnya yang banyak dan nasihat-nasihatnya. Ada
seorang murid lagi yaitu Abu Muhammad Abdul Karim bin Musa bin Isa al-Bazdawi,
wafat tahun 390 H, selanjutnya orang ini memiliki seorang cucu yang menjadi
salah satu pembawa pemikiran-pemikiran Maturidiyah, dia adalah Abul Yasar
al-Bazdawi Muhammad bin Muhammad bin al-Husain bin Abdul Karim yang berjuluk al-Qadhi
ash-Shadr, Syaikh madzhab Hanafi di Bazdawah pada masanya.
Abul Yasar ini belajar dari bapaknya yang belajar dari
kakeknya Abdul Karim salah seorang murid Abu Mansur, di samping dia membaca
kitab-kitab ahli filsafat seperti al-Kindi dan lainnya, dia juga mempelajari
buku-buku Mu’tazilah seperti al-Jubba’i, an-Nazham dan lain-lain. Dia juga mempelajari buku-buku Abu Musa al-Asy’ari dan buku-buku
Abu Mansur seperti at-Ta’wilat dan at-Tauhid. Untuk buku yang
terakhir ini dia memandang pembahasannya bertele-tele dan menyulitkan serta
penyusunannya yang tidak sistematis oleh karena itu dia mengulang penyusunan
dan pemaparannya agar lebih muda untuk dikaji, hal ini dia tuangkan dalam
bukunya Ushuluddin dengan beberapa penambahan darinya. Abul Yasar wafat
di Bukhara tahun 493 H dengan meninggalkan banyak murid, salah satunya adalah
Najmuddin Umar bin Muhammad an-Nasafi, peletak sebuah buku dalam akidah yang
terkenal dengan al-Aqidah an-Nasafiyah.
Najmuddin Umar an-Nasafi, bisa dikatakan, dia adalah
pelopor Maturidiyah dalam bidang karya tulis karena dia banyak menuangkan
dasar-dasar akidah Maturidiyah dalam buku-bukunya yang berjumlah besar, dia
adalah Abu Hafsh Najmuddin Umar bin Muhammad bin Ahmad bin Ismail al-Hanafi
an-Nasafi, nisbat kepada Nasaf, sebuah kota di antara Jaihun dan Samarkand. Najmuddin adalah julukannya.
Najmuddin Umar an-Nasafi lahir di Nasaf pada tahun 462 H,
dia terkenal dengan syaikh-syaikhnya yang berjumlah besar mencapai lima ratus
orang, di antara mereka adalah Abul Yasar al-Bazdawi dan Abdullah bin Ali bin
Isa an-Nasafi, sebagaimana dia memiliki murid dalam jumlah besar pula, tidak
hanya itu dia juga memiliki karya tulis juga dalam jumlah besar yang menjadi
buku induk dalam menetapkan pemikiran-pemikiran Maturidiyah. Di antara buku-bukunya adalah Majma’ al-Ulum, at-Taisir fi
Tafsir al-Qur`an, an-Najah fi Syarh Kitab Akhbar ash-Shihah, buku ini
adalah syarah dari shahih al-Bukhari, dan sebuah buku dalam akidah yaitu al-Aqidah
an-Nasafiyah, buku ini adalah ringkasan dari buku at-Tabshirah karya
Abu Muin an-Nasafi, buku ini adalah salah satu buku terpenting dalam akidah
Maturidiyah. Najmuddin Umar an-Nasafi wafat di Samarkand pada malam Kamis, 12
Jumadil Ula 537 H.
Setelah masa Najmuddin Umar an-Nasafi, Maturidiyah
mengalami kemajuan dan perkembangan yang berarti, hal ini karena mereka mampu
meraih simpati para Sultan Daulah Utsmaniyah yang berpusat di Turki, dan
akhirnya para sultan tersebut menjadi pendukung Maturidiyah sehingga pengaruh
Maturidiyah menyebar ke negeri-negeri yang dijangkau oleh kekuasaan Daulah
Utsmaniyah. Di masa ini
muncul al-Kamal bin al-Hammam penulis al-Muyasarah fi al-Aqa’id al-Munjiyah
fi al-Akhirah yang pada saat ini masih dijadikan sebagai buku wajib di
sebagian universitas.
Di masa kini pemikiran Maturidiyah banyak dianut di
beberapa negeri kaum muslimin khususnya di Turki, Afghanistan dan sekitarnya,
Pakistan dan India. Di dua negara
yang terakhir ini ada beberapa madrasah yang mengusung
pemikiran-pemikiran Maturidiyah, salah satunya adalah madrasah Kautsariyah
yang dinisbatkan kepada syaikh Muhammad Zahid al-Kautsari al-Jarkasi al-Hanafi
al-Maturidi, wafat tahun 1371 H. Madrasah ini berciri khas mencela dan
menyerang para imam Islam, menurut mereka para imam Islam tersebut adalah mujassimah
dan musyabbihah yakni orang-orang yang menjasadkan dan menyerupakan Allah
dengan makhlukNya, hanya karena para imam tersebut menetapkan sifat-sifat Allah
sebagaimana yang ditetapkan oleh al-Qur`an dan sunnah sesuai dengan pamahaman
salaf umat, mereka mengkategorikan buku-buku para imam Islam seperti at-Tauhid,
al-Ibanah, asy-Syariah,as-Sifat, al-Uluw dan buku para imam sunnah lainya
sebagai buku-buku watsaniyah (berhalawiyah). Madarasah ini juga getol berdakwah
kepada bid’ah-bid’ah syirkiyah seperti mengagung-agungkan kubur dan penghuninya
dengan kedok bertawasul.
Teologi Asy’ariyah dan Maturidiyah
A.
Teologi Asy’ariyah
1.
Definisi
Asy’ariyah
Asy’ariyah adalah aliran kalam yang dinisbatkan kepada Abu Mansur
al-Maturidi yang berpijak kepada Abu al Hasan yang berdasarkan pengakuan secara
teoritis pertama berdasarkan naqli atau wahyu yang terdiri dari Al Qur`an dan
Al Hadits Al Mutawatir, dan kedua berdasarkan akal.Tujuan dari gerakan
Asy’ariyah sama dengan aliran maturidiyah adalah sebagai reaksi terhadap aliran
mu’tazilah yang dianggap tidak sesuai dengan kaidah yang benar menurut akal dan
syara.
2.
Doktrin-Doktrin
Teologi Asy’ariyah
a) Wujud
dan Sifat Tuhan
Para ulama ilmu Kalam, baik Asy’ariyah maupun
Mu’tazilah, dan para filosof, dalam pembahasan penting ini menyepakati urgensi
akal dalam menetapkan keberadaan Tuhan serta menumbuhkan keyakinan kepada-Nya.
Berbeda dengan ahl al Dzahir, para Mutakalimin menyerahkan segala kemampuan
logika mereka dalam menetapkan kebenaran tuhan sebagaimana yang diinginkan
dzahir teks agama. Dari sini, jelas Nampak adanya keterlibatan manusia -atau
setidaknya aspek kemanusiaan- dalam berbagai kajian ketuhanan (Teologi).
Asy’ariyah, dengan gaya ortodoksnya,
mencobamenempatkan dirinya sebagai penengah (moderasi)diantara dua aliran;
yaitu Salafiyah danMu’tazilah.Namun, kajian teologis Asy’ariyah –dengandidukung
oleh silogisme Aristotelian atau logikaformal-deduktif ditambah dengan mengadopsi
secaradistorsif teori-teori filsafat natural (tabhi’at)-malah pada akhirnya
tidak menampilkan kajian teologisyang empiris-metodologis. Bahayanya lagi,argumen-argumen Asy’ariyah dapat saja
mengalamieskalasi sehingga mencapai tingkat ‘ilhad’(pengingkaran akan wujud
Tuhan) dan tajsim(antropomorfisme).
Dapat kita temukan dalam alur pemikiran
Asy’ariyah
adanya kesan ‘keterpaksaan’ dalam menggunakanteori-teori filsafat alam (natural philosophy) sepertiteori al huduts (kebaharuan alam), al Imkan(probabilitas) dan Jauhar fard (subtansi tunggal).
adanya kesan ‘keterpaksaan’ dalam menggunakanteori-teori filsafat alam (natural philosophy) sepertiteori al huduts (kebaharuan alam), al Imkan(probabilitas) dan Jauhar fard (subtansi tunggal).
Teori al huduts menetapkan premis-premis
logis bahwaalam itu hadis (baru;tidak qadim) karena alam ituselalu berubah. Semua yang hadis pasti berasal darimuhdis
(pembaru;pelaku al hudus) dan muhdis tersebutharus qadim, sebab kalau tidak ,
maka akan terjadidaur atau tasalsul (kausalitas tanpa akhir). Sedangdalam
doktrin teologinya, daur dan tasalsul itumustahil. Selanjutnya, Asy’ariyah
langsung menetapkan bahwa yang qadim itu adalah Tuhan.
Sedangkan teori al imkan mengatakan, alam itu
bersifatmumkin, yaitu mungkin terjadi mungkin tidak. Segalasesuatu yang mungkin membutuhkan ‘illat murajjih
yangmenyebabkan adanya sesuatu itu dan ‘illat tersebutharus berakhir pada zat
yang wajib al wujub (wajibada). Sebab kalau tidak, akan terjadi tasalsul,
dantasalsul itu mustahil. Maka langsung ditetapkan bahwawajib al wujub itu
adalah Tuhan. Lain lagi dengan teori Jauhar al fard Asy’ariyahmenetapkan bahwa
segala sesuatu itu terdiri daribagian-bagian atau ajzaa’, dan bagian-bagian ini
akansampai kepada bagian yang terkecil (substansi akhir)yang tidak dapat
terbagi bagi lagi, karena selanjutnyadinamakan Jauhar al fard (substansi
tunggal). Karenasemua jauhar tidak terlepas dari ‘aradl (sifat yanghadits),
maka konklusinya semua jauhar adalah hadits.Anehnya, beranjak dari
premis-premis fisikal di atas,Asyariyah mengadakan lompatan kepada
kesimpulanmetafisikal. Dalam artian, Asy’ariyah berusahamenemukan dalil dari
hal-hal yang natural untukmembuktikan sesuatu yang natural.
Metodologi ini jelasbertentangan dengan
metodi empirisme ilmiah.Meskipun logika idealektik yang berusaha dibangun
olehAsy’ariyah masih mengadung nilai- nilai empirik, tapiargumen-argumennya
tetap saja membingungkan. Bagaimana mungkin Asy’ariyah membuktikan bahwa alam itu hadits,sementara
gerakan dan siklus yang merupakan sifattetap alam telah berlangsung tanpa
permulaan. Padahakikatnya alam adalah qadim, dalam pengertian bahwaTuhan
menciptakan alam tanpa permulaan dan tanpa bahandasar, dan jarak antara
keberadaan Tuhan dankeberadaan alam tidak mungkin diukur dengan waktu.Dengan
kata lain, tidak ada rentang waktu antara Tuhandengan alam walau sedetik pun.
Dan posisi Tuhan tidaklain adalah ‘illat atau sebab keberadaan alam. TanpaTuhan
alam tidak akan pernah ada.
Asy’ariyah dalam logikanya mengambil kaidah
“kunci”yaitu kemustahilan daur dan tasalsul. Apa alas anAsy’ariyah menetapkan kaidah seperti itu?
Padahakikatnya, daur dan tasalsul itu hal yang wajar danmerupakan tabiat alam.
Tuhan telah menciptakan siklusdan hubungan kausalitas (sebab akibat)
sehinggamanusia sanggup mengolah dan memproses daur ulang alamini dengan ilmu
pengetahuannya. Teori kemustahilan inihanya berakibat terhambatnya ilmu
pengetahuan danmenjadikan manusia pasif dalam hidupnya.
Hubungan hadits-muhdits oleh Asy’ariyah
diidentikandangan hubungan mashnu’ dan shani’nya (pembuat danyang dibuat). Katanya alam ini adalah buatanTuhan,sebagaimana kursi
adalah buatan tukang.Konsekuensi dari keyakinan tersebut membawa akalmanusia
sehingga mengibaratkan Tuhan sebagai person(al Syakhsy) dan pada gilirannya
menimbulkanpenafsiran materil terhadap hal-hal ghaib. Seiringdengan itu pula,
penafsiran fenomena alam dengankaidah hadits-muhdits sama halnya merampas
esensi alamtersendiri. Dengan memahami hadits sebagai “sesuatuyang pada awalnya
tidak ada kemudian diadakan”menjadikan ketidakadaan sebagai standar keberadaan.
Ini menyebabkan alam kehilangan esensinya
danmemaksakan ketergantungannya kepada “sesuatu yanglain” di luar dirinya. Akhirnya, realita dan subtansialam ini akan hilang dan
yang tinggal bertahan dalamwujud nyata adalah alam metafisik yang pada
hakikatnyatidak nyata. Secara sosio-psikologis, pengaruhnya punberlanjut pada
manusia, dimana menusia adalah unsur dan bagian utama di alam ini. Dengan
hilangnya esensialam, maka manusia pun kehilangan esensinya danmanjadi wujud
hampa tanpa arti.
Secara psikologis, argumen tentang huduts-nya
alamcukup membahayakan esistensi manusia tatkala kitamenerima hipotesa
imajinatif tersebut, yaitu bahwaalam itu diadakan dari tidak ada oleh sang
muhdits,hal itu mengisyaratkan bahwa manusia pada dasarnyalemah dan tidak mampu
melakukan perubahan danpembaruan dalam kehidupannya di alam ini. Sebab secaralogis, segala bentuk perubahan, besar
maupun kecil,semuanya disandarkan pada kekuatan dan kemampuan sangmuhdits,
yaitu zat selain manusia. Memang betul,manusia tidak menciptakan dirinya juga
tidak mampumenciptakan alam walau seekor nyamuk pun. Tapi, apakahitu
dimaksudkan agar manusia melemahkan dirinya danmenggantungkan dirinya pada
sesuatu kakuatan lain diluar dirinya dan di luar alam ini. Sebenarnya,
argument-argumen distorsif tersebut berangkat dari landasankeimanan subyektif
semata tidak dari tinjauan obyektifilmiah.
Sesuatu argumen lagi yang tidak kalah
membingungkan,yaitu deskripsi Asy’ariyah tentang pembagian sesuatupada
bagian-bagian tertentu dan berakhir pada jauharfard. Perlu dipertanyakan “bagaimana Asy’ariyahmenetapkan dan
membuktikan adanya sesuatu yangdisebutnya jauhar fard? Apakah jauhar fard
tersebutpada kenyataannya memang ada, atau hanya hipotesaimajinatif (al wahm)
semata yang ditujukan untukmengunggulkan eksistensi sang muhdits?
Pada hakikatnya ilmu pengetahuan membuktikan
bahwaalam itu tidak dapat dibagi-bagi kepada jauharsebagaimana anggapan
Asy’ariyah. Alam
itu tidak dapatdibagi dan diurai dalam bentuk unsur-unsur danpenguraian ini
dapat berlangsung terus menerus tanpaberhenti. Kondisi ini sangat mendukung
perkembanganilmu pengetahuan dan penemuan-penemuan ilmiah.Jelasnya argumen
Asy’ariyah tentang adanya jauhar fardtidak lebih dari hipotesa imajinatif akal
yang tidakfaktual.Perlu diketahui, bahwa makna wujud itu sendiriada tiga;
pertama, wujud sesuatu itu dapat dipahamibila sesuatu itu dapat diketahui.
Jadi, standar wujudsesuatu adalah adanya kemungkian pengetahuan terhadapnya.
Teologi yang dipelopori oleh asy’ari dan di
kembangkanoleh al-Ghazali itu telah mempengaruhi banyak agama didunia,
khususnya yang bersentuhan langsung denganIslam,yaitu yahudi dan Kresten,
sebegitu rupa.Sehingga banyak agama Yahudi seperti yang ada padasekarang ini
adalah adalah bahwa agama yahudi yangdalam bidang teologi telah mengalami
“pengislaman”,.
Di zaman Modern yang pengetahuan semakin
melimpah ruahini, ternyata teologi Asy’ari masih relefan dalam bukuNur Khalis
Madjid, Willian Craig, seorang tokoh ahliFilsafat Modern dari Berkeley,
California, Ilmupengetahuan mutahir, khususnya teori-teori tentangasal kejadian
alam raya seperti teori ledakan besardalam Astronomi Modern sangat menujang
argumen-argumenIlmu kalam yang di kembangkan oleh asy’ariyah.
b) Keadilan Manusia dan Perilaku Manusia
Diantara tema-tema sentral teologi Asy’ariyah, topik
keadilan Tuhan (al ‘Adl)- dalam hal ini adalah standarnilai kebaikan dan
keburukan- menempati deretan yangpaling penting. Topik ini, disamping
merupakanpembahasan yang cukup luas dan sangat berkaitan dengansegi-segi
fundamental dalam bangunan ideologi Islam,juga sangat mempengaruhi corak
perilaku umatpenganutnya. Pada awal kemunculannya, konsep ini hanyamerupakan
respons terhadap teologi Mu’tazilah yangekstrem-rasionalistik. Dan pada
perkembanganselanjutnya, konsep keadilan Asy’ariyah ini tidakdapat terhindar
dari pengaruh-pengaruh Jabariyah(Fatalisme).
Asy’ariyah mencoba menampilkan pemikirannya
tentangkeadilan dengan beranjak dari konsep kemutlakan iradah(keinginan) Tuhan.
Mereka beranggapan bahwa
Tuhantelah menciptakan kebaikan (al khair) dan keburukan(al syarr) serta
sekaligus ‘menghendaki’ keberadaankeduanya sebagai dualisme nilai yang dianut
manusia. Kemudian, dari sisi lain mereka menegaskanbahwa kebaikan dan keburukan
itu merupakan sesuatuyang relatif- dalam artian, tidak ada sesuatu yangpada
hakikatnya baik dan buruk- dan selanjutnyamengembalikan kedua nilai tersebut
kepada kemutlakansyara’ sebagai standar utama. Segala yang diakui
dandilegitimasi oleh syara’ sebagai kebaikan, maka halitu pastilah baik. Dan
demikian pula sebaliknya, bahwakeburukan hanyalah yang diakui oleh syara’
sebagaikeburukan. Namun kalau demikian halnya, bagaimanamungkin Asy’ariyah
mengakui adanya nilai baik danburuk dari satu sisi dan mengingkari
keberadaannyadari sisi lain?
Sesungguhnya, argumentasi Asy’ariyah yang
demikian ituhanya ditujukan untuk menolak pendapat Mu’tazilah (ahlal ‘adl) yang
menempatkan akal sebagai satu-satunyastandar nilai baik dan buruk. Dengan sangat responsif,mereka menegaskan bahwa syara
lah satu-satunya sumbernilai yang berwenang menentukan segalanya, dan
dengansendirinya menafikan fungsi akal dalam menilai suatuperbuatan. Dengan
kata lain, sebelum syara’diturunkan, akal manusia tidak mampu mengetahui
bahwakejujuran adalah baik dan bohong itu adalah buruk.Bahwa seandainya Tuhan memerintahkan
manusia untukberbohong atau setidaknya melegitimasi kebohongantersebut, maka
tentunya hukum pun akan berubah,sesuatu yang awalnya buruk berubah nilai
menjadi baik. atau seandainya Tuhan melarang manusia untuk berlakujujur maka
kejujuran akan berubah menjadi perbuatantercela.
Untuk membuktian kebenaran pendapatnya,
Asy’ariyahberalasan bahwa akal manusia sangat relatif dalammenilai sesuatu dan
sangat dipengaruhi oleh unsur subyektivitas serta kepentingan pribadi. Maka tanpaketerlibatan otoritas syara’, nilai kebaikan
dankeburukan akan sangat relatif. Secara globalAsy’ariyah mengakui relativitas
akal manusia padaperbedaan- perbedaan yang ada dalam berbagai adat danaturan
konvensional antar komunitas tertentu. Disamping itu, kenisbian nilai moral merupakan
dasarutama adanya perbedaan yang menyolok dalam berbagai ajaran agama.
Sekilas nampak kebenaran argumentasi diatas.
Tapisebaliknya argumen tersebut cukup keliru, sebabpendapat yang mengatakan
tentang kenisbian nilai moral tidak mutlak benar. Para ahli telah mengakui
adanyaprinsip-prinsip moral dasar yang selamanya sejalandengan
ketetapan-ketetapan syariat dan hukum konvensional. Prinsip-prinsip dasar ini
tidakmengalami perubahan sepanjang kehidupan manusia. Danmanusia hanya berbeda
dan berselisih sekitar hal-halyang parsial dan tidak prinsipil. Nilai dasar
akanberubah jika dipengaruhi atau dituntut oleh kondisitertentu, yang pada
hakikatnya bersifat temporal.
Kewenangan syara’ dan pengosongan nilai yang
dilakukanAsy’ariyah pada setiap perbuatan manusia dapatmenyebabkan kekacauan
dan pertikaian antar individuyang memperjuangkan kepentingan tertentu. Pihak- pihakpenguasa tentu saja dapat mempolitisir
danmelegitimasi ketetapan syara’ untukkepentingan-kepentingan pribadinya atau
kepentingangolongan tertentu. Dan di sisi lain, pihak yang lebihlemah terpaksa
harus mengakui ‘kebenaran’ yangdiperbuat oleh pihak penguasa.Sebaga imana yang
telah disebutkan diatas, teologiAsy;ariyah adalah teologi moderasi atau
penengah antardua ekstermitas. Dalam konteks ini, Asy’ariyahmenampilkan teori
Kasb sebagai ‘pelarian’ darikekuatiran mereka dari otoritas akal manusia dari
satusisi dan sifat fatalisme dari sisi lain.
B. Teologi Maturidiyah
1.
Definisi
Maturidiyah
Maturidiyah
adalah aliran kalam yang dinisbatkan kepada Abu Mansur al-Maturidi yang
berpijak kepada penggunaan argumentasi dan dalil aqli kalami dalam
membantah penyelisihnya seperti Mu’tazilah, Jahmiyah dan lain-lain untuk
menetapkan hakikat agama dan akidah Islamiyyah.
2.
Doktrin-Doktrin
Teologi Maturidiyah
a) Akal
dan Wahyu
Al-Maturidi dalam pemikiran teologinya berdasarkan pada Al-Qur’an
dan akal, akal banyak digunakan diantaranya karena dipengaruhi oleh Mazhab Imam
Abu Hanifah. Menurut Al-Maturidi, mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat
diketahui dengan akal. Hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang
memerintahkan agar manusia menggunakan akalnya untuk memperoleh pengetahuan dan
keimanannya terhadapAllah melalui pengamatan dan pemikiran yang mendalam
tentang makhluk ciptaan-Nya. Jika
akal tidak memiliki kemampuan tersebut, maka tentunya Allah tidak akan
memerintahkan manusia untuk melakukannya. Dan orang yang tidak mau menggunakan
akal untuk memperoleh iman dan pengetahuan mengenai Allah berarti ia telah
meninggalkan kewajiban yang diperintahkan oleh ayat-ayat tersebut Namun akal,
menurut Al-Maturidi tidak mampu mengetahui kewajiban-kewajiban yang lain.
Dalam masalah amalan baik dan buruk, beliau berpendapat
bahwa penentu baik dan buruknya sesuatu itu terletak pada sesuatu itu sendiri,
sedangkan perintah atau larangan syari’ah hanyalah mengikuti kemampuan akal
mengenai baik dan buruknya sesuatu, walau ia mengakui bahwa akal terkadang
tidak mampu melakukannya. Dalam kondisi ini, wahyu dijadikan sebagai
pembimbing.
Al-Maturidi membagi kaitan sesuatu dengan akal pada tiga
macam, yaitu Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu,Akal
dengan sendirinya hanya mengetahui keburukan sesuatu itu,Akal tidak mengetahui
kebaikan dan keburukan sesuatu, kecuali dengan petunjuk wahyu.
Tentang mengetahui kebaikan dan keburukan Maturidiyah
memiliki kesamaan dengan Mu’tazilah, namun tentang kewajiban melakukan kebaikan
dan meninggalkan keburukan Maturidiyah berpendapat bahwa ketentuan itu harus
didasarkan pada wahyu.
b) Perbuatan
Manusia
Perbuatan manusia adalah ciptaan Allah, karena segala sesuatu dalam
wujud ini adalah ciptaan-Nya. Mengenai perbuatan manusia, kebijaksanaan dan
keadilan kehendak Allah mengharuskan manusia untuk memiliki kemampuan untuk
berbuat (ikhtiar) agar kewajiban yang dibebankan kepadanya dapat dilaksanakan.
Dalam hal ini Al-Maturidi mempertemukan antara ikhtiar manusia dengan qudrat
Allah sebagai pencipta perbuatan manusia. Allah mencipta daya (kasb) dalam
setiap diri manusia dan manusia bebas memakainya, dengan demikian tidak ada
pertentangan sama sekali antara qudrat Allah dan ikhtiar manusia.
Dalam masalah pemakaian daya ini Al-Maturidi memakai
faham Imam Abu Hanifah, yaitu adanya Masyiah (kehendak) dan ridha (kerelaan). Kebebasan manusia dalam melakukan perbuatan baik atau buruk tetap
berada dalam kehendak Allah, tetapi ia dapat memilih yang diridhai-Nya atau
yang tidak diridhai-Nya. Manusia berbuat baik atas kehendak dan kerelaan Allah,
dan Manusia berbuat baik atas kehendak dan kerelaan Allah, dan berbuat buruk
pun dengan kehendak Allah, tetapi tidak dengan kerelaan-Nya.
c) Kekuasaan
dan Kehendak Mutlak Tuhan
Penjelasan di atas menerangkan bahwa Allah memiliki kehendak dalam
sesuatu yang baik atau buruk. Tetapi, pernyataan ini tidak berarti bahwa Allah
Allah berbuat sekehendak dan sewenang-wenang. Hal ini karena qudrat tidak
sewenag-wenang (absolute), tetapi perbuatan dan kehendak-Nya itu berlangsung
sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya sendiri.
d) Sifat
Tuhan
Tuhan mempunyai sifat-sifat, seperti sama, bashar, kalam, dan
sebagainya. Al-Maturidi berpendapat bahwa sifat itu tidak dikatakan sebagai
esensi-Nya dan bukan pula lain dari esensi-Nya. Sifat-sifat Tuhan itu mulzamah (ada
bersama/inheren) dzat tanpa terpisah (innaha lam takun ain adz-dzat wa la hiya
ghairuhu). Sifat tidak berwujud tersendiri dari dzat, sehingga berbilangnya
sifat tidak akan membawa kepada bilangannya yang qadim (taadud al-qadama).
Tampaknya faham tentang makna sifat Tuhan ini cenderung mendekati faham Mu’tazilah, perbedaannya terletak pada pengakuan terhadap adanya sifat Tuhan.
Tampaknya faham tentang makna sifat Tuhan ini cenderung mendekati faham Mu’tazilah, perbedaannya terletak pada pengakuan terhadap adanya sifat Tuhan.
e) Melihat
Tuhan
Al-Maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan, hal ini
diberitakan dalam Al-Qur’an:“Wajah-wajah
(orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka
melihat.”(Al-Qiyamah: 22-23)
Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa Tuhan kelak di
akhirat dapat dilihat dengan mata, karena Tuhan mempunyai wujud walaupun ia
immaterial. Namun melihat
Tuhan, kelak di akhirat tidak dalam bentuknya, karena keadaan di sana beda
dengan dunia.
f) Kalam
Tuhan
Al-Maturidi membedakan antara kalam (baca:sabda) yang tersusun
dengan huruf dan bersuara denagn kalam nafsi (sabda yang sebenarnya atau makna
abstrak). Kalam nafsi adalah sifat qadim bagi Allah, sedangkan kalam yang
tersusun dari huruf dan suara adalah baharu (hadits). Kalam nafsi tidak dapat
kita ketahui hakikatnya dari bagaimana Allah bersifat dengannya, kecuali dengan
suatu perantara.
Maturidiyah menerima pendapat Mu’tazilah mengenai
Al-qur’an sebagai makhluk Allah, tapi Al-Maturidi lebih suka menyebutnya hadits
sebagai pengganti makhluk untuk sebutan Al-Qur’an.
g) Perbuatan
Tuhan
Semua yang terjadi atas kehendak-Nya, dan tidak ada yang memaksa
atau membatasi kehendak Tuhan, kecuali karena da hikmah dan keadilan yang
ditentukan oleh kehendak-Nya sendiri. Setiap perbuatan-Nya yang bersifat
mencipta atau kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada manusia tidak lepas
dari hikmah dan keadilan yang dikehendaki-Nya. Kewajiban-kewajiban tersebut
antara lain:
Tuhan tidak akan membebankan kewajiban di luar kemampuan
manusia, karena hal tersebut tidak sesuai dengan keadilan, dan manusia
diberikan kebebasan oleh Allah dalam kemampuan dan perbuatannya, Hukuman atau
ancaman dan janji terjadi karena merupakan tuntutan keadilan yang sudah
ditetapkan-Nya.
h) Pengutusan
Rasul
Pengutusan Rasul berfungsi sebagai sumber informasi, tanpa
mengikuti ajaran wahyu yang disampaikan oleh rasul berarti manusia telah
membebankan sesuatu yang berada di luar kemampuan akalnya. Pandangan ini tidak
jauh dengan pandangan Mu’tazilah, yaitu bahwa pengutusan rasul kepada umat
adalah kewajiban Tuhan agar manusia dapat berbuat baik bahkan terbaik dalam
hidupnya.
i)
Pelaku Dosa Besar (Murtakib Al-Kabir)
Al-Maturidi berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidak kafir dan
tidak kekal di dalam neraka walaupun ia mati sebelum bertobat. Hal ini karena
Tuhan telah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan
perbuatannya. Kekal di dalam neraka adalah balasan untuk orang musyrik.
Menurut Al-Maturidi, iman itu cukup dengan tashdiq dan
iqrar, sedangkan amal adalah penyempurnaan iman. Oleh karena itu amal tidak menambah atau mengurangi esensi iman,
hanya menambah atau mengurangi sifatnya.
j)
Iman
Dalam masalah iman, aliran Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa
iman adalah tashdiq bi al-qalb, bukan semata iqrar bi al-lisan. Al-Qur’an: “Orang-orang Arab Badui itu berkata: ‘Kami telah beriman’.
Katakanlah: ‘Kamu belum beriman, tapi Katakanlah 'kami telah tunduk', karena
iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan
Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’." (Al-Hujurat: 14).
Ayat tersebut difahami sebagai penegasan bahwa iman tidak
hanya iqrar bi al-lisan, tanpa diimani oleh qalbu. Lebih lanjut Al-Maturidi
mendasarkan pendapatnya pada surat Al-Baqarah ayat 260 :“Dan
(ingatlah) ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku
bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati." Allah berfirman: "Belum yakinkah kamu ?"
Ibrahim menjawab: "Aku telah meyakinkannya, akan tetapi agar hatiku tetap
mantap (dengan imanku) Allah berfirman: "(Kalau demikian)
ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah semuanya olehmu. (Allah berfirman): "Lalu letakkan diatas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera." dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah semuanya olehmu. (Allah berfirman): "Lalu letakkan diatas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera." dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Dalam ayat tersebut, bukan berarti bahwa Nabi Ibrahim
belum beriman, tetapi beliau menginginkan agar keimanannya menjadi keimanan
ma’rifah. Ma’rifah
didapat melalui penalaran akal. Adapun pengertian iman menurut golongan
Bukhara, adalah tashdiq bi al-qalb dan iqrar bi al-lisan, yaitu meyakini dan
membenarkan dalam hati tentang keesaan Allah dan rasul-rasul yang diutus-Nya
dengan membawa risalah serta mengakui segala pokok ajaran islam secara verbal.
3.
Golongan-Golongan
Teologi Maturidiyah
a)
Golongan Samarkand
Yang menjadi
golongan ini adalah pengikut-pengikut Al-Maturidi sendiri. Golongan ini
cenderung ke arah faham Asy’ariyah, sebagaimana pendapatnya tentang sifat-sifat
Tuhan. Dalam hal perbuatan manusia, maturidi sependapat dengan Mu’tazilah, bahwa
manusialah yang sebenarnya mewujudkan perbuatannya. Al-Maturidi berpendapat
bahwa Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu.
b) Golongan
Bukhara
Golongan ini
dipimpin oleh Abu Al-Yusr Muhammad Al-Bazdawi. Dia merupakan pengikut Maturidi
yang penting dan penerus yang baik dalam pemikirannya. Nenek Al-Bazdawi menjadi
salah satu murid Maturidi. Jadi yang dimaksud dengan golongan Bukhara adalah
pengikut-pengikut Al-Bazdawi dalam aliran Al-Maturidiyah.
Walaupun
sebagai pengikut aliran Al-Maturidiyah, AL-Bazdawi selalu sefaham dengan
Maturidi. Ajaran
teologinya banyak dianut oleh umat islam yang bermazhab Hanafi. Dan hingga saat
ini pemikiran-pemikiran Al-Maturidiyah masih hidup dan berkembang di kalangan
umat islam.
Persamaan dan Perbedaan
antara Asy’ariyah dan
Maturidiyah
A. Pandangan Mengenai Asy’ariyah dan Maturidiyah
Memang dalam realitanya adala perbedaan antara pemikiran Al- Asy
Arie dengan Al Maturidy akan tetapi perbedaan itu sangat sedikit sekali, bahkan
dapat dikatakan bahwa antara Asy’ariyah dan Maturidiyah nyaris meiliki kesamaan
kalau tidak bisa di sebut sama.
Bahkan Muhammad Abduh mengatakan bahwa perbedaan antara
Al Maturidiyah dan Al Asyariyah tidak lebih dari sepuluh permasalahan dan
perbedaan di dalamnya pun hanyalah perbedaan kata-kata[3]. Akan
tetapi ketika kita mengkaji lebih dalam aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah maka
perbedaan-berdeakan tersebut semakin terlihat wujudnya. Tak dapat dipungkiri
bahwa keduanya berupaya menentukan akidah berdasarkan ayat-ayat tuhan yang
terangkum dalam al- Qur’an secara rasional dan logis. Keduanya memberikan porsi
besar pada akal dalam menginterpretasikan al- Qur’an dibandingkan yang lainnya.
Menurut Al-Asyariyah untuk mengetahui Allah wajib dengan syar’i sedangkan
Maturidiyah sependapat dengan Abu Hanifah bahwa akal berperan penting dalam
konteks tersebut. Hal itu merupakan salah satu contoh perbedaan keduanya.
B.
Perbedaan dan Persamaan antara Asy’ariyah dan Maturidiyah
1. Persamaan
a)
Kedua aliran ini lahir akibat reaksi terhadap paham aliran
Mu’tazilah.
b)
Mengenai
sifat-sifat Tuhan, kedua aliran ini menyatakan bahwa Tuhan mempunyai
sifat-sifat dan Tuhan mengetahui bukan dengan dzat-Nya tetapi mengetahui dengan
pengetahuan-Nya.
c)
Keduanya
menentang ajaran Mu’tazilah mengenai al-Salah wal Aslah dan beranggapan
bahwa al-Qur’an adalah kalam Tuhan yang tidak diciptakan, tetapi bersifat qadim.
d) Al-Asy’ari dan Al-Maturidi juga berkeyakinan
bahwa manusia dapat melihat Allah pada hari kiamat dengan petunjuk Tuhan dan
hanya Allah pula yang tahu bagaimana keadaan sifat dan wujud-Nya. Hal ini
mengingat nash al-Qur’an: “Wajah-wajah orang mukmin pada hari kiamat akan berseri-seri.
Kepada Tuhannya mereka melihat.”(Al-Qiyamah: 23)
e)
Persamaan dari
kedua aliran ini adalah karena keduanya sering menggunakan istilah ahlu sunnah
wal jama’ah. Dan dikalangan mereka kebanyakan
mengatakan bahwa madzhab salaf ahlu sunnah wal jama’ah adalah apa yang
dikatakan oleh Al-Asy’ari an Al-Maturidi. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa
ahlu sunnah wal jama’ah adalah Asy’ariyah dan Maturidiyah dan salaf. Az-Zubaidi
mengatakan : “Jika dikatakan ahlu sunnah, maka yang dimaksud dengan mereka itu
adalah Asy’ariyah dan Maturidiyah[4].”
Penulis
Ar-Raudhatul Bahiyyah mengatakan : “Ketahuilah bahwa pokok semua aqaid ahlu
sunnah wal jama’ah atas dasar ucapan dua kutub, yakni Al-Asy’ari dan
Al-Maturidi[5].”
2.
Perbedaan
a)
Tentang perbuatan manusia. Al-Asy’ari menganut paham Jabariyah
sedangkan Al-Maturidi menganut paham Qadariyah.
b)
Tentang fungsi akal. Akal bagi aliran Asy’ariyah tidak mampu untuk
mengetahui kewajiban-kewajiban manusia sedangkan menurut pendapat Maturidiyah
akal dapat mengetahui kewajiban-kewajiban manusia untuk berterima kasih kepada
Tuhan.
c)
Tentang Janji dan ancaman Tuhan. Al-Asy’ari
berkeyakinan bahwa Allah bisa saja menyiksa orang yang taat, memberi pahala
kepada orang yang durhaka, sedangkan Al-Maturidi beranggapan lain, bahwa orang
yang taat akan mendapatkan pahala sedangkan orang yang durhaka akan mendapat
siksa, karena Allah tidak akan salah karena Ia Maha Bijaksana dan Maha
Mengetahui.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar