Rabu, 13 Juni 2012


BAB I
PENDAHULUAN

1.1.  Latar Belakang
 Secara harifah kata mu’tazilah barasal dari I’tazilah yang berarti berpisah atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh dan menjauhkan diri. Aliran mu’tazilah merupakan aliran teologi islam yang terbesar dan tertua, yang telah memainkan peranan penting dalam sejarah pemikiran dunia islam. Aliran mu’tazilah lahir kurang lebih pada permulaan abad pertama hijrah di kota Basrah (Irak).
Akan tetapi tidak semuanya memeluk aliran ini dengan segala keikhlasan. Ketidak ikhlasan ini terutama dimulai sejak permulaan masa pemerintahan khilafat Umawi, disebabkan karena khilafah-khilafah Umawi memonopoli segala kekuasaan negara kepada orang-orang Islam dan bangsa Arab sendiri. Dalam hal ini maka akan dibahas mengenai mu’tazilah lebih luas lagi.
1.2.  Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang ada, bisa dirumuskan masalah yakni bagaimana aliran mu’tazilah itu?
1.3.  Tujuan
Mengetahui tentang aliran mu’tazilah.
1.4.  Manfaat
Bisa mengetahui tentang aliran mu’tazilah.




BAB I
PEMBAHASAN

2.1.   SEJARAH KEMUNCULAN MU’TAZILAH
Aliran ini muncul di Bashrah pada abad ke 8 (2 H), berawal dari sikap Washil bin Atha’ (700-750 M / 80-131 H) memisahkan diri dari majlis ta’lim gurunya, Hasan al Bashri di sebuah masjid Raya Bashrah. Hal ini disebabkan karena Washil bin Atha’ mempunyai pendapat berbeda dengan gurunya, yang berkaitan dengan masalah orang mukmin yang melakukan dosa besar. Menurut Washil bin Atha’, mukmin yang melakukan dosa besar jika tidak bertaubat, statusnya tidak mukmin lagi, (sedang menurut gurunya : statusnya mukmin), tetapi jatuh kepada fasik, namun tidak jatuh kepada status kafir (yang menurut Khawarij : statusnya kafir). Fasik menurut Washil bin Atha’, adalah : al Manzilah bain al manzilatain (suatu posisi / status diantara dua posisi). Fasik berada dibawah mukmin tapi diatas kafir. Setelah memisahkan diri, Washil bin Atha’ membentuk halaqoh sendiri di masjid yang sama. Jama’ah yang dipimpin oleh Washil bin Atha’ itulah yang mendapat nama  Mu’tazilah.
Menurut Ahmad Amin, sebutan Mu’tazilah sudah ada sebelum masa Hasan al Bashri, kurang lebih 100 tahun. Penyebutan Mu’tazilah untuk Washil bin Atha’, ‘Amr bin Ubaid dan kawan-kawannya hanya menghidupkan kembali sebutan lama.
Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari I’tazala yang berarti berisah atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri. Secara etimologis, kata Mu’tazilah berarti golongan yang mengasingkan atau memisahkan diri. Secara teknis, istilah Mu’tazilah menunjuk pada dua golongan.
Golongan pertama, (disebut Mu’tazilah I) muncul sebagai respon politik murni. Golongan ini tumbuh sebagai kaum netral politik, khususnya dalam arti bersikap lunak dalam menangani pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan lawan-lawannya, terutama Muawiyah, Aisyah, dan Abdullah bin Zubair. Menurut penulis, golongan inilah yang mula-mula disebut kaum Mu’tazilah karena mereka menjauhkan diri dari pertikaian masalah khilafah. Kelompok ini bersifat netral politik tanpa stigma teologis seperti yang ada pada kaum Mu’tazilah yang tumbuh dikemudian hari.
Golongan kedua, (disebut Mu’tazilah II) muncul sebagai respon persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawarij dan Mur’jiah akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Mur’jiah tentang pemberian status kafir kepada yang berbuat dosa besar. Mu’tazilah II inilah yang akan dikaji dalam bab ini yang sejarah kemunculannya memiliki banyak versi.

2.2.ASAL-USUL SEBUTAN MU‘TAZILAH
Beberapa versi tentang pemberian nama Mu’tazilah kepada golongan kedua ini berpusat pada peristiwa yang terjadi antara Washil bin Atha’ serta temannya, Amr bin Ubaid, dan Hasan Al-Bashri di Bashrah. Ketika Washil mengikuti pelajaran yang diberikan oleh Hasan Al Bashri di masjid Bashrah., datanglah seseorang yang bertanya mengenai pendapat Hasan Al Bashri tentang orang yang berdosa besar. Ketika Hasan Al Bashri masih berpikir, Washil mengemukakan pendapatnya dengan mengatakan “Saya berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi berada pada posisi diantara keduanya, tidak mukmin dan tidak kafir.” Kemudian Washil menjauhkan diri dari Hasan Al Bashri dan pergi ke tempat lain di lingkungan masjid. Di sana Washil mengulangi pendapatnya di hadapan para pengikutnya. Dengan adanya peristiwa ini, Hasan Al Bashri berkata: “Washil menjauhkan diri dari kita (i’tazaala anna).” Menurut Asy-Syahrastani, kelompok yang memisahkan diri dari peristiwa inilah yang disebut kaum Mu’tazilah.
Versi lain dikemukakan oleh Al-Baghdadi. Ia mengatakan bahwa Washil dan temannya, Amr bin Ubaid bin Bab, diusir oleh Hasan Al Bashri dari majelisnya karena adanya pertikaian diantara mereka tentang masalah qadar dan orang yang berdosa besar. Keduanya menjauhkan diri dari Hasan Al Basri dan berpendapat bahwa orang yang berdosa besar itu tidak mukmin dan tidak pula kafir. Oleh karena itu golongan ini dinamakan Mu’tazilah.
Versi lain dikemukakan Tasy Kubra Zadah yang menyatakan bahwa Qatadah bin Da’mah pada suatu hari masuk masjid Bashrah dan bergabung dengan majelis Amr bin Ubaid yang disangkanya adalah majelis Hasan Al Bashri. Setelah mengetahuinya bahwa majelis tersebut bukan majelis Hasan Al Bashri, ia berdiri dan meninggalkan tempat sambil berkata, “ini kaum Mu’tazilah.” Sejak itulah kaum tersebut dinamakan Mu’tazilah.
Al-Mas’udi memberikan keterangan tentang asal-usul kemunculan Mu’tazilah tanpa menyangkut-pautkan dengan peristiwa antara Washil dan Hasan Al Bashri. Mereka diberi nama Mu’tazilah, katanya, karena berpendapat bahwa orang yang berdosa bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi menduduki tempat diantara kafir dan mukmin (al-manzilah bain al-manzilatain). Dalam artian mereka memberi status orang yang berbuat dosa besar itu jauh dari golongan mukmin dan kafir.
Untuk mengetahui asal-usul nama Mu’tazilah itu dengan sebenarnya memang sulit. Berbagai pendapat diajukan ahli-ahli, tetapi belum ada kata sepakat di antara mereka. Yang jelas ialah, bahwa nama Mu’tazilah sebagai designatie bagi aliran teologi rasional dan liberal dalam Islam timbul sesudah peristiwa Washil dengan Hasan al Bashri dan bahwa lama sebelum terjadinya peristiwa di Masjid Bashrah itu telah pula terdapat kata-kata I’tazala, al Mu’tazilah. Tetapi apa hubungan yang terdapat antara Mu’tazilah I dan II, fakta-fakta yang ada belum dapat memberikan kepastian. Selanjutnya siapa sebenarnya yang memberikan nama Mu’tazilah kepada Washil bin Atha‘ dan pengikut-pengikutnya tidak pula jelas.
Golongan ini juga dinamakan golongan qadariyah, karena mereka menganut faham free will and free act, yakni bahwa manusia itu bebas berkehendak dan bebas berbuat. Jadi segala gerak gerik manusia tidak dicampuri oleh iradat dan qudrat Allah. Adapun sebutan Mu’tazilah yang lain adalah:
1.         Ahlul ‘Adl Wa at-Tauhid (golongan yang mempertahankan keadilan dan keesaan Allah).
2.         Ahlul Haq (golongan yang benar).
3.         Ats‑Tsanawiyah dan Al‑Majusiyah (kaum Dualis dan Majusi). Sebutan ini ditolak oleh Mu’tazilah.
4.         Al‑Khawarij, karena sejalan dengan pendapat Khawarij tentang dosa besar, apabila tidak bertaubat akan kekal di neraka, walaupun mereka mengatakan bahwa orang itu tidak kafir.
5.         Al‑Wa’idiyah, karena mereka berpendapat bahwa ancaman Allah pasti akan menimpa manusia yang tidak taat hukum. Nama ini berasal dari golongan Murjiah.
6.         Al‑Mu’aththilah, yaitu bahwa kaum Mu’tazilah menolak adanya sifat‑sifat Allah yang azali, juga menolak untuk mengambil pengertian makna lahiriah dari ayat‑ayat Al-Quran dan as-Sunnah jika tidak sesuai dengan pendirian mereka.
2.3.TOKOH-TOKOH ALIRAN MU’TAZILAH
Dari segi geografis Mu’tazilah dibagi menjadi 2 yaitu aliran mu’tazilah Bashrah dan aliran mu’tazila Baghdad .Aliran Bashrah lebih dahulu munculnya, lebih banyak mempunyai kepribadian sendiri dan yang pertama- tama mendirikan aliran mu’tazilah. perbedaan antara kedua aliran mu’tazilah tersebut pada umumnya disebabkan karena situasi geografis dan kulturil.
Tokoh- tokoh aliran Bashrah antara lain:
1.         Washil bin ‘Atha’ ( 80-131 H/ 699-748 M)
Terkenal sebagai pendiri aliran mu’tazilah dan kepalanya yang pertama. Ia pula yang terkenal sebagai orang yang meletakkan lima prinsip dasar.
2.         Al-‘Allaf ( 135-226 H/ 752-840 M)
Nama lengkapnya adalah Abdul Huzail Muhammad bin Al-Huzail Al-‘allaf. puncak kebesarannya dicapainya pada masa khalifah Al-Ma’mun, karena khalifah ini pernah menjadi muridnya dalam perdebatan mengenai soal agama. Menurut riwayat pada tiga ribu orang yang masuk islam di tangannya. Ia banyak berhubungan dengan filosof- filosof dan buku- buku filsafat.
3.         An-Nazham ( wafat 231 H/ 845 M)
Nama lengkapnya adalah Ibrahim bin Sayyar bin Hani An-Nazham. Ia merupakan tokoh mu’tazilah yang terkemuka, lancar bicara, dan banyak mendalami filsafat. Ia sangat bebas berpikir dan berani menyerang ahli hadis karena tidak banyak percaya pada kesahihan hadis-hadis. Karena ia sangat menjunjung Al-Qur’an.
4.         Al-Jubbai (wafat 303 H/ 915 M)
Nama lengkapnya adalah Abu Ali Muhammad bin Ali Al-Jubbai, tokoh mu’tazilah basrah dan murid as-Syahham. Al-Jubbai dan anaknya yaitu Abu Hasim Al-Jubbai mencerminkan akhir masa kejayaan aliran mu’tazilah.

Tokoh- tokoh aliran Baghdad antara lain:
1.         Bisjr bin Al-Mu’tamir (wafat 226 H/ 840 M)
Ia memiliki pandangan mengenai kesusastraan. Ia adalah orang yang pertama kali mengemukakan soal “tawallud” (reproduction) yang boleh jadi dimaksudkan untuk mencari batas-batas pertanggungan jawab manusia atas perbuatannya.
2.         Al-Chayyat (wafat 300 H/ 912 M)
Nama lengkapnya adalah Abu al-Husein Al-Khayyat. ia adalah pengarang buku “al-Intisar” yang dimaksudkan untuk membela aliran mu’tazilah.
3.         Al-Qadhi Abdul Jabbar (wafat 1024 M)
Ia mengulas tentang pokok-pokok ajaran aliran mu’tazilah, terdiri dari beberapa jilid dan banyak dikutip oleh as-Syarif al Murtadha.
4.         Az-Zamaihsyari (467-538 H/ 1075-1144M)
Nama lengkapnya adalah Jar Allah Abul Qasim Muhammad bin Umar. Selama hidupnya ia banyak mengadakan perlawatan dari negeri kelahirannya menuju Baghdad, kemudian ke Makkah untuk bertempat di sana beberapa tahun dan akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya di Jurjan (Persi-Iran). Ia menjadi tokoh dalam ilmu tafsir, nahwu, dan paramasastera (lexicology).

2.4.    AJARAN-AJARAN POKOK  ALIRAN MU’TAZILAH
Aliran mu’tazilah berdiri atas lima prinsip utama:
1.     Keesaan (at-Tauhid)
At-Tauhid merupakan prinsip utama dan intisari ajaran mu’tazilah. Tauhid memiliki arti yang spesifik. Tuhan harus disucikan dari segala sesuatu yang menyamai-Nya. Untuk memurnikan keesaan Tuhan, mu’tazilah menolak konsep Tuhan memiliki sifat-sifat, penggambaran fisik Tuhan, dan Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala. Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan itu Esa, tak ada satu pun yang menyerupai-Nya.
2.     Keadilan Tuhan (Al-Adlu)
Ajaran ini bertujuan ingin menempatkan Tuhan benar-benar adil menurut sudut pandang manusia, karena alam semesta ini sesungguhnya diciptrakan untuk kepentingan manusia.
3.     Janji dan ancaman (al-Wa’du wal Wa’idu)
Ajaran ini tidak memberi peluang kepada Tuhan selain menunaikan janji-Nya, yaitu memberi pahala orang yang taat dan menyiksa orang yang berbuat maksiat, kecuali orang yang sudah bertaubat nasuha. Ajaran ini tampaknya bertujuan mendorong manusia untuk berbuat baik dan tidak melakukan perbuatan dosa.
4.     Tempat di antara dua tempat (Al manzilatu bainal manzilatain)
Karena prinsip ini Washil bin ‘Atha memisahkan diri dari majlis Hasan Basri, seperti yang disebutkan di atas. Menurut pendapatnya, seorang muslim yang mengerjakan dosa besar selain syirik, bukan lagi menjadi orang mu’min, tetapi tidak menjadi kafir, melainkan menjadi orang fasik. Jadi, kefasikan merupakan tempat tersendiri antara “kufur” dan “iman”.
5.     Menyuruh kebaikan dan melarang keburukan (‘amar ma’ruf nahi munkar)
Ajaran ini menekankan keberpihakan pada kebenaran dan kebaikan. Ini merupakan konsekuensi logis dari keimanan seseorang. Pengakuan keimanan harus dibuktikan dengan perbuatan baik, diantaranya dengan menyuruh orang berbuat baik dan mencegahnya dari kejahatan.
2.5.    TINJAUAN TENTANG ALIRAN MU’TAZILAH
Sejarah umat Islam tidak mengenal pembahasan yang bercorak filsafat dan lengkap tentang tuhan, sifat-sifat dan perbuatannya, dengan disertai dalil-dalil akal pikiran dan alasan-alasan naqal sebelum lahir aliran mu’tazilah. Mereka telah melepaskan akal sebebas-bebasnya dalam membahas semua persoalan tanpa mengenal batas, baik yang bertalian dengan langit atau bumi, dengan Tuhan atau manusia, baik yang besar maupun yang kecil.
Karena keberanian dan ketidak ragu-raguan mereka dalam memegangi hasil pemikirannya, maka mereka hanya menerima dalil-dalil naqal, yang sesuai dengan dalil-dalil akal pikiran dan mena’wilkan yang menyalahinya. Akal pikiran lah yang menjadi hakim terhadap ayat-ayat mutasyabihat dan hadis-hadis yang tidak sejalan dengan ketentuan akal pikiran.
Setelah beberapa tahun lamanya aliran mu’tazilah mencapai kepesatan dan kemegahannya, terutama pada masa khalifah al ma’mun, al mu’tasim, dan al watsiq, akhirnya mereka mengalami kemunduran. Kemunduran ini adalah karena perbuatan mereka sendiri.mereka hendak mempertahankan kebebasan berfikir, tetapi mereka sendiri memusuhi orang-orang yang tidak mengikuti paham mereka.
Kegiatan orang-orang mu’tazilah baru hilang sama sekali setelah terjadi serangan orang-orang Mongolia atas dunia islam. Meskipun demikian, paham dan ajaran aliran mu’tazilah yang penting masih hidup sampai sekarang dikalangan Syiah Zaidiah.


 BAB III
PENUTUP
3.1.   Simpulan
Aliran mu’tazilah merupakan aliran teologi islam yang terbesar dan tertua. Kaum mu’tazilah secara teknis terdiri dari dua golongan dan masing-masing golongan mempunyai pandangan yang berbeda. Golongan tersebut ialah Golongan pertama, (disebut Mu’tazilah I) muncul sebagai respon politik murni dan golongan kedua, (disebut Mu’tazilah II) muncul sebagai respon persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawarij dan Mur’jiah akibat adanya peristiwa tahkim. Banyak sebutan mengenai kaum mu’tazilah salah satunya Ahlul ‘Adl Wa at-Tauhid (golongan yang mempertahankan keadilan dan keesaan Allah). Sedangkan ajaran pokok mu’tazilah yakni tentang : Keesaan (at-Tauhid), Keadilan Tuhan (Al-Adlu), Janji dan ancaman (al-Wa’du wal Wa’idu), Tempat di antara dua tempat (Al manzilatu bainal manzilatain), Menyuruh kebaikan dan melarang keburukan (‘amar ma’ruf nahi munkar). Dan yang paling penting yakni kegiatan orang-orang mu’tazilah baru hilang sama sekali setelah terjadi serangan orang-orang mongolia atas dunia islam. Meskipun demikian, paham dan ajaran aliran mu’tazilah yang penting masih hidup sampai sekarang dikalangan syiah zaidiah.








DAFTAR PUSTAKA
Abdul Rozak, , Rosihon Anwar,.  Ilmu Kalam .  Jakarta : Pustaka Setia
A.Hanafi. Pengantar Theology Islam. Jakarta : AL HUSNA ZIHRA.
Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam : Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta : UI Press.

http://abdain.wordpress.com/2010/04/28/mutazilah-dan-pengaruhnnya-terhadap-dunia-islam/



 

ASY’ARIYAH DAN MATURIDIYAH

A.    Latar Belakang Asy’ariyah
1.      Sejarah Asy’ariyah
Asy’ariyah adalah satu firqah yang dinisbatkan kepada pemahaman Abul Hasan Al-Asy’ari rahimahullahu. Nama asli beliau adalah `Ali bin Isma`il bin Abi Bisyr Ishaq bin Salim bin Isma`il bin Abdullah bin Musa bin Bilal bin Burdah bin Musa Al Asy`ary, lebih dikenal dengan Abu Al Hasan Al Asy`ary. Dilahirkan pada tahun 260 Hijriyah atau 875 Masehi, pada akhir masa daulah Abbasiyah yang waktu itu berkembang pesat berbagai aliran ilmu kalam, seperti : al Jahmiyah, al Qadariyah, al Khawarij, al Karamiyah, ar Rafidhah, al Mu`tazilah, al Qaramithah dan lain sebagainya. Sejak kecil Abul Hasan telah yatim. Kemudian ibunya menikah dengan seorang tokoh Mu`tazilah bernama Abu `Ali Al Jubba`i. Beliau (Abul Hasan) seorang yang cerdas, hafal Al Qur`an pada usia belasan tahun dan banyak pula belajar hadits. Pada akhirnya beliau berjumpa dengan ulama salaf bernama al Barbahari (wafat 329 H). inilah yang akhirnya merubah jalan hidupnya sampai beliau wafat pada tahun 324 H atau 939 M dalam usia 64 tahun.
Abu al Hasan al Asy`ary dan Mu`tazilah
Pada mulanya, selama hampir 40 tahun, beliau menjadi penganut Mu`tazilah yang setia mengikuti gurunya seorang tokoh Mu`tazilah yang juga ayah tirinya. Namun dengan hidayah Allah setelah beliau banyak merenungkan ayat-ayat Al Qur`an dan hadits-hadits Rasulullah, beliau mulai meragukan terhadap ajaran Mu`tazilah. Apalagi setelah dialog yang terkenal dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh Abu `Ali al Jubba`i dan setelah mimpi beliau bertemu dengan Rasulullah, beliau secara tegas keluar dari Mu`tazilah.
Inti ajaran faham Mu`tazilah adalah dasar keyakinan harus bersumber kepada suatu yang qath`i dan sesuatu yang qath`i harus sesuatu yang masuk akal (rasional). Itulah sebabnya maka kaum Mu`tazilah menolak ajaran Al-Qur`an apalagi as Sunnah yang tidak sesuai dengan akal (yang tidak rasional). Sebagaimana penolakan mereka terhadap mu`jizat para nabi, adanya malaikat, jin dan tidak percaya adanya takdir. Mereka berpendapat bahwa sunnatullah tidak mungkin dapat berubah, sesuai dengan firman Allah:“Tidak akan ada perubahan dalam sunnatullah”(Al Ahzab:62; lihat juga Fathir:43 dan Al Fath:23).
Itulah sebabnya mereka tidak percaya adanya mu`jizat, yang dianggapnya tidak rasional. Menurut mereka bila benar ada mu`jizat berarti Allah telah melangar sunnah-Nya sendiri.
Sudah barang tentu pendapat seperti ini bertentangan dengan apa yang dikajinya dari al Qur`an dan as Sunnah. Bukankah Allah menyatakan bahwa:“(Allah) melakukan segala apa yang Dia kehendaki(Hud : 107).
Untuk kehidupan manusia Allah telah memberikan hukum yang dinmakan sunnatullah dan bersifat tetap. Tetapi bagi Allah berlaku hukum pengecualian, karena sifat-Nya sebagai Pencipta yang Maha Kuasa. Allah adalah Penguasa mutlak. Hukum yang berlaku bagi manusia jelas berbeda dengan hukum yang berlaku bagi Allah. Bukankah Allah dalam mencipta segala sesuatu tidak melalui hukum sunnatullah yang berlaku bagi kehidupan manusia ? Allah telah menciptakan sesuatu yang tidak ada menjadi ada, menciptakan dari suatu benda mati menjadi benda hidup. Adakah yang dilakukan Allah dapat dinilai secara rasional ?
Salah satu dialog beliau dengan Abu Ali Al Jubba`i yang terkenal adalah mengenai, apakah perbuatan Allah dapat diketahui hikmahnya atau di ta`lilkan atau tidak. Faham Mu`tazilah berpendapat bahwa perbuatan Allah dapat dita`lilkan dan diuraikan hikmahnya. Sedangkan menurut pendapat Ahlus Sunnah tidak. Berikut ini dialog antara Abu Al Hasan dengan Abu Ali al Jubba`i:
A[1]    :“Bagaimana kedudukan orang mukmin dan orang kafir menurut tuan?”
B[2]    :“Orang mukmin mendapat tingkat tinggi di dalam surga karena imannya dan orang kafir masuk ke dalam neraka”.
A     :“Bagaimana dengan anak kecil?”
B     :“Anak kecil tidak akan masuk neraka”.
A     :“Dapatkah anak kecil mendapatkan tingkat yang tinggi seperti orang mukmin?”
B     :“Tidak, karena tidak pernah berbuat baik”.
A     :“Kalau demikian anak kecil itu akan memprotes Allah kenapa ia tidak diberi umur panjang untuk berbuat kebaikan”.
B     :“Allah akan menjawab, kalau Aku biarkan engkau hidup, engkau akan berbuat kejahatan atau kekafiran sehingga engkau tidak akan selamat”.
A     :“Kalau demikian, orang kafir pun akan protes ketika masuk neraka, mengapa Allah tidak mematikannya sewaktu kecil agar selamat dari neraka”.
Abu Ali Al Jubba`i tidak dapat menjawab lagi, ternyata akal tidak dapat diandalkan.Abu al Hasan Al Asy`ary dalam meninjau masalah ini selalu berdasar kepada sunnah Rasulullah. Itulah sebabnya maka madzhab yang dicetuskannya lebih dikenal dengan Ahlus Sunnah wal Jama`ah.
Abu al Hasan al Asy`ary Pencetus Faham Asy`ariyah
Namun karena pengaruh yang cukup dalam dari faham Mu`tazilah, pada mulanya cetusan pendapat Abu Al-Hasan sedikit banya dipengaruhi oleh Ilmu Kalam. Keadaan seperti ini sangat dimaklumi karena tantangan yang beliau hadapi adalah kelompok yang selalu berhujjah kepada rasio, maka usaha beliau untuk koreksi terhadap Mu`tazilah juga berusaha dengan memberikan jawaban yang rasional. Setidak-tidaknya beliau berusaha menjelaskan dalil-dalil dari Al Qur`an atau As Sunnah secara rasional. Hal ini dapat dilihat ketika beliau membahas tentang sifat Allah dalam beberapa hal beliau masih menta`wilkan sebagiannya. Beliau menyampaikan pendapatnya tentang adanya sifat Allah yang wajib menurut akal.
Pada mulanya manhaj Abul Hasan Al Asy`ary dalam bidang aqidah menurut pengakuan secara teoritis pertama berdasarkan naqli atau wahyu yang terdiri dari Al Qur`an dan Al Hadits Al Mutawatir, dan kedua berdasarkan akal. Namun dalam prakteknya lebih mendahulukan akal daripada naql. Misalnya dalam menetapkan dua puluh sifat wajib bagi Allah, diawali dengan menetapkan hanya tiga sifat wajib, kemudian berkembang dalam menyimpulkan menjadi lima sifat, tujuh sifat, dua belas sifat atau dan akhirnya dua puluh sifat atau yang lebih dikenal dengan Dua puluh Sifat Allah (7 sifat hakiki, 13 sifat majazi). Penetapan sifat hakiki dan majazi adalah berdasarkan rasio.
Penetapan tujuh sifat hakiki tersebut karena bila Allah tidak memilikinya berarti meniadakan Allah. Ketujuh sifat hakiki tersebut adalah hayyun bihayatin, alimun bi ilmin, qadirun bi qudratin, sami`un bi sam`in, basyirun bi basharin, mutakallimun bi kalamin dan muridun bi iradatin. Sedangkan mengenai tiga belas sifat majazi bila dikatakan sebagai sifat hakiki berarti tasybih atau menyamakan Allah dengan makhluk.
Ketika ditanyakan: “Bagaimana menetapkan sifat hakiki tersebut, sedangkan sifat itu secara lafziah sama dengan sifat-sifat yang dimiliki oleh makhluk?” Jawabannya: “Sifat-sifat tersebut dari segi lafaz sama dengan makhluk, namun bagi Allah SWT mempunyai arti `maha` sesuai dengan kedudukan Allah yang Maha Kuasa”. Hal inilah yang menjadi bahan pertentangan dikemudian hari.

Abu Al Hasan Al Asy`ary kembali ke Salaf
Pada akhirnya setelah banyak berdialog dengan seorang bernama Al Barbahari (wafat 329 H), Abul Hasan Al Asy`ary menyadari kekeliruannya dalam pemahaman aqidah terutama dalam menetapkan sifat-sifat Allah dan hal lain tentang ghaibiyat. Empat tahun sebelum beliau wafat beliau mulai menulis buku Al Ibanah fi Ushul Al-Diyanah merupakan buku terakhir beliau sebagai pernyataan kembali kepada faham Islam sesuai dengan tununan salaf. Namun buku ini tidak sempat terbahas secara luas di kalangan umat Islam yang telah terpengaruh oleh pemikiran beliau sebelumnya.
Untuk mengenal lebih jauh tentang kaidah pemikiran beliau di bidang aqidah sesudah beliau kembali ke metode pemikiran salaf yang kemudian lebih dikenal dengan Salafu Ahli As Sunnah wa Al Jama`ah, beliau merumuskannya dalam tiga kaidah sebagai berikut:
a)      Memberikan kebebasan mutlak kepada akal sama sekali tidak dapat memberikan pembelaan terhadap agama. Mendudukkan akal seperti ini sama saja dengan merubah aqidah. Bagaimana mungkin aqidah mengenai Allah dapat tegak jika akal bertentangan dengan wahyu.
b)      Manusia harus beriman bahwa dalam urusan agama ada hukum yang bersifat taufiqi, artinya akal harus menerima ketentuan wahyu. Tanpa adanya hukum yang bersifat taufiqi maka tidak ada nilai keimanan.
c)      Jika terjadi pertentangan antara wahyu dan akal maka wahyu wajib didahulukan dan akal berjalan dibelakang wahyu. Dan sama sekali tidak boleh mensejajarkan akal dengan wahyu apalagi mendahulukan akal atas wahyu.

Adapun manhaj Abul Hasan dalam memahami ayat (tafsir) adalah sebagai berikut:
ü  Menafsirkan ayat dengan ayat.
ü  Menafsirkan ayat dengan hadits
ü  Menafsirkan ayat dengan ijma`.
ü  Menafsirkan ayat dengan makna zahir tanpa menta`wilkan kacuali ada dalil.
ü  Menjelaskan bahwa Allah menurunkan Al Quran dalam bahasa Arab, untuk itu dalam memahami Al Quran harus berpegang pada kaidah-kaidah bahasa Arab.
ü  Menafsirkan ayat dengan berpedoman kepada asbabun-nuzul dari ayat tersebut
ü  Menjelaskan bahwa isi ayat Al Quran ada yang umum dan ada yang khusus, kedua-duanya harus ditempatkan pada kedudukannya masing-masing.
Banyak sekali buku-buku karya Abul Hasan Al Asy`ary. Yang ditulis beliau sebelum tahun 320 (sebelum kembali kepada manhaj salaf) lebih dari 60 buku. Sedangkan yang ditulis sesudah tahun 320 hampir mencapai 30 buah buku, diantara yang terakhir ini adalah Al Ibanah fi Ushul Ad Diyanah.

2.      Tokoh-tokoh Asy’ariyah dan Ajaran-Ajarannya.
a.      Muhammad Ibn al-Thayyib Ibn Muhammad Abu Bakr al-Baqillani.
Ia adalah tokoh Asy’ariyah yang mendapat ajaran-ajaran Al-Asy’ari dari dua murid Al-Asy’ari, yaitu Ibn Mujahid dan Abu Al-Hasan Al-Bahili.. beliau wafat di Bagdad pada tahun 1013 Masehi.
Ajaran-ajaran yang disampaikannya tidak selalu selaras dengan ajaran Al-Asy’ari, misalnya bahwa sifat Allah itu bukan sifat melainkan hal. Selanjutanya ia juga tidak sepaham dengan Al-Asy’ari mengenai perbuatan manusia. Menurut Al-Asy’ari perbuatan manusia adalah diciftakan Tuhan seluruhnya, sedangkan menurut Al-Baqillani, manusia mempunyai sumbangan yang efektif dalam perwujudan perbuatannya. Yang diwujudkan Tuhan ialah gerak yang terdapat dalam diri manusia, adapun bentuk atau sifat dari gerak itu dihasilkan oleh manusia itu sendiri.
Pernyataan-pernyataannya mengarah pada extrim, dalam mengikuti suatu pendapat dan dalam memberikan dukungan dan pembelaan, sebab premis rasional tidak pernah disebutkan dalam al-Qur’anmaupun sunnah, ruang geraknya luas dan pintunya terbuka lebar. Metode yang ditempuhnya juga banyak. Boleh saja seseorang sampai kepada bukti-bukti dari berbagai penalaran akal dan menghasilkan berbagai konklusi melalui berbagai eksperimen yang tidaklah buruk selama tidak bertentangan dengan konklusi yang dicapainya dan pemikiran yang dihasilkannya.
b.       Abd al-Malik al-Juwaini
Beliau lahir di Khurasan tahun 419 Hijriyah dan wafat pada tahun 478 Hijriyah. Namanya aslinya tidak begitu dikenal malah ia terkenal dengan nama Iman Al-Haramain.
Hampir sama dengan Al-Baqillani, ajaran-ajaran yang disampaikannya banyak yang bertentangan dengan ajaran Al-Asy’ari. Misalnya Tangan Tuhan diartikan (ta’wil) kekuasaan Tuhan, mata Tuhan diartikan penglihatan Tuhan dan wajah Tuhan diartikan Wujud Tuhan, sedangkan mengenai Tuhan duduk diatas takhta kerajaan diartikan Tuhan berkuasa dan Maha Tinggi.
Mengenai soal perbuatan manusia, ia mempunyai pendapat yang lebih jauh dari Al-Baqillani. Daya yang ada pada manusia itu mempunyai efek, tetapi efeknya serupa dengan efek yang terdapat antara sebab dan musabab. Wujud perbuatan manusia tergantung pada daya yang ada pada manusia, wujud daya itu bergantung pada sebab yang lain dan wujud sebab itu bergantung pula pada sebab yang lain dan demikianlah seterusnya hingga sampai pada sebab dari segala sebab yaitu Tuhan.
c.        Abu Hamid al-Ghazali
Beliau adalah murid dari Abd al-Malik al-Juwaini yang lahir pada tahu 1058-1111 Masehi.
Paham teologi yang dianutnya tidak jauh berbeda dengan paham-paham Al-Asy’ari. Dia mengakui bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat qadim yang tidak identik dengan dzat Tuhan dan mempunyai wujud diluar dzat. Juga Al-Qur’an bersifat qadim dan tidak diciptakan. Mengenai perbuatan manusia ia juga berpendapat bahwa Tuhanlah yang menciptakan daya dan perbuatan. Dan daya untuk berbuat lebih menyerupai impotensi.
Selanjutnya ia menyatakan bahwa Tuhan dapat dilihat, sebab setiap yang mempunyai wujud dapat dilihat. Selanjutnya ajaran yang disampaikannya adalah penolakan tentang paham keadilan yang diajarkan oleh Mu’tazilah. Tuhan tidak berkewajiban menjaga kemashlahatan (al-salah wa al-ashlah) manusia, tidak wajib memberi upah atau ganjaran kepada manusia atas perbuatan-perbuatannya, bahkan Tuhan boleh memberi beban yang tidak mungkin dikerjakan manusia.

B.     Latar belakang Maturidiyah
1.      Sejarah Maturidiyah
Berdirinya aliran ini kembali kepada Abu Mansur al-Maturidi, dia adalah Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al-Maturidi al-Samarqandi. Maturidi adalah nisbat kepada Maturid, sebuah tempat di Samarkand, di daerah inilah Abu Mansur lahir, tahun kelahirannya samar, tidak diketahui dengan pasti. Ahli sejarah yang menyebutkan biografinya tidak menjelaskan kehidupannya, bagaimana dia tumbuh dan dari siapa dia belajar, yang diketahui dari guru-gurunya adalah Nashir atau Nushair bin Yahya al-Balakhi, dari orang ini Abu Mansur belajar fikih madzhab Hanafi dan ilmu kalam.
Abu Mansur memiliki kedudukan tinggi di kalangan para pengikut Maturidiyah sehingga mereka menjulukinya dengan “Imam al-Huda dan Imam al-Mutakallimin”.
Abu Mansur hidup satu masa dengan Abul Hasan al-Asy’ari meskipun tidak ada keterangan sejarah bahwa keduanya pernah bertemu atau saling membaca buku yang lain, hanya saja dalam beberapa hasil pemikiran kedua orang ini bertemu, tentu dengan pemikiran Abu Musa yang lama sebelum dia rujuk kepada pemikiran salaf shalih.
Abu Mansur wafat di Samarkand pada tahun 333 H dan dimakamkan di sana. Dia meninggalkan beberapa karya tulis diantarnya, Ta’wilat Ahlus Sunnah atau Ta’wilat al-Qur`an, dalam bukunya ini Abu Mansur mengangkat ayat-ayat al-Qur`an khususnya ayat-ayat sifat dan mentakwilkannya dengan takwil Jahmiyah. Di antara bukunya yang lain adalah Kitab Tauhid, kitab ini tentang ilmu kalam, di dalamnya dia menetapkan pendapat-pendapatnya yang berkaitan dengan masalah-masalah i’tiqadiyah, dan yang dia maksud dengan tauhid dalam kitabnya ini adalah tauhid Khaliqiyah dan Rububiyah ditambah dengan sedikit tauhid Asma’ wa Sifat akan tetapi dengan manhaj Jahmiyah dengan mengingkari banyak sifat-sifat Allah dengan alasan mensucikan dan meniadakan tasybih dari Allah, hal ini tidak sejalan dengan manhaj yang shahih yaitu manhaj salaf shalih.

2.      Tokoh-tokoh Maturidiyah dan Ajaran-Ajarannya.
Setelah Abu Mansur wafat, pemikiran-pemikirannya diwarisi dan diperjuangkan oleh murid-muridnya dan orang-orang yang terpengaruh oleh pemikirannya, di tangan mereka ini Maturidiyah membentuk diri sabagai aliran kalamiyah yang muncul pertama kali di Samarkand. Murid-murid Abu Mansur mulai menyebarkan pemikiran-pemikiran syaikh dan imam mereka, mereka menulis buku-buku demi itu, hasilnya pemikiran-pemikiran Maturidiyah laku di negeri tersebut, hal ini karena mereka terbantu oleh kesamaan dalam madzhab fikih yaitu madzhab Hanafi.
Salah satu murid Abu Mansur adalah Abul Qasim Ishaq bin Muhammad bin Ismail al-Hakim al-Samarqandi, wafat tahun 342 H, dia dikenal dengan al-Hakim karena hikmahnya yang banyak dan nasihat-nasihatnya. Ada seorang murid lagi yaitu Abu Muhammad Abdul Karim bin Musa bin Isa al-Bazdawi, wafat tahun 390 H, selanjutnya orang ini memiliki seorang cucu yang menjadi salah satu pembawa pemikiran-pemikiran Maturidiyah, dia adalah Abul Yasar al-Bazdawi Muhammad bin Muhammad bin al-Husain bin Abdul Karim yang berjuluk al-Qadhi ash-Shadr, Syaikh madzhab Hanafi di Bazdawah pada masanya.
Abul Yasar ini belajar dari bapaknya yang belajar dari kakeknya Abdul Karim salah seorang murid Abu Mansur, di samping dia membaca kitab-kitab ahli filsafat seperti al-Kindi dan lainnya, dia juga mempelajari buku-buku Mu’tazilah seperti al-Jubba’i, an-Nazham dan lain-lain. Dia juga mempelajari buku-buku Abu Musa al-Asy’ari dan buku-buku Abu Mansur seperti at-Ta’wilat dan at-Tauhid. Untuk buku yang terakhir ini dia memandang pembahasannya bertele-tele dan menyulitkan serta penyusunannya yang tidak sistematis oleh karena itu dia mengulang penyusunan dan pemaparannya agar lebih muda untuk dikaji, hal ini dia tuangkan dalam bukunya Ushuluddin dengan beberapa penambahan darinya. Abul Yasar wafat di Bukhara tahun 493 H dengan meninggalkan banyak murid, salah satunya adalah Najmuddin Umar bin Muhammad an-Nasafi, peletak sebuah buku dalam akidah yang terkenal dengan al-Aqidah an-Nasafiyah.
Najmuddin Umar an-Nasafi, bisa dikatakan, dia adalah pelopor Maturidiyah dalam bidang karya tulis karena dia banyak menuangkan dasar-dasar akidah Maturidiyah dalam buku-bukunya yang berjumlah besar, dia adalah Abu Hafsh Najmuddin Umar bin Muhammad bin Ahmad bin Ismail al-Hanafi an-Nasafi, nisbat kepada Nasaf, sebuah kota di antara Jaihun dan Samarkand. Najmuddin adalah julukannya.
Najmuddin Umar an-Nasafi lahir di Nasaf pada tahun 462 H, dia terkenal dengan syaikh-syaikhnya yang berjumlah besar mencapai lima ratus orang, di antara mereka adalah Abul Yasar al-Bazdawi dan Abdullah bin Ali bin Isa an-Nasafi, sebagaimana dia memiliki murid dalam jumlah besar pula, tidak hanya itu dia juga memiliki karya tulis juga dalam jumlah besar yang menjadi buku induk dalam menetapkan pemikiran-pemikiran Maturidiyah. Di antara buku-bukunya adalah Majma’ al-Ulum, at-Taisir fi Tafsir al-Qur`an, an-Najah fi Syarh Kitab Akhbar ash-Shihah, buku ini adalah syarah dari shahih al-Bukhari, dan sebuah buku dalam akidah yaitu al-Aqidah an-Nasafiyah, buku ini adalah ringkasan dari buku at-Tabshirah karya Abu Muin an-Nasafi, buku ini adalah salah satu buku terpenting dalam akidah Maturidiyah. Najmuddin Umar an-Nasafi wafat di Samarkand pada malam Kamis, 12 Jumadil Ula 537 H.
Setelah masa Najmuddin Umar an-Nasafi, Maturidiyah mengalami kemajuan dan perkembangan yang berarti, hal ini karena mereka mampu meraih simpati para Sultan Daulah Utsmaniyah yang berpusat di Turki, dan akhirnya para sultan tersebut menjadi pendukung Maturidiyah sehingga pengaruh Maturidiyah menyebar ke negeri-negeri yang dijangkau oleh kekuasaan Daulah Utsmaniyah. Di masa ini muncul al-Kamal bin al-Hammam penulis al-Muyasarah fi al-Aqa’id al-Munjiyah fi al-Akhirah yang pada saat ini masih dijadikan sebagai buku wajib di sebagian universitas.
Di masa kini pemikiran Maturidiyah banyak dianut di beberapa negeri kaum muslimin khususnya di Turki, Afghanistan dan sekitarnya, Pakistan dan India. Di dua negara yang terakhir ini ada beberapa madrasah yang mengusung pemikiran-pemikiran Maturidiyah, salah satunya adalah madrasah Kautsariyah yang dinisbatkan kepada syaikh Muhammad Zahid al-Kautsari al-Jarkasi al-Hanafi al-Maturidi, wafat tahun 1371 H. Madrasah ini berciri khas mencela dan menyerang para imam Islam, menurut mereka para imam Islam tersebut adalah mujassimah dan musyabbihah yakni orang-orang yang menjasadkan dan menyerupakan Allah dengan makhlukNya, hanya karena para imam tersebut menetapkan sifat-sifat Allah sebagaimana yang ditetapkan oleh al-Qur`an dan sunnah sesuai dengan pamahaman salaf umat, mereka mengkategorikan buku-buku para imam Islam seperti at-Tauhid, al-Ibanah, asy-Syariah,as-Sifat, al-Uluw dan buku para imam sunnah lainya sebagai buku-buku watsaniyah (berhalawiyah). Madarasah ini juga getol berdakwah kepada bid’ah-bid’ah syirkiyah seperti mengagung-agungkan kubur dan penghuninya dengan kedok bertawasul.

Teologi Asy’ariyah dan Maturidiyah

A.    Teologi  Asy’ariyah
1.      Definisi Asy’ariyah
Asy’ariyah adalah aliran kalam yang dinisbatkan kepada Abu Mansur al-Maturidi yang berpijak kepada Abu al Hasan yang berdasarkan pengakuan secara teoritis pertama berdasarkan naqli atau wahyu yang terdiri dari Al Qur`an dan Al Hadits Al Mutawatir, dan kedua berdasarkan akal.Tujuan dari gerakan Asy’ariyah sama dengan aliran maturidiyah adalah sebagai reaksi terhadap aliran mu’tazilah yang dianggap tidak sesuai dengan kaidah yang benar menurut akal dan syara.

2.      Doktrin-Doktrin Teologi Asy’ariyah
a)      Wujud dan Sifat Tuhan
Para ulama ilmu Kalam, baik Asy’ariyah maupun Mu’tazilah, dan para filosof, dalam pembahasan penting ini menyepakati urgensi akal dalam menetapkan keberadaan Tuhan serta menumbuhkan keyakinan kepada-Nya. Berbeda dengan ahl al Dzahir, para Mutakalimin menyerahkan segala kemampuan logika mereka dalam menetapkan kebenaran tuhan sebagaimana yang diinginkan dzahir teks agama. Dari sini, jelas Nampak adanya keterlibatan manusia -atau setidaknya aspek kemanusiaan- dalam berbagai kajian ketuhanan (Teologi).
Asy’ariyah, dengan gaya ortodoksnya, mencobamenempatkan dirinya sebagai penengah (moderasi)diantara dua aliran; yaitu Salafiyah danMu’tazilah.Namun, kajian teologis Asy’ariyah –dengandidukung oleh silogisme Aristotelian atau logikaformal-deduktif ditambah dengan mengadopsi secaradistorsif teori-teori filsafat natural (tabhi’at)-malah pada akhirnya tidak menampilkan kajian teologisyang empiris-metodologis. Bahayanya lagi,argumen-argumen Asy’ariyah dapat saja mengalamieskalasi sehingga mencapai tingkat ‘ilhad’(pengingkaran akan wujud Tuhan) dan tajsim(antropomorfisme).
Dapat kita temukan dalam alur pemikiran Asy’ariyah
adanya kesan ‘keterpaksaan’ dalam menggunakanteori-teori filsafat alam (natural philosophy) sepertiteori al huduts (kebaharuan alam), al Imkan(probabilitas) dan Jauhar fard (subtansi tunggal).
Teori al huduts menetapkan premis-premis logis bahwaalam itu hadis (baru;tidak qadim) karena alam ituselalu berubah. Semua yang hadis pasti berasal darimuhdis (pembaru;pelaku al hudus) dan muhdis tersebutharus qadim, sebab kalau tidak , maka akan terjadidaur atau tasalsul (kausalitas tanpa akhir). Sedangdalam doktrin teologinya, daur dan tasalsul itumustahil. Selanjutnya, Asy’ariyah langsung menetapkan bahwa yang qadim itu adalah Tuhan.
Sedangkan teori al imkan mengatakan, alam itu bersifatmumkin, yaitu mungkin terjadi mungkin tidak. Segalasesuatu yang mungkin membutuhkan ‘illat murajjih yangmenyebabkan adanya sesuatu itu dan ‘illat tersebutharus berakhir pada zat yang wajib al wujub (wajibada). Sebab kalau tidak, akan terjadi tasalsul, dantasalsul itu mustahil. Maka langsung ditetapkan bahwawajib al wujub itu adalah Tuhan. Lain lagi dengan teori Jauhar al fard Asy’ariyahmenetapkan bahwa segala sesuatu itu terdiri daribagian-bagian atau ajzaa’, dan bagian-bagian ini akansampai kepada bagian yang terkecil (substansi akhir)yang tidak dapat terbagi bagi lagi, karena selanjutnyadinamakan Jauhar al fard (substansi tunggal). Karenasemua jauhar tidak terlepas dari ‘aradl (sifat yanghadits), maka konklusinya semua jauhar adalah hadits.Anehnya, beranjak dari premis-premis fisikal di atas,Asyariyah mengadakan lompatan kepada kesimpulanmetafisikal. Dalam artian, Asy’ariyah berusahamenemukan dalil dari hal-hal yang natural untukmembuktikan sesuatu yang natural.
Metodologi ini jelasbertentangan dengan metodi empirisme ilmiah.Meskipun logika idealektik yang berusaha dibangun olehAsy’ariyah masih mengadung nilai- nilai empirik, tapiargumen-argumennya tetap saja membingungkan. Bagaimana mungkin Asy’ariyah membuktikan bahwa alam itu hadits,sementara gerakan dan siklus yang merupakan sifattetap alam telah berlangsung tanpa permulaan. Padahakikatnya alam adalah qadim, dalam pengertian bahwaTuhan menciptakan alam tanpa permulaan dan tanpa bahandasar, dan jarak antara keberadaan Tuhan dankeberadaan alam tidak mungkin diukur dengan waktu.Dengan kata lain, tidak ada rentang waktu antara Tuhandengan alam walau sedetik pun. Dan posisi Tuhan tidaklain adalah ‘illat atau sebab keberadaan alam. TanpaTuhan alam tidak akan pernah ada.
Asy’ariyah dalam logikanya mengambil kaidah “kunci”yaitu kemustahilan daur dan tasalsul. Apa alas anAsy’ariyah menetapkan kaidah seperti itu? Padahakikatnya, daur dan tasalsul itu hal yang wajar danmerupakan tabiat alam. Tuhan telah menciptakan siklusdan hubungan kausalitas (sebab akibat) sehinggamanusia sanggup mengolah dan memproses daur ulang alamini dengan ilmu pengetahuannya. Teori kemustahilan inihanya berakibat terhambatnya ilmu pengetahuan danmenjadikan manusia pasif dalam hidupnya.
Hubungan hadits-muhdits oleh Asy’ariyah diidentikandangan hubungan mashnu’ dan shani’nya (pembuat danyang dibuat). Katanya alam ini adalah buatanTuhan,sebagaimana kursi adalah buatan tukang.Konsekuensi dari keyakinan tersebut membawa akalmanusia sehingga mengibaratkan Tuhan sebagai person(al Syakhsy) dan pada gilirannya menimbulkanpenafsiran materil terhadap hal-hal ghaib. Seiringdengan itu pula, penafsiran fenomena alam dengankaidah hadits-muhdits sama halnya merampas esensi alamtersendiri. Dengan memahami hadits sebagai “sesuatuyang pada awalnya tidak ada kemudian diadakan”menjadikan ketidakadaan sebagai standar keberadaan.
Ini menyebabkan alam kehilangan esensinya danmemaksakan ketergantungannya kepada “sesuatu yanglain” di luar dirinya. Akhirnya, realita dan subtansialam ini akan hilang dan yang tinggal bertahan dalamwujud nyata adalah alam metafisik yang pada hakikatnyatidak nyata. Secara sosio-psikologis, pengaruhnya punberlanjut pada manusia, dimana menusia adalah unsur dan bagian utama di alam ini. Dengan hilangnya esensialam, maka manusia pun kehilangan esensinya danmanjadi wujud hampa tanpa arti.
Secara psikologis, argumen tentang huduts-nya alamcukup membahayakan esistensi manusia tatkala kitamenerima hipotesa imajinatif tersebut, yaitu bahwaalam itu diadakan dari tidak ada oleh sang muhdits,hal itu mengisyaratkan bahwa manusia pada dasarnyalemah dan tidak mampu melakukan perubahan danpembaruan dalam kehidupannya di alam ini. Sebab secaralogis, segala bentuk perubahan, besar maupun kecil,semuanya disandarkan pada kekuatan dan kemampuan sangmuhdits, yaitu zat selain manusia. Memang betul,manusia tidak menciptakan dirinya juga tidak mampumenciptakan alam walau seekor nyamuk pun. Tapi, apakahitu dimaksudkan agar manusia melemahkan dirinya danmenggantungkan dirinya pada sesuatu kakuatan lain diluar dirinya dan di luar alam ini. Sebenarnya, argument-argumen distorsif tersebut berangkat dari landasankeimanan subyektif semata tidak dari tinjauan obyektifilmiah.
Sesuatu argumen lagi yang tidak kalah membingungkan,yaitu deskripsi Asy’ariyah tentang pembagian sesuatupada bagian-bagian tertentu dan berakhir pada jauharfard. Perlu dipertanyakan “bagaimana Asy’ariyahmenetapkan dan membuktikan adanya sesuatu yangdisebutnya jauhar fard? Apakah jauhar fard tersebutpada kenyataannya memang ada, atau hanya hipotesaimajinatif (al wahm) semata yang ditujukan untukmengunggulkan eksistensi sang muhdits?
Pada hakikatnya ilmu pengetahuan membuktikan bahwaalam itu tidak dapat dibagi-bagi kepada jauharsebagaimana anggapan Asy’ariyah. Alam itu tidak dapatdibagi dan diurai dalam bentuk unsur-unsur danpenguraian ini dapat berlangsung terus menerus tanpaberhenti. Kondisi ini sangat mendukung perkembanganilmu pengetahuan dan penemuan-penemuan ilmiah.Jelasnya argumen Asy’ariyah tentang adanya jauhar fardtidak lebih dari hipotesa imajinatif akal yang tidakfaktual.Perlu diketahui, bahwa makna wujud itu sendiriada tiga; pertama, wujud sesuatu itu dapat dipahamibila sesuatu itu dapat diketahui. Jadi, standar wujudsesuatu adalah adanya kemungkian pengetahuan terhadapnya.
Teologi yang dipelopori oleh asy’ari dan di kembangkanoleh al-Ghazali itu telah mempengaruhi banyak agama didunia, khususnya yang bersentuhan langsung denganIslam,yaitu yahudi dan Kresten, sebegitu rupa.Sehingga banyak agama Yahudi seperti yang ada padasekarang ini adalah adalah bahwa agama yahudi yangdalam bidang teologi telah mengalami “pengislaman”,.
Di zaman Modern yang pengetahuan semakin melimpah ruahini, ternyata teologi Asy’ari masih relefan dalam bukuNur Khalis Madjid, Willian Craig, seorang tokoh ahliFilsafat Modern dari Berkeley, California, Ilmupengetahuan mutahir, khususnya teori-teori tentangasal kejadian alam raya seperti teori ledakan besardalam Astronomi Modern sangat menujang argumen-argumenIlmu kalam yang di kembangkan oleh asy’ariyah.
b) Keadilan Manusia dan Perilaku Manusia
Diantara tema-tema sentral teologi Asy’ariyah, topik keadilan Tuhan (al ‘Adl)- dalam hal ini adalah standarnilai kebaikan dan keburukan- menempati deretan yangpaling penting. Topik ini, disamping merupakanpembahasan yang cukup luas dan sangat berkaitan dengansegi-segi fundamental dalam bangunan ideologi Islam,juga sangat mempengaruhi corak perilaku umatpenganutnya. Pada awal kemunculannya, konsep ini hanyamerupakan respons terhadap teologi Mu’tazilah yangekstrem-rasionalistik. Dan pada perkembanganselanjutnya, konsep keadilan Asy’ariyah ini tidakdapat terhindar dari pengaruh-pengaruh Jabariyah(Fatalisme).
Asy’ariyah mencoba menampilkan pemikirannya tentangkeadilan dengan beranjak dari konsep kemutlakan iradah(keinginan) Tuhan. Mereka beranggapan bahwa Tuhantelah menciptakan kebaikan (al khair) dan keburukan(al syarr) serta sekaligus ‘menghendaki’ keberadaankeduanya sebagai dualisme nilai yang dianut manusia. Kemudian, dari sisi lain mereka menegaskanbahwa kebaikan dan keburukan itu merupakan sesuatuyang relatif- dalam artian, tidak ada sesuatu yangpada hakikatnya baik dan buruk- dan selanjutnyamengembalikan kedua nilai tersebut kepada kemutlakansyara’ sebagai standar utama. Segala yang diakui dandilegitimasi oleh syara’ sebagai kebaikan, maka halitu pastilah baik. Dan demikian pula sebaliknya, bahwakeburukan hanyalah yang diakui oleh syara’ sebagaikeburukan. Namun kalau demikian halnya, bagaimanamungkin Asy’ariyah mengakui adanya nilai baik danburuk dari satu sisi dan mengingkari keberadaannyadari sisi lain?
Sesungguhnya, argumentasi Asy’ariyah yang demikian ituhanya ditujukan untuk menolak pendapat Mu’tazilah (ahlal ‘adl) yang menempatkan akal sebagai satu-satunyastandar nilai baik dan buruk. Dengan sangat responsif,mereka menegaskan bahwa syara lah satu-satunya sumbernilai yang berwenang menentukan segalanya, dan dengansendirinya menafikan fungsi akal dalam menilai suatuperbuatan. Dengan kata lain, sebelum syara’diturunkan, akal manusia tidak mampu mengetahui bahwakejujuran adalah baik dan bohong itu adalah buruk.Bahwa seandainya Tuhan memerintahkan manusia untukberbohong atau setidaknya melegitimasi kebohongantersebut, maka tentunya hukum pun akan berubah,sesuatu yang awalnya buruk berubah nilai menjadi baik. atau seandainya Tuhan melarang manusia untuk berlakujujur maka kejujuran akan berubah menjadi perbuatantercela.
Untuk membuktian kebenaran pendapatnya, Asy’ariyahberalasan bahwa akal manusia sangat relatif dalammenilai sesuatu dan sangat dipengaruhi oleh unsur subyektivitas serta kepentingan pribadi. Maka tanpaketerlibatan otoritas syara’, nilai kebaikan dankeburukan akan sangat relatif. Secara globalAsy’ariyah mengakui relativitas akal manusia padaperbedaan- perbedaan yang ada dalam berbagai adat danaturan konvensional antar komunitas tertentu. Disamping itu, kenisbian nilai moral merupakan dasarutama adanya perbedaan yang menyolok dalam berbagai ajaran agama.
Sekilas nampak kebenaran argumentasi diatas. Tapisebaliknya argumen tersebut cukup keliru, sebabpendapat yang mengatakan tentang kenisbian nilai moral tidak mutlak benar. Para ahli telah mengakui adanyaprinsip-prinsip moral dasar yang selamanya sejalandengan ketetapan-ketetapan syariat dan hukum konvensional. Prinsip-prinsip dasar ini tidakmengalami perubahan sepanjang kehidupan manusia. Danmanusia hanya berbeda dan berselisih sekitar hal-halyang parsial dan tidak prinsipil. Nilai dasar akanberubah jika dipengaruhi atau dituntut oleh kondisitertentu, yang pada hakikatnya bersifat temporal.
Kewenangan syara’ dan pengosongan nilai yang dilakukanAsy’ariyah pada setiap perbuatan manusia dapatmenyebabkan kekacauan dan pertikaian antar individuyang memperjuangkan kepentingan tertentu. Pihak- pihakpenguasa tentu saja dapat mempolitisir danmelegitimasi ketetapan syara’ untukkepentingan-kepentingan pribadinya atau kepentingangolongan tertentu. Dan di sisi lain, pihak yang lebihlemah terpaksa harus mengakui ‘kebenaran’ yangdiperbuat oleh pihak penguasa.Sebaga imana yang telah disebutkan diatas, teologiAsy;ariyah adalah teologi moderasi atau penengah antardua ekstermitas. Dalam konteks ini, Asy’ariyahmenampilkan teori Kasb sebagai ‘pelarian’ darikekuatiran mereka dari otoritas akal manusia dari satusisi dan sifat fatalisme dari sisi lain.

B.     Teologi Maturidiyah
1.      Definisi Maturidiyah
Maturidiyah adalah aliran kalam yang dinisbatkan kepada Abu Mansur al-Maturidi yang berpijak kepada penggunaan argumentasi dan dalil aqli kalami dalam membantah penyelisihnya seperti Mu’tazilah, Jahmiyah dan lain-lain untuk menetapkan hakikat agama dan akidah Islamiyyah.
2.      Doktrin-Doktrin Teologi Maturidiyah
a)      Akal dan Wahyu
Al-Maturidi dalam pemikiran teologinya berdasarkan pada Al-Qur’an dan akal, akal banyak digunakan diantaranya karena dipengaruhi oleh Mazhab Imam Abu Hanifah. Menurut Al-Maturidi, mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat diketahui dengan akal. Hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang memerintahkan agar manusia menggunakan akalnya untuk memperoleh pengetahuan dan keimanannya terhadapAllah melalui pengamatan dan pemikiran yang mendalam tentang makhluk ciptaan-Nya. Jika akal tidak memiliki kemampuan tersebut, maka tentunya Allah tidak akan memerintahkan manusia untuk melakukannya. Dan orang yang tidak mau menggunakan akal untuk memperoleh iman dan pengetahuan mengenai Allah berarti ia telah meninggalkan kewajiban yang diperintahkan oleh ayat-ayat tersebut Namun akal, menurut Al-Maturidi tidak mampu mengetahui kewajiban-kewajiban yang lain.
Dalam masalah amalan baik dan buruk, beliau berpendapat bahwa penentu baik dan buruknya sesuatu itu terletak pada sesuatu itu sendiri, sedangkan perintah atau larangan syari’ah hanyalah mengikuti kemampuan akal mengenai baik dan buruknya sesuatu, walau ia mengakui bahwa akal terkadang tidak mampu melakukannya. Dalam kondisi ini, wahyu dijadikan sebagai pembimbing.
Al-Maturidi membagi kaitan sesuatu dengan akal pada tiga macam, yaitu Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu,Akal dengan sendirinya hanya mengetahui keburukan sesuatu itu,Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu, kecuali dengan petunjuk wahyu.
Tentang mengetahui kebaikan dan keburukan Maturidiyah memiliki kesamaan dengan Mu’tazilah, namun tentang kewajiban melakukan kebaikan dan meninggalkan keburukan Maturidiyah berpendapat bahwa ketentuan itu harus didasarkan pada wahyu.
b)      Perbuatan Manusia
Perbuatan manusia adalah ciptaan Allah, karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaan-Nya. Mengenai perbuatan manusia, kebijaksanaan dan keadilan kehendak Allah mengharuskan manusia untuk memiliki kemampuan untuk berbuat (ikhtiar) agar kewajiban yang dibebankan kepadanya dapat dilaksanakan. Dalam hal ini Al-Maturidi mempertemukan antara ikhtiar manusia dengan qudrat Allah sebagai pencipta perbuatan manusia. Allah mencipta daya (kasb) dalam setiap diri manusia dan manusia bebas memakainya, dengan demikian tidak ada pertentangan sama sekali antara qudrat Allah dan ikhtiar manusia.
Dalam masalah pemakaian daya ini Al-Maturidi memakai faham Imam Abu Hanifah, yaitu adanya Masyiah (kehendak) dan ridha (kerelaan). Kebebasan manusia dalam melakukan perbuatan baik atau buruk tetap berada dalam kehendak Allah, tetapi ia dapat memilih yang diridhai-Nya atau yang tidak diridhai-Nya. Manusia berbuat baik atas kehendak dan kerelaan Allah, dan Manusia berbuat baik atas kehendak dan kerelaan Allah, dan berbuat buruk pun dengan kehendak Allah, tetapi tidak dengan kerelaan-Nya.
c)      Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan
Penjelasan di atas menerangkan bahwa Allah memiliki kehendak dalam sesuatu yang baik atau buruk. Tetapi, pernyataan ini tidak berarti bahwa Allah Allah berbuat sekehendak dan sewenang-wenang. Hal ini karena qudrat tidak sewenag-wenang (absolute), tetapi perbuatan dan kehendak-Nya itu berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya sendiri.
d)     Sifat Tuhan
Tuhan mempunyai sifat-sifat, seperti sama, bashar, kalam, dan sebagainya. Al-Maturidi berpendapat bahwa sifat itu tidak dikatakan sebagai esensi-Nya dan bukan pula lain dari esensi-Nya. Sifat-sifat Tuhan itu mulzamah (ada bersama/inheren) dzat tanpa terpisah (innaha lam takun ain adz-dzat wa la hiya ghairuhu). Sifat tidak berwujud tersendiri dari dzat, sehingga berbilangnya sifat tidak akan membawa kepada bilangannya yang qadim (taadud al-qadama).
Tampaknya faham tentang makna sifat Tuhan ini cenderung mendekati faham Mu’tazilah, perbedaannya terletak pada pengakuan terhadap adanya sifat Tuhan.
e)      Melihat Tuhan
Al-Maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan, hal ini diberitakan dalam Al-Qur’an:“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.”(Al-Qiyamah: 22-23)
Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa Tuhan kelak di akhirat dapat dilihat dengan mata, karena Tuhan mempunyai wujud walaupun ia immaterial. Namun melihat Tuhan, kelak di akhirat tidak dalam bentuknya, karena keadaan di sana beda dengan dunia.
f)       Kalam Tuhan
Al-Maturidi membedakan antara kalam (baca:sabda) yang tersusun dengan huruf dan bersuara denagn kalam nafsi (sabda yang sebenarnya atau makna abstrak). Kalam nafsi adalah sifat qadim bagi Allah, sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan suara adalah baharu (hadits). Kalam nafsi tidak dapat kita ketahui hakikatnya dari bagaimana Allah bersifat dengannya, kecuali dengan suatu perantara.
Maturidiyah menerima pendapat Mu’tazilah mengenai Al-qur’an sebagai makhluk Allah, tapi Al-Maturidi lebih suka menyebutnya hadits sebagai pengganti makhluk untuk sebutan Al-Qur’an.
g)      Perbuatan Tuhan
Semua yang terjadi atas kehendak-Nya, dan tidak ada yang memaksa atau membatasi kehendak Tuhan, kecuali karena da hikmah dan keadilan yang ditentukan oleh kehendak-Nya sendiri. Setiap perbuatan-Nya yang bersifat mencipta atau kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada manusia tidak lepas dari hikmah dan keadilan yang dikehendaki-Nya. Kewajiban-kewajiban tersebut antara lain:
Tuhan tidak akan membebankan kewajiban di luar kemampuan manusia, karena hal tersebut tidak sesuai dengan keadilan, dan manusia diberikan kebebasan oleh Allah dalam kemampuan dan perbuatannya, Hukuman atau ancaman dan janji terjadi karena merupakan tuntutan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya.


h)      Pengutusan Rasul
Pengutusan Rasul berfungsi sebagai sumber informasi, tanpa mengikuti ajaran wahyu yang disampaikan oleh rasul berarti manusia telah membebankan sesuatu yang berada di luar kemampuan akalnya. Pandangan ini tidak jauh dengan pandangan Mu’tazilah, yaitu bahwa pengutusan rasul kepada umat adalah kewajiban Tuhan agar manusia dapat berbuat baik bahkan terbaik dalam hidupnya.
i)        Pelaku Dosa Besar (Murtakib Al-Kabir)
Al-Maturidi berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidak kafir dan tidak kekal di dalam neraka walaupun ia mati sebelum bertobat. Hal ini karena Tuhan telah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya. Kekal di dalam neraka adalah balasan untuk orang musyrik.
Menurut Al-Maturidi, iman itu cukup dengan tashdiq dan iqrar, sedangkan amal adalah penyempurnaan iman. Oleh karena itu amal tidak menambah atau mengurangi esensi iman, hanya menambah atau mengurangi sifatnya.
j)        Iman
Dalam masalah iman, aliran Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa iman adalah tashdiq bi al-qalb, bukan semata iqrar bi al-lisan. Al-Qur’an: “Orang-orang Arab Badui itu berkata: ‘Kami telah beriman’. Katakanlah: ‘Kamu belum beriman, tapi Katakanlah 'kami telah tunduk', karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’."                 (Al-Hujurat: 14).
Ayat tersebut difahami sebagai penegasan bahwa iman tidak hanya iqrar bi al-lisan, tanpa diimani oleh qalbu. Lebih lanjut Al-Maturidi mendasarkan pendapatnya pada surat Al-Baqarah ayat 260 :“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati." Allah berfirman: "Belum yakinkah kamu ?" Ibrahim menjawab: "Aku telah meyakinkannya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku) Allah berfirman: "(Kalau demikian)
ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah semuanya olehmu. (Allah berfirman): "Lalu letakkan diatas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera." dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Dalam ayat tersebut, bukan berarti bahwa Nabi Ibrahim belum beriman, tetapi beliau menginginkan agar keimanannya menjadi keimanan ma’rifah. Ma’rifah didapat melalui penalaran akal. Adapun pengertian iman menurut golongan Bukhara, adalah tashdiq bi al-qalb dan iqrar bi al-lisan, yaitu meyakini dan membenarkan dalam hati tentang keesaan Allah dan rasul-rasul yang diutus-Nya dengan membawa risalah serta mengakui segala pokok ajaran islam secara verbal.
3.      Golongan-Golongan Teologi Maturidiyah
a)      Golongan Samarkand
Yang menjadi golongan ini adalah pengikut-pengikut Al-Maturidi sendiri. Golongan ini cenderung ke arah faham Asy’ariyah, sebagaimana pendapatnya tentang sifat-sifat Tuhan. Dalam hal perbuatan manusia, maturidi sependapat dengan Mu’tazilah, bahwa manusialah yang sebenarnya mewujudkan perbuatannya. Al-Maturidi berpendapat bahwa Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu.
b)      Golongan Bukhara
Golongan ini dipimpin oleh Abu Al-Yusr Muhammad Al-Bazdawi. Dia merupakan pengikut Maturidi yang penting dan penerus yang baik dalam pemikirannya. Nenek Al-Bazdawi menjadi salah satu murid Maturidi. Jadi yang dimaksud dengan golongan Bukhara adalah pengikut-pengikut Al-Bazdawi dalam aliran Al-Maturidiyah.
Walaupun sebagai pengikut aliran ­Al-Maturidiyah, AL-Bazdawi selalu sefaham dengan Maturidi. Ajaran teologinya banyak dianut oleh umat islam yang bermazhab Hanafi. Dan hingga saat ini pemikiran-pemikiran Al-Maturidiyah masih hidup dan berkembang di kalangan umat islam.

Persamaan dan Perbedaan
antara  Asy’ariyah dan Maturidiyah

A.    Pandangan Mengenai Asy’ariyah dan Maturidiyah
Memang dalam realitanya adala perbedaan antara pemikiran Al- Asy Arie dengan Al Maturidy akan tetapi perbedaan itu sangat sedikit sekali, bahkan dapat dikatakan bahwa antara Asy’ariyah dan Maturidiyah nyaris meiliki kesamaan kalau tidak bisa di sebut sama.
Bahkan Muhammad Abduh mengatakan bahwa perbedaan antara Al Maturidiyah dan Al Asyariyah tidak lebih dari sepuluh permasalahan dan perbedaan di dalamnya pun hanyalah perbedaan kata-kata[3]. Akan tetapi ketika kita mengkaji lebih dalam aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah maka perbedaan-berdeakan tersebut semakin terlihat wujudnya. Tak dapat dipungkiri bahwa keduanya berupaya menentukan akidah berdasarkan ayat-ayat tuhan yang terangkum dalam al- Qur’an secara rasional dan logis. Keduanya memberikan porsi besar pada akal dalam menginterpretasikan al- Qur’an dibandingkan yang lainnya. Menurut Al-Asyariyah untuk mengetahui Allah wajib dengan syar’i sedangkan Maturidiyah sependapat dengan Abu Hanifah bahwa akal berperan penting dalam konteks tersebut. Hal itu merupakan salah satu contoh perbedaan keduanya.

B.     Perbedaan dan Persamaan antara Asy’ariyah dan Maturidiyah
1.      Persamaan
a)      Kedua aliran ini lahir akibat reaksi terhadap paham aliran Mu’tazilah.
b)      Mengenai sifat-sifat Tuhan, kedua aliran ini menyatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat dan Tuhan mengetahui bukan dengan dzat-Nya tetapi mengetahui dengan pengetahuan-Nya.
c)      Keduanya menentang ajaran Mu’tazilah mengenai al-Salah wal Aslah dan beranggapan bahwa al-Qur’an adalah kalam Tuhan yang tidak diciptakan, tetapi bersifat qadim.
d)     Al-Asy’ari dan Al-Maturidi juga berkeyakinan bahwa manusia dapat melihat Allah pada hari kiamat dengan petunjuk Tuhan dan hanya Allah pula yang tahu bagaimana keadaan sifat dan wujud-Nya. Hal ini mengingat nash al-Qur’an: “Wajah-wajah orang mukmin pada hari kiamat akan berseri-seri. Kepada Tuhannya mereka melihat.”(Al-Qiyamah: 23)
e)      Persamaan dari kedua aliran ini adalah karena keduanya sering menggunakan istilah ahlu sunnah wal jama’ah. Dan dikalangan mereka kebanyakan mengatakan bahwa madzhab salaf ahlu sunnah wal jama’ah adalah apa yang dikatakan oleh Al-Asy’ari an Al-Maturidi. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa ahlu sunnah wal jama’ah adalah Asy’ariyah dan Maturidiyah dan salaf. Az-Zubaidi mengatakan : “Jika dikatakan ahlu sunnah, maka yang dimaksud dengan mereka itu adalah Asy’ariyah dan Maturidiyah[4].”
Penulis Ar-Raudhatul Bahiyyah mengatakan : “Ketahuilah bahwa pokok semua aqaid ahlu sunnah wal jama’ah atas dasar ucapan dua kutub, yakni Al-Asy’ari dan Al-Maturidi[5].”  
                       
2.      Perbedaan
a)      Tentang perbuatan manusia. Al-Asy’ari menganut paham Jabariyah sedangkan Al-Maturidi menganut paham Qadariyah.
b)      Tentang fungsi akal. Akal bagi aliran Asy’ariyah tidak mampu untuk mengetahui kewajiban-kewajiban manusia sedangkan menurut pendapat Maturidiyah akal dapat mengetahui kewajiban-kewajiban manusia untuk berterima kasih kepada Tuhan.
c)      Tentang Janji dan ancaman Tuhan. Al-Asy’ari berkeyakinan bahwa Allah bisa saja menyiksa orang yang taat, memberi pahala kepada orang yang durhaka, sedangkan Al-Maturidi beranggapan lain, bahwa orang yang taat akan mendapatkan pahala sedangkan orang yang durhaka akan mendapat siksa, karena Allah tidak akan salah karena Ia Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui.


[1] Sebagai Abu al Hasan
[2] Sebagai Abu Ali al Juba’i
[3]al Khilâf Al Lafdziyu
[4]Ittihafus Sadatil Muttaqin 2 : 6
[5]Ar-Raudhatul Bahiyyah oleh Abi Hudibah hal.3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar